A good journalist is not the one that writes what people say, but the one that writes what he is supposed to write. #TodorZhivkov

Jumat, 05 November 2010

Mitos Datu Ayuh Dalam Religi Aruh; Ajaran Lisan tentang Persaudaraan Banjar Muslim dengan Orang Dayak Loksado di Perbukitan Meratus Kalimantan Selatan

(Dikutip dari makalah Moh Soehadha yang dipresentasikan dalam The 10th Annual Conference on Islamic Studies (ACIS))

Bagi penganut Aruh menyebut kekuasaan roh dan makhluk adikodrati lainnya yang mereka puja ketika tidak dalam rangka melaksanakan ritual Aruh, tidaklah diperkenankan karena dianggap tabu. Dalam penelitian ini, data tentang kepercayaan Aruh dapat diperoleh, karena peneliti dapat mengikuti berbagai ritual Aruh di balai Padang, balai Malaris, dan balai Sungai Jalai. Beberapa ritual yang diikuti antara lain adalah ritual pesta panen (bawanang), ritual pengobatan (babalian), ritual perkawinan (bakawin), ritual kurban (bakurban), dan ritual mencari bakal ladang (batanung). Keterlibatan peneliti dalam berbagai pelaksanaan ritual Aruh tersebut telah membuka jalan untuk memahami sistem kepercayaan dalam religi tersebut. Selain itu, keterlibatan langsung dalam pelaksanaan berbagai ritual Aruh tersebut, juga memberi jalan bagi peneliti untuk berdiskusi dengan para balian tentang aspek-aspek yang mendasar dalam kepercayaan itu.

Alur Cerita Mitos Datu Ayuh : Konsep Ajaran Lisan dalam Religi Aruh

Istilah Aruh untuk menunjuk agama orang Loksado berasal dari kata “ruh” atau “roh”. Disebut Aruh karena istilah tersebut digunakan untuk menunjuk pada praktik ritual untuk menghormati roh para leluhur dan roh pemelihara segenap makhluk dan kehidupan alam semesta. Tujuan ritual Aruh adalah untuk mengundang roh-roh pemelihara alam, memuja, memberi persembahan, dan memikat mereka agar senantiasa memberi perlindungan dan kemudahan dalam kehidupan warga balai.

Melalui mitos, penganut Aruh mengidentifikasi dirinya untuk mengukuhkan eksistensi mereka dari pengaruh luar. Tradisi lisan menjadi media yang lentur untuk menyampaikan pandangan mereka tentang kehidupan dan maknanya, serta bagaimana mereka harus menghadapi perubahan-perubahan yang dibawa oleh orang dari luar komunitasnya (Waiko, 1981 via Djuweng, 2001).

Kelenturan doktrin lisan dari religi Aruh telah menyebabkan adanya adopsi berbagai konsep ajaran dari agama lain, terutama dari Hindu dan Islam. Adopsi terhadap ajaran Hindu kemungkinan terjadi karena pengaruh kekuasaan masa kerajaan Negaradipa yang merupakan koloni Hindu Jawa di Kalimantan Selatan pada abag ke-14 sampai abad ke-16 M (Umberan, 1994: 17-18). Adapun pengaruh ajaran Islam ke dalam Aruh disebabkan oleh interaksi antara orang Loksado dengan orang Banjar yang sangat intensif sejak abad ke-18. Intensitas interaksi antara orang Loksado dengan orang Banjar, terutama terjadi di Perang Banjar (1859-1863), yaitu ketika orang-orang Meratus di daerah Hulu Sungai banyak memberikan dukungan terhadap Sultan Banjar dalam melawan Belanda (Tumenggung, 2001: 46-49).

Dalam pandangan Tsing (1998: 382-390), kelenturan ajaran lisan itu telah menyebabkan para balian sebagai pemimpin religi melakukan kreasi sendiri terhadap para nabi, malaikat, maupun makhluk adikodrati dengan mengambil konsep dari ajaran Islam dan Kristen. Tindakan para Balian untuk melakukan kreasi dalam membangun konsep sistem kepercayaan mereka itu, muncul sebagai respon terhadap pengaruh misi dan dakwah agama serta kebijakan keagamaan pemerintah yang menolak praktek ritual orang Meratus sebagai agama. Tradisi lisan menjadi alat yang efektif dalam merespon pengaruh yang berasa dari luar pegunungan Meratus. Para Balian begitu bebas dalam melakukan kreasi dan memberi tafsir atas ajaran-ajaran dalam kepercayaan Aruh karena ketidakterikatan mereka terhadap teks ajaran tulis.

Meskipun religi Aruh memiliki kelenturan dalam merespon pengaruh agama-agama besar, seperti Hindu, Islam, dan Kristen, namun para balian sebagai pemimpin Aruh menyatakan bahwa sistem ajaran lisan itu tidak mungkin digantikan oleh ajaran tertulis seperti yang ada dalam agama-agama besar tersebut. Ajaran lisan telah menjadi identitas diri yang membedakannya dengan agama orang Banjar dan agama lainnya. Jika sistem kepercayaan dalam religi itu kemudian ditulis, maka tidak dapat lagi disebut sebagai religi Aruh. Penganut Aruh meyakini bahwa tradisi lisan dalam religi itu telah mejadi ketentuan Tuhan dan telah membedakannya dengan agama Islam yang dipeluk oleh orang-orang Banjar.

Keyakinan terhadap ajaran lisan dilandasi oleh mitos Datu Ayuh dan Datu Bambang Siwara yang menggambarkan “persaudaraan fiktif” antara orang Banjar dan orang Loksado. Diceritakan dalam mitos tersebut bahwa di antara orang Loksado yang bermukim di “atas” atau di bukit Meratus dengan orang Banjar Islam yang berada di “bawah” atau di dataran rendah merupakan saudara kandung atau dangsanak. Meskipun dianggap bersaudara, namun kehidupan keseharian mereka dibedakan oleh praktek dari sistem kepercayaan yang dianut. Orang Loksado melaksanakan tradisi keagamaan mereka dengan mendasarkan pada doktrin lisan, sementara orang Banjar melaksanakan agama mereka yang dilandasi oleh doktrin yang tertulis dalam kitab suci Al-qur’an. Selengkapnya cerita mitos “persaudaraan fiktif” antara orang Loksado dan orang Banjar tersebut dapat disimak dari hasil penelitian, sebagaimana dapat dikutip dari penuturan salah seorang balian di Loksado berikut.

“Diceritakan bahwa dalam sebuah legenda di zaman bahari, telah hidup dua orang saudara yang kepada mereka diwariskan ajaran urang bahari. Mereka berdua dipercaya memegang kitab ajaran urang bahari, yaitu kitab Barincong.

Diceritakan pula, bahwa dalam kehidupan di zaman dulu itu, mereka juga memelihara ternak. Datu Ayuh konon tidak pernah memberi tali pengikat pada ternak-ternaknya. Sementara itu, Datu Bambang Siwara selalu memberi tali pengikat terhadap ternak-ternaknya, dan memberinya pula kandang.

Pada suatu ketika, manakala keduanya sedang berjalan, datanglah banjir besar. Mereka merasa kuatir dengan keselamatan kitab yang dibawanya tersebut. Datu Bambang Siwara memegang kitab dan mengajak Datu Ayuh untuk ikut bersamanya bertolak ke kota. “Kita bawa kitab ini bersama-sama,” ujar Datu Bambang Siwara. Namun, Datu Ayuh menolaknya dan lebih memilih untuk tetap berada di gunung. Akhirnya keduanya sepakat, untuk menjaga keselamatan isi kitab tersebut. Kitab yang dibawa dibagi dua dan masing-masing membawa separuhnya.

Bambang Siwara kemudian bertolak ke bawah (kota), ia lalu berpikir untuk menuliskan kembali isi kitab itu. Dengan menuliskan kembali ia berpikir bahwa ajarannya dapat diturunkan kepada anak-anaknya.

Datu Ayuh berpikir lain. Ia berpikiran bahwa daripada capek-capek membawa kitab tersebut, lebih baik kitab itu dimasukkan saja ke dalam perut. Maka dimakanlah kitab tersebut oleh Datu Ayuh, dibiarkan agar tersimpan di dalam perut saja. Oleh orang Dayak, apa yang dilakukan oleh Datu Ayuh yang menyimpan kitab di perut itu, kemudian diyakini sebagai asal mula mengapa ajaran agama orang Dayak tersimpan di dalam hati. Ajaran orang Dayak tersimpan dalam kitab yang dimasukkan ke dalam perut oleh Datu Ayuh. Kitab itulah yang dikenal dengan kitab Barincong. Dalam kitab Barincong yang sudah tersimpan dalam perut itulah segala ajaran, hukum, dan aturan diturunkan melalui tradisi lisan dari apa yang ada di dalam hati.

Datu Ayuh juga dipercaya menurunkan kesaktian kepada orang-orang Dayak. Itulah jadinya orang-orang Dayak itu “bodoh”, tapi memiliki kesaktian. Dalam hal keberanian Datu Ayuh menjadi kelebihannya dari Datu Bambang Siwara. Namun dalam hal menggunakan pikiran Datu Bambang Siwara lebih pandai dari kakaknya.

Datu Ayuh yang bertahan di atas gunung itulah yang dipercaya menurunkan orang-orang Dayak Loksado. Adapun Datu Bambang Siwara dipercaya menurunkan orang Banjar. Bambang Siwara menurunkan “kepintaran”, sedangkan Datu Ayuh menurunkan “kebodohan”.

Dipercayai pula bahwa Datu Bambang Siwara dengan kitabnya yang dituliskan kembali itu, kemudian menurunkan tradisi tulis-menulis. Sedangkan Datu Ayuh menurunkan ajarannya dengan keyakinan dan hafalan. Itulah yang menjadi penyebab dalam keyakinan orang Dayak Loksado bahwa apabila mereka mengaji sebuah ajaran, sekali melakukan selamatan, langsung hafal. Berbeda dengan orang Banjar (Islam) yang mesti berulang kali mengaji, dan harus dituliskan, sebab orang-orang Banjar merupakan keturunan dan pewaris sifat Datu Bambang Siwara.”

Makna Mitos Datu Ayuh

Makna yang terkandung dalam cerita mitos Datu Ayuh di atas dapat dibagi menjadi unsur-unsur yang saling bertentangan dan berpasangan (binary opposition). Terdapat dua makna utama yang dapat ditarik dari cerita mitos Datu Ayuh di atas, terutama jika dikaitkan dengan perbedaan karakter yang saling beroposisi dari kedua tokoh yang digambarkan. Pertama, bahwa mitos Datu Ayuh telah mengukuhkan ajaran Aruh sebagai sumber pengetahuan religi orang Loksado yang diajarkan melalui lisan, sehingga membedakannya dengan sumber pengetahuan religi orang Banjar yang diajarkan secara tertulis. Sementara itu makna kedua yang dikandung oleh cerita mitos Datu Ayuh adalah penggambaran tentang perbedaan dalam cara hidup antara orang Loksado dengan orang Banjar. Masyarakat Loksado digambarkan sebagai masyarakat yang masih hidup berpindah-pindah, sementara orang Banjar digambarkan sebagai masyarakat yang telah hidup secara menetap. Selengkapnya berikut dipaparkan hasil pemaknaan terhadap mitos Datu Ayuh tersebut.

1. Kitab Barincong : Sumber Ajaran Lisan
Dalam mitos Datu Ayuh di atas diceritakan bahwa pada suatu ketika, tempat bermukim Datu Ayuh dan Datu Bambang Siwara dilanda banjir. Mereka yang mereka bawa dari air bah yang melanda wilayah yang mereka tempati. Keduanya kemudian memilih jalan yang berbeda untuk menyelamatkan diri. Datu Bambang Siwara menyelamatkan diri dengan cara meninggalkan wilayah itu dan bertolak ke kota atau ke wilayah bawah gunung. Sementara itu Datu Ayuh memilih tetap bertahan di gunung.

Karena kedua bersaudara itu memilih jalan yang berbeda untuk menyelamatkan diri, maka mereka harus berpisah. Sebelum berpisah mereka memutuskan untuk membelah kitab itu menjadi dua. Setelah kitab dibelah menjadi dua, masing-masing memiliki cara sendiri untuk melestarikan ajaran yang ada di dalam kitab tersebut. Datu Ayuh menyelamatkan kitab yang dibawanya dengan cara ditelan dalam perutnya, sedangkan Datu Bamban Siwara memutuskan untuk menuliskan kembali bagian kitab yang dibawanya.

Cerita yang menggambarkan perbedaan dalam menyelamatkan kitab itu, mengandung pesan tentang karakter yang berbeda antara Datu Ayuh dan Datu Bambang Siwara. Datu Ayuh digambarkan sebagai orang yang suka menghafal secara lisan dalam melestarikan ajaran religi, sedangkan Datu Bambang Siwara digambarkan sebagai orang yang suka menulis kitab untuk melestarikan ajaran religi. Karakter Datu Ayuh yang suka menghafal memberi ciri budaya bagi orang Loksado sebagai masyarakat yang belum mengenal tradisi tulis. Adapun karakter Datu Bambang Siwara yang suka menulis menggambarkan tentang peradaban orang Loksado yang mengenal tulisan.

Cerita tentang Datu Ayuh yang menyelamatkan kitab dengan cara menelan itu, kemudian diyakini oleh para penganut Aruh sebagai landasan dari cara mewariskan religi melalui tradisi lisan. Penganut Aruh meyakini bahwa kitab Barincong adalah kitab ajaran Aruh yang tersimpan di dalam hati orang-orang keturunan Datu Ayuh. Kitab Barincong adalah ilmu yang tersirat, bukan merupakan sebuah kitab ajaran yang ditulis. Kitab itu tersimpan di dalam diri setiap diri balian sebagai pemimpin dan sumber pengetahuan Aruh. Hal itu sebagaimana dituturkan balian Labah berikut.

“Kitab Barincong adalah ilmu balian. Oleh karena itu, sering dikatakan urang-urang (orang-orang) di sini, kalau ingin sakti, hagan (untuk) bisa mengobati, bisa batandik, bisa mengirim kekuatan dari jarak jauh, carilah kitab Barincong. Apa artinya mencari kitab Barincong? Ya artinya belajarlah kepada balian, kalau ingin dapat kesaktian seperti para balian.

Kepercayaan terhadap mitos Datu Ayuh juga menumbuhkan pandangan superioritas penganut religi Aruh terhadap agama baru yang masuk ke Loksado. Ajaran lisan dianggap sebagai sistem keyakinan “yang lurus dan asli” yang diturunkan oleh Datu Adam dan Datu Tihawa. Sebaliknya ajaran tertulis dianggap sebagai sesuatu yang yang telah berubah, sebagaimana diungkapkan Panasyah dari balai Malaris berikut.

“Aruh yang dipercaya orang Loksado ini adalah kepercayaan keturunan Datu Adam dan Datu Tihawa yang lurus. Yang lurus itu belum berubah, yang sudah berubah adalah agama baru yang masuk di sini. Baca kitab, seperti dalam agama baru itu menunjukkan bahwa kitab asli telah berubah. Kitab yang asli itu ada di “sini” (menunjuk dada, maksudnya di hati).”

Pandangan di kalangan penganut Aruh tentang ajaran lisan Aruh sebagai ajaran yang ‘asli’ dan sebaliknya pandangan tentang kitab tertulis sebagai kitab yang sudah berubah, juga dapat ditunjukkan dari pernyataan balian Labah, ketika ia melihat peneliti sedang berusaha menyalin beberapa mamangan atau mantra yang diucapkan balian dalam suatu ritual Aruh Bawanang. Ia menyatakan demikian.

“Piyan (anda) orang Islam kelihatan pandai karena piyan (anda) bisa menulis. Tetapi sebenarnya yang suka menulis itu lebih “bodoh” dari orang di sini. Kenapa? Aku tidak pernah menulis untuk menghafal mantra seperti piyan (anda). Jadi aku lebih pandai, karena cukup menghafal di sini (menunjuk dada, maksudnya menghafal di hati).”

Sistem ajaran yang bersifat lisan diinternalisasikan dalam setiap keluarga balai melalui penceritaan berbagai mitos, serta diperkuat dengan prosesi dalam ritual Aruh Bawanang yagn disebut dengan bahiyuk manyan. Bahiyuk manyan adalah prosesi awal yang dilaksanakan oleh para balian dalam ritual Aruh Bawanang sebagai simbol peresapan ajaran Aruh dalam batin setiap balian, sehingga mereka mampu menghafal ajaran-ajaran Aruh.

2. Ajaran Lisan tentang Hidup Berpindah
Dalam cerita di paragraf kedua mitos Datu Ayuh di atas, digambarkan bahwa baik datu Ayuh maupun Datu Bambang Siwara sama-sama memelihara ternak. Namun, terdapat perbedaan dari cara kedua bersaudara itu dalam memelihara ternaknya. Datu Ayuh digambarkan selalu membiarkan ternak-ternaknya hidup berkeliaran, sedangkan Datu Bambang Siwara digambarkan suka mengikat ternak-ternaknya. Cerita dari mitos itu mengandung makan tentang ajaran religi yang mengukuhkan perbedaan cara hidup antara orang Loksado yang direpresentasikan oleh tokoh mitos Datu Ayuh, dengan cara hidup orang Banjar yang direpsentasikan oleh tokoh mitos Datu Bambang Siwara. Orang Loksado yang merupakan keturunan Datu Ayuh digambarkan sebagai mereka yang tinggal di gunung dan masih hidup berpindah-pindah, sementara itu orang Banjar yang dianggap sebagai keturunan Datu Bambang Siwara digambarkan sebagai masyarakat yang hidup di kota dan memiliki cara hidup menetap.

Dari hasil tafsir terhadap mitos Datu Ayuh tersebut juga ditunjukkan ahwa di balik pencitraan mitos, terdapat konstruksi sosial yang dibangun untuk mengukuhkan perbedaan kedudukan antara orang Banjar dengan orang Loksado. Boleh jadi mitos tersebut sengaja diciptakan oleh orang Banjar untuk membangun kesadaran di kalangan orang Dayak, yaitu bahwa orang Banjar ada dalam kedudukan yang lebih tinggi dalam relasi mereka denga orang Loksado. Konstruksi relasi sosial yang tidak seimbang tersebut secara politis memberi keuntungan bagi orang Banjar, karena dengan posisi yang lebih tinggi dalam relasi itu, orang Banjar memilik posisi tawar yang lebih tinggi dibanding dengan orang Loksado.


3. Dinamika Relasi Banjar dan Loksado
Meskipun mitos persaudaraan itu menggambarkan hubungan yang “mesra” antara orang Banjar dengan orang Loksado, namun di sisi lain cerita tersebut mengandung relasi superior dan inferior yang tidak enak didengar bagi “telinga” orang Loksado. Datu Ayuh yang merefleksikan orang Loksado digambarkan sebagai saudara tua yang memiliki kekuatan fisik, namun tidak bisa baca tulis, bodoh, malas, kurang disiplin, dan selalu meminta bantuan kepada adiknya ketika terjadi musibah. Sebaliknya Bambang Siwara yang merefleksikan orang Banjar, digambarkan sebagai orang yang pandai, bisa baca tulis, rajin, dan memiliki cita-cita yang tinggi.

Meskipun terdengar inferior, namun orang Loksado menerima cerita itu sebagai bentuk kesetiaan mereka terhadap adat leluhur. Keluguan dan ketidaktahuan Datu Ayuh terhadap tradisi baca tulis dimaknai oleh para balian sebagai cara untuk menjaga religi dan adat leluhur yang diinternalkan secara lisan. Sebaliknya, kepandaia Bambang Siwara dimaknai sebagai sifat yang mendorong kepada sikap ambisius dan tidak menjaga religi dan adat leluhur.

2 komentar:

ig: @nzfitr mengatakan...

Wow... :)

Mulyadi Yasin mengatakan...

Agama Balian apa Aruh ? Sebaik nya jg di telusuri arti kata Bali dlm Hindu, Datu Ayuh merupakan legenda setelah masuknya pengaruh Islam