BANJARMASIN – Setelah sempat tenggelam, kontroversi soal perjanjian sewa lahan SPBU Zafry Zam-Zam yang beberapa waktu lalu sempat ramai dipersoalkan karena nilai sewanya dianggap terlalu kecil dan jangka waktu perjanjian yang sangat panjang kembali mengemuka.
Meski sebelumnya pihak legislatif, pemerintah kota, dan pengusaha SPBU sudah ‘berdamai’ bahwa perjanjian yang ada akan tetap dijalankan sampai dapat ditinjau ulang setelah masa sewa sepuluh tahun pertama berakhir sesuai isi perjanjian, yakni pada tahun 2015, namun Walikota Banjarmasin H Muhidin (22/11) menyatakan tekadnya untuk menelisik mengapa perjanjian yang dibuat bisa sedemikian rupa dan sangat merugikan pihak pemerintah.
“Izin yang dulu harus ditelisik kenapa bisa begitu lama. Ada apa?” cetusnya.
Sekadar mengingatkan, kasus SPBU Zafry Zam-Zam pertama kali terangkat pada bulan April 2010. Berawal dari masalah rehab SPBU yang ternyata tidak berizin, kemudian berkembang hingga diketahui bahwa nilai sewa yang dibayar pengusaha kepada pemerintah kota sebagai pemilik lahan ‘hanya’ Rp 4,8 juta per tahun. Parahnya, pada tahun 2005, pemerintah kota ternyata sudah menandatangani perpanjangan sewa dari lima tahun menjadi 30 tahun dan perjanjian baru akan berakhir pada tahun 2030.
“Bayangkan, sewanya hanya Rp 4,8 juta per tahun. Kalau saya, tidak akan mau tanda tangan,” tandasnya.
Meski sebelumnya pihak legislatif, pemerintah kota, dan pengusaha SPBU sudah ‘berdamai’ bahwa perjanjian yang ada akan tetap dijalankan sampai dapat ditinjau ulang setelah masa sewa sepuluh tahun pertama berakhir sesuai isi perjanjian, yakni pada tahun 2015, namun Walikota Banjarmasin H Muhidin (22/11) menyatakan tekadnya untuk menelisik mengapa perjanjian yang dibuat bisa sedemikian rupa dan sangat merugikan pihak pemerintah.
“Izin yang dulu harus ditelisik kenapa bisa begitu lama. Ada apa?” cetusnya.
Sekadar mengingatkan, kasus SPBU Zafry Zam-Zam pertama kali terangkat pada bulan April 2010. Berawal dari masalah rehab SPBU yang ternyata tidak berizin, kemudian berkembang hingga diketahui bahwa nilai sewa yang dibayar pengusaha kepada pemerintah kota sebagai pemilik lahan ‘hanya’ Rp 4,8 juta per tahun. Parahnya, pada tahun 2005, pemerintah kota ternyata sudah menandatangani perpanjangan sewa dari lima tahun menjadi 30 tahun dan perjanjian baru akan berakhir pada tahun 2030.
“Bayangkan, sewanya hanya Rp 4,8 juta per tahun. Kalau saya, tidak akan mau tanda tangan,” tandasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar