A good journalist is not the one that writes what people say, but the one that writes what he is supposed to write. #TodorZhivkov

Selasa, 17 Mei 2011

“Harga” Darah Naik

Pemko Perjuangkan Subsidi

BANJARMASIN – Aulia (26) tak bisa menyembunyikan raut terkejut dari wajahnya saat datang ke Unit Donor Darah (UDD) PMI Kota Banjarmasin beberapa hari lalu. Warga Jl Teluk Tiram itu bermaksud untuk mencari darah bagi saudaranya yang tengah tergolek lemah di rumah sakit. Dan betapa kagetnya pria bertubuh subur itu begitu tahu ‘harga’ darah di PMI ternyata naik.

“Sebulan lalu masih Rp 150 ribu perkantong, sekarang jadi Rp 250 ribu perkantong,” ujarnya.

Kekagetannya ini rasanya bisa dimaklumi. Pasalnya, Biaya Penggantian Pengolahan Darah (BPPD) PMI Kota Banjarmasin sebelumnya memang sempat bertahan cukup lama di angka Rp 150 ribu perkantong, hingga akhirnya pertanggal 1 Mei 2011 tadi naik drastis sekitar 67 persen. Kenaikan BPPD ini ditetapkan melalui Surat Keputusan (SK) Walikota Banjarmasin Nomor 45 Tahun 2011.

“Kenaikan ini dikarenakan harga bahan dan alat pengolahan darah naik,” ujar Kepala UDD PMI Kota Banjarmasin, Sriyanto yang dikonfirmasi Radar Banjarmasin.

Kenaikan harga bahan dan alat itu pun terpaksa dibebankan kepada masyarakat melalui BPPD mengingat BPPD merupakan satu-satunya sumber dana bagi operasional UDD PMI Kota Banjarmasin selama ini, sedangkan subsidi dari pemerintah kota nol besar.

“Kalau dari pemprov ada sedikit-sedikit, misalnya BPPD ditanggung dalam Jamkesmas sebesar Rp 120 ribu perkantong, sisanya dibayar oleh pasien,” tambahnya.

Biaya operasional UDD PMI Kota Banjarmasin selama ini mencapai Rp 250 juta perbulannya dengan kapasitas 2-3 ribu kantong darah, dan hampir 80 persennya dialokasikan untuk pengadaan bahan dan alat pengolahan darah, seperti reagen, kantong darah, dan sarana prasarana lainnya.

Dengan BPPD lama, UDD PMI Kota Banjarmasin hanya bisa fokus pada pengolahan darah saja. Tak heran, kondisi gedung dan peralatan yang dimiliki UDD PMI Kota Banjarmasin boleh dibilang tidak layak karena tidak ada cadangan dana untuk investasi. Gaji para karyawannya pun di bawah UMR. Padahal, UDD PMI Kota Banjarmasin merupakan rujukan dari daerah lainnya di wilayah Kalselteng.

“Kita satu-satunya yang punya alat untuk mengolah trombosit. Usianya sudah 10 tahun, setiap 5-6 jam dipakai biasanya ‘ngambek’ dulu. Padahal, kita daerah endemis DBD,” tuturnya.

BPPD tahun 2011 yang ditetapkan sebesar Rp 250 ribu sebetulnya juga masih berada di bawah standar biaya pengolahan daerah nasional yang mencapai Rp 287 ribu perkantong, sedangkan angka Rp 250 ribu merupakan standar tahun 2010.

“BPPD ini masih bisa ditekan kalau ada subsidi dari pemerintah,” katanya.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 2011, pelayanan darah bukan lagi tanggung jawab PMI semata, tapi juga pemerintah daerah. Di Indonesia, perhatian pemerintah terhadap pelayanan darah memang masih sangat minim, yakni hanya berkisar 10-20 persen saja, sementara di Malaysia misalnya sudah mencapai 80 persen.

“Kita berharap bisa masuk APBD mulai tahun ini,” ucapannya.

Harapan adanya subsidi itu sendiri sudah disampaikan kepada DPRD Kota Banjarmasin kemarin. Namun, Wakil Walikota Banjarmasin HM Irwan Anshari yang hadir dalam kesempatan tersebut selaku Ketua PMI Kota Banjarmasin mengatakan, hal itu nampaknya sulit direalisasikan tahun ini.

“Waktunya sudah mepet, sedangkan SKPD-SKPD banyak yang tengah menyusun usulan perubahan anggaran untuk dimasukkan ke anggaran tambahan. Tapi tahun 2012 akan kita perjuangkan masuk APBD, mungkin melalui bantuan sosial atau hibah,” ungkapnya.

Sementara itu, Wakil Ketua DPRD Kota Banjarmasin Awan Subarkah mengatakan, ketiadaan subsidi dalam pelayanan darah dari pemko selama ini disebabkan karena PMI bukan lembaga di bawah pemerintah sehingga bantuan tidak bisa dianggarkan secara rutin.

“Kita harus konsultasi dengan bagian hukum dulu,” tandasnya.

Tidak ada komentar: