BANJARMASIN – Kepala Dinas Tata Kota dan Perumahan (Distakorum) Kota Banjarmasin Drs H Hamdi menilai memang sudah saatnya Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 Tahun 1998 tentang Pajak Reklame direvisi. Pasalnya, kini banyak reklame yang diselenggarakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah yang notabene tidak termasuk sebagai objek pajak reklame digandeng oleh sponsor atau pihak ketiga yang merupakan objek pajak reklame.
“Banyak reklame pemerintah saat ini digandeng oleh sponsor. Ini kan sebenarnya objek pajak, kadang-kadang malah lebih besar sponsornya daripada pesan pemerintahnya sendiri,” katanya.
Dalam Perda No 6/1998, hal ini masih belum diatur sehingga membingungkan pihaknya dalam melakukan pungutan. Ia mengkhawatirkan ketidaktegasan aturan akan membuat wajib pajak mengelak dari kewajibannya. Selain itu, dualisme ini juga rentan dimanfaatkan oleh pihak tertentu yang ingin mengambil keuntungan pribadi, misalnya petugas pemungut pajak yang nakal yang tetap melakukan pungutan, namun hasilnya tidak disetorkan ke kas daerah.
“Perda Nomor 6 Tahun 1998 memang sudah cukup lama, jadi sudah saatnya direvisi. Nanti akan dibahas lebih dalam lagi dalam pembahasan antara eksekutif dengan legislatif,” ujarnya.
Adapun salah satu hal yang diusulkannya dalam revisi Perda Pajak Reklame itu adalah agar reklame yang diselenggarakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah yang diembel-embeli oleh sponsorship harus ditarik pajaknya. Di samping itu, ia menginginkan agar dalam draft perda yang baru dituangkan dengan jelas bahwa hanya reklame yang sumber dananya murni dari APBD yang tidak termasuk objek pajak reklame sehingga tidak ada pihak yang salah mengintepretasikannya lagi.
Sementara itu, Hamdi mengatakan bahwa Perda Pajak Reklame yang baru juga sebaiknya mengatur mengenai atribut Pemilukada dan Pemilu Legislatif, seperti one way vision.
“Kalau calon kepala daerah memunculkan namanya atau menempel fotonya di mobil, itu kan namanya promosi. Jadi, seharusnya masuk objek pajak reklame juga,” tukasnya.
Ia berharap dengan adanya perda yang mengatur masalah ini, maka penertiban terhadap atribut Pemilukada akan lebih mudah dilakukan karena ada payung hukum yang kuat.
“Perda kan lebih kuat, soal pengaturan teknisnya nanti di perwali (peraturan walikota, red). Yang penting payung hukumnya dulu lewat perda ini,” imbuhnya.
Menanggapi hal itu, anggota Pusat Kajian dan Penelitian Pemerintahan Daerah Unlam Banjarmasin Ahmad Faisal SH MH yang terlibat dalam penyusunan draft Raperda Pajak Reklame yang baru menyatakan bahwa pihaknya tidak bisa langsung menjawab masalah tersebut karena menurutnya harus dilakukan kajian terlebih dahulu terhadap Undang-Undang (UU) Pemilu.
“Banyak reklame pemerintah saat ini digandeng oleh sponsor. Ini kan sebenarnya objek pajak, kadang-kadang malah lebih besar sponsornya daripada pesan pemerintahnya sendiri,” katanya.
Dalam Perda No 6/1998, hal ini masih belum diatur sehingga membingungkan pihaknya dalam melakukan pungutan. Ia mengkhawatirkan ketidaktegasan aturan akan membuat wajib pajak mengelak dari kewajibannya. Selain itu, dualisme ini juga rentan dimanfaatkan oleh pihak tertentu yang ingin mengambil keuntungan pribadi, misalnya petugas pemungut pajak yang nakal yang tetap melakukan pungutan, namun hasilnya tidak disetorkan ke kas daerah.
“Perda Nomor 6 Tahun 1998 memang sudah cukup lama, jadi sudah saatnya direvisi. Nanti akan dibahas lebih dalam lagi dalam pembahasan antara eksekutif dengan legislatif,” ujarnya.
Adapun salah satu hal yang diusulkannya dalam revisi Perda Pajak Reklame itu adalah agar reklame yang diselenggarakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah yang diembel-embeli oleh sponsorship harus ditarik pajaknya. Di samping itu, ia menginginkan agar dalam draft perda yang baru dituangkan dengan jelas bahwa hanya reklame yang sumber dananya murni dari APBD yang tidak termasuk objek pajak reklame sehingga tidak ada pihak yang salah mengintepretasikannya lagi.
Sementara itu, Hamdi mengatakan bahwa Perda Pajak Reklame yang baru juga sebaiknya mengatur mengenai atribut Pemilukada dan Pemilu Legislatif, seperti one way vision.
“Kalau calon kepala daerah memunculkan namanya atau menempel fotonya di mobil, itu kan namanya promosi. Jadi, seharusnya masuk objek pajak reklame juga,” tukasnya.
Ia berharap dengan adanya perda yang mengatur masalah ini, maka penertiban terhadap atribut Pemilukada akan lebih mudah dilakukan karena ada payung hukum yang kuat.
“Perda kan lebih kuat, soal pengaturan teknisnya nanti di perwali (peraturan walikota, red). Yang penting payung hukumnya dulu lewat perda ini,” imbuhnya.
Menanggapi hal itu, anggota Pusat Kajian dan Penelitian Pemerintahan Daerah Unlam Banjarmasin Ahmad Faisal SH MH yang terlibat dalam penyusunan draft Raperda Pajak Reklame yang baru menyatakan bahwa pihaknya tidak bisa langsung menjawab masalah tersebut karena menurutnya harus dilakukan kajian terlebih dahulu terhadap Undang-Undang (UU) Pemilu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar