A good journalist is not the one that writes what people say, but the one that writes what he is supposed to write. #TodorZhivkov

Minggu, 15 Mei 2011

Kredit Revitalisasi Perkebunan Sulit Diakses

Terkendala Masalah Sertifikasi Lahan

BANJARMASIN – Realisasi program revitalisasi perkebunan yang dicanangkan pemerintah sejak tahun 2006 di Kalimantan Selatan masih sangat rendah. Hal ini menjadi salah satu alasan banyaknya perusahaan perkebunan kepala sawit baru di Kalsel yang belum menjalankan kewajiban pemberdayaan kegiatan ekonomi masyarakat melalui pembangunan lahan perkebunan plasma untuk rakyat.

“Permasalahannya, kita tidak bisa mengakses dana untuk pembangunan perkebunan plasma, karena bank dunia dan semua afiliasinya tidak lagi mendanai pengembangan perkebunan sawit. Bank tidak menyetop, tapi dari proses yang dilakukan perusahaan ke bank, banyak perusahaan mitra yang tidak bisa memperoleh dana seperti diharapkan,” ujar Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Kalsel, Untung Wiyono.

Ia sendiri tidak tahu persis alasannya, namun pihaknya berharap pemerintah dapat mencari terobosan lain sebagai solusi atas sulitnya pengusaha mengakses dana ke bank.

Menanggapi hal ini, Peneliti Senior Bank Indonesia (BI) Banjarmasin, Taufik Saleh mengatakan, rendahnya realisasi kredit revitalisasi perkebunan secara umum disebabkan karena ada persyaratan yang sulit dipenuhi nasabah, khususnya petani, yakni terkait masalah verifikasi lahan.

Ini masih jadi kendala dalam realisasi kredit revitalisasi perkebunan,” katanya.

Pada prinsipnya, lanjutnya, skim kredit ini memang diarahkan untuk memberi kemudahan kepada para petani agar mereka bisa meningkatkan produksinya, terutama untuk komoditas pangan unggulan dan strategis, sehingga BI juga mendorong bank agar meningkatkan kredit untuk sektor pertanian.

“Tapi memang ada persyaratan teknis di beberapa daerah yang masih sulit dipenuhi, khususnya sertifikasi lahan,” tukasnya.

Oleh sebab itu, menurutnya letak permasalahan bukan semata dari sisi bank, tapi juga dari sisi pemerintah daerah dan institusi terkait masalah sertifikasi lahan. Barangkali, katanya, petani bisa diberikan kemudahan dalam mengurus sertifikasi lahan.

“Kalau pengaruh isu lingkungan, saya rasa tidak. Memang ada pertimbangan, tapi perhitungan dari sisi keuangan lebih menjadi perhatian,” tambahnya.

Secara umum, realisasi kredit di sektor pertanian dalam arti luas di Kalsel memang masih relatif kecil, yakni di bawah empat persen, jauh di bawah kredit konsumsi dan perdagangan.

“Meski punya peran besar dan menyerap tenaga kerja paling tinggi, tapi belum semua bank memiliki kesiapan untuk membiayai sektor pertanian. Mereka masih cenderung pada sektor-sektor konvensional, seperti perdagangan, jasa, dan konsumsi,” tandasnya.

Tidak ada komentar: