A good journalist is not the one that writes what people say, but the one that writes what he is supposed to write. #TodorZhivkov

Selasa, 03 Januari 2012

Retribusi Tak Sampai Rp 200/botol

Perda Miras Disahkan

BANJARMASIN – Larangan total terhadap peredaran minuman keras (miras) di Kota Banjarmasin resmi dicabut. Hal itu seiring dengan disahkannya Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Pengawasan dan Pengendalian Penjualan Minuman Beralkohol di Kota Banjarmasin menjadi peraturan daerah (perda) dalam rapat paripurna yang berlangsung Jumat (29/12) malam di gedung DPRD Kota Banjarmasin.
Pada kesempatan yang sama, juga disahkan Raperda tentang Retribusi Izin Tempat Berjualan Minuman Beralkohol. Berbeda dengan Raperda tentang Pengawasan dan Pengendalian Penjualan Minuman Beralkohol yang mendapat dukungan bulat, pengesahan Raperda tentang Retribusi Izin Tempat Berjualan Minuman Beralkohol harus melalui voting karena tiga dari tujuh fraksi di DPRD Kota Banjarmasin tidak sepakat, yakni Fraksi PKS, Fraksi PDIP, dan Fraksi Gabungan.
Awalnya, Ketua DPRD Kota Banjarmasin Rusian menawarkan kepada peserta rapat untuk menyatakan setuju atau tidak setuju terhadap pengesahan raperda tersebut. Namun, anggota DPRD Kota Banjarmasin dari Fraksi PAN M Dafik As’ad menyela bahwa jika dalam pengambilan sebuah keputusan tidak tercapai mufakat, maka keputusan tidak bisa diserahkan kepada forum dengan menanyakan setuju atau tidak setuju, tapi harus melalui voting.
Akhirnya, voting pun dilakukan. Dari 39 anggota dewan yang hadir, sebanyak 26 orang menyatakan setuju, 13 orang menolak, dan satu orang memilih abstain.
Ketua Fraksi PKS Muhammad Fauzan mengatakan bahwa penarikan retribusi izin tempat penjualan minuman beralkohol bukanlah solusi dalam pembatasan pengendalian peredaran minuman beralkohol. Sebaliknya, justru dengan adanya retribusi, maka penjual minuman beralkohol akan lebih kuat posisinya.
“Sehingga penertiban ke depan akan lebih sulit. Pedagang biasa saja ketika ditarik retribusi maka akan mengalami hambatan ketika ditertibkan,” ujarnya.
Selain itu, nilai retribusi yang kelihatannya besar hingga puluhan sampai ratusan juta rupiah, ketika dihitung ternyata tak sampai Rp 200 perbotol.
“Sangat tidak signifikan dibanding dampak yang ditimbulkan,” tegasnya.
Argumen serupa juga menjadi dasar yang digunakan Fraksi PDIP dan Fraksi Gabungan untuk menolak Raperda tentang Retribusi Izin Tempat Berjualan Minuman Beralkohol disahkan menjadi perda.
Adapun lima fraksi lainnya, yakni Fraksi Demokrat, Fraksi PBR, Fraksi PAN, Fraksi Golkar, dan Fraksi PPP dapat menerima dengan catatan retribusi yang ditarik dikembalikan untuk biaya operasional pengawasan dan pengendalian peredaran miras.
“Hasil penarikan retribusi hanya untuk membiayai operasional pengawasan miras, bukan pembangunan. Dengan alasan itu, kami dapat menerima,” ucap Ketua Fraksi PBR Chandra Bayu.
Dijelaskan Ketua Pansus Raperda tentang Pengawasan dan Pengendalian Penjualan Minuman Beralkohol serta Raperda tentang Retribusi Izin Tempat Berjualan Minuman Beralkohol Arufah AR, penarikan retribusi dihitung berdasarkan luas tempat berjualan. Tempat-tempat penjualan miras dibatasi hanya pada hotel bintang lima, bintang empat, dan bintang tiga, restoran setingkat Talam Kencana dan Talam Selaka, diskotek, karaoke, dan pub.
“Kalau perhitungannya dari jumlah botol yang dijual itu namanya pajak,” katanya.
Di Banjarmasin sendiri terdapat 2 buah hotel bintang empat, 6 buah hotel bintang tiga, 4 buah restoran setingkat Talam Selaka, 3 buah diskotek, 12 buah karaoke, dan 6 buah pub. Sedangkan jumlah miras yang boleh beredar tidak dibatasi.
“Dalam pembahasan, potensi retribusi dari izin tempat berjualan minuman beralkohol diperkirakan mencapai Rp 1 miliar-Rp 2 miliar. Jadi, tidak ada alasan lagi pengawasan miras nantinya lemah karena biaya operasionalnya cukup besar,” tandasnya.

Perda Pengawasan Miras Jadi Benteng
 
Dilematis. Itulah yang dihadapi Pemerintah Kota Banjarmasin dalam menghadapi masalah peredaran minuman keras (miras). Sebelumnya, Pemko Banjarmasin pernah mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 Tahun 2007 tentang Larangan Memproduksi, Memiliki, Mengedarkan, Menjual, Menyimpan, Membawa, Mempromosikan, Mengkonsumsi Minuman Beralkohol Di Kota Banjarmasin.
Namun, perda ini dianulir oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) karena bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2009 tentang Pariwisata yang membolehkan miras dijual di tempat-tempat tertentu. Kini, Pemko Banjarmasin membuat perda baru yang mengacu pada UU tersebut.
“Memang negara memberi ruang untuk penjualan miras di tempat-tempat khusus,” ujar Ketua Pusat Pengkajian Produk Hukum Unlam Ahmad Faisal, kemarin.
Demikian pula dengan penarikan retribusi izin tempat berjualan minuman beralkohol, juga dilegalkan dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).
Memang, katanya, ada perspektif Banjarmasin sebagai daerah religius, kalau mengizinkan penjualan miras berarti sama dengan melegalkan. Tapi secara kondisional, Banjarmasin adalah pusat hiburan.
“Nah, problemnya adalah pangsa pasar miras ini siapa? Wisatawan asing yang masuk ke Banjarmasin tidak seberapa. Kalau begitu, sama saja dengan melegalkan masyarakat lokal untuk minum,” katanya.
Ditambahkannya, disinilah pentingnya menjadikan Perda tentang Pengawasan dan Pengendalian Penjualan Minuman Beralkohol sebagai benteng untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif miras.
“Mestinya, dalam perda diatur tentang pembatasan jumlah miras yang beredar. Selain itu, penjualan di luar tempat-tempat yang ditentukan harus ditindak tegas,” ucapnya.
Sementara itu, Walikota Banjarmasin Muhidin kembali menegaskan bahwa pembentukkan perda miras bertujuan untuk memudahkan pengendaliannya karena kini penjualan miras tidak lagi dilakukan sembunyi-sembunyi.
“Misalnya dilarang sama sekali, mungkin banyak permainan antara eksekutif dengan pengusaha. Saya khawatir seperti Depok, kota kecil tapi korupsinya nomor dua, rekening PNS-nya gendut-gendut,” ucapnya.

Tidak ada komentar: