Dari Pelosok
ke Negeri Para Nabi
Lahir dan
tumbuh besar di pelosok, tapi Miftahur Rahman (27) sukses memegang predikat lulusan
master Timur Tengah termuda dari Indonesia. Sampai sarjana tak pernah menulis,
tapi kini ia malah jadi penulis dan wara-wiri memberi motivasi.
“Dulu tidak
pernah terbayang saya bisa memberikan inspirasi bagi banyak orang dengan buku-buku
yang saya tulis, meskipun sebenarnya masih sangat minim sekali. Apalagi dengan
background pesantren ‘sarungan’ yang terkungkung pada budaya dan pemikiran
klasik, sulit membayangkan pencapaian saya sekarang,” tutur anak muda banua
kelahiran Jaro Kabupaten Tanjung, 16 Maret 1984 itu.
Di kecamatan
yang terletak di ujung Kalimantan Selatan yang berbatasan dengan Kalimantan
Timur itulah masa kecilnya dihabiskan. Jauh dari keramaian kota, satu-satunya
media yang memberikan wawasan waktu itu cuma majalah anak-anak yang dibeli
setiap minggu.
Bungsu dari
dua bersaudara itu juga punya hobi korespondensi dengan anak-anak dari daerah
lain di Nusantara yang menjadi sahabat penanya. Saat kelas V SD, ia pernah
mengirim surat untun mantan Presiden Soeharto dan mendapat balasan.
“Sejak kecil
saya sudah mulai mengagumi tokoh-tokoh besar yang sukses, mulai suka mengamati
keberhasilan yang mereka lakukan, dan membaca karya-karya mereka,” katanya.
Ketika duduk
di kelas II MTs Negeri Jaro, angan-angan menuntut ilmu di pusat pendidikan
Islam dunia, Mesir, terbersit dibenaknya. Namun, setamat MTs ia malah menyimpang ke
pondok pesantren salafi yang tidak mengeluarkan ijazah formal.
Tercatat ia
pernah nyantri di PP Darussalam Martapura dan PP Ibnu al-Amin
Pemangkih HSU, sebelum kemudian pindah ke Madrasah Aliyah di Muara Komam
Kalimantan Timur dan
mendapatkan ijazah formal sehingga bisa melanjutkan kuliah ke IAIN Antasari
Banjarmasin.
“Pas
semester lima, saya coba-coba ikut seleksi beasiswa S1 ke Universitas al-Azhar
Kairo yang diselenggarakan oleh Departemen Agama. Alhamdulillah, dari 30
peserta 3 orang berhasil lulus mewakili wilayah Kalimantan. Dari 3 orang
tersebut, hanya saya yang kemudian mengikuti tes tahap dua di Kedubes Mesir di
Jakarta,” kenangnya.
Karena
kendala waktu pemberangkatan yang lama, ia harus menunggu sekitar 1,5 tahun.
Selama menunggu, ia pun ngebut menyelesaikan S1 di Fakultas Tarbiyah Jurusan
Bahasa Arab IAIN
Antasari Banjarmasin. Tiga hari setelah
wisuda pada tahun 2006 silam, ia pun akhirnya terbang ke negeri para nabi itu.
“Di Kairo,
saya mengalami banyak masalah. Saya tidak bisa diterima di al-Azhar karena
ijazah saya sudah kadaluarsa tahunnya. Tapi berbekal ijazah S1 yang saya
kantongi, saya bisa melanjutkan ke S2 di universitas yang tidak kalah bagusnya
dan lebih nyambung dengan jurusan saya ketika di Indonesia, yakni spesialisasi
Bahasa Arab,” sambungnya.
Tahun 2011, gelar master diraihnya dari Fakultas Sastra dan Bahasa Arab
Universitas Liga Arab Kairo Mesir. Ia pun ditahbiskan sebagai lulusan master Timur Tengah
termuda dari Indonesia. Prestasi ini tentu istimewa karena standar orang Arab
dan tingkat kesulitan menempuh kuliah yang berkali lipat dari
standar pendidikan di dalam negeri. Saat ini, ia tengah menggarap desertasi program doktoral di universitas
yang sama.
“Beberapa
waktu setelah pengukuhan sebagai master, saya mendapatkan kesempatan sebagai orang
Indonesia pertama yang diundang salah satu stasiun televisi Mesir untuk
melakukan wawancara dalam program Delegasi Keilmuan Internasiona dengan bahasa
Arab,” ujarnya.
Selama di Mesir, terkadang kesepian dan rindu kampung halaman menghinggapi hatinya. Suatu kali di tahun 2008, ia berkenalan dengan blog, yang kemudian menjadi ruang untuk mengisi kesendiriannya dengan menulis. Tak dinyana, ia yang sampai lulus S1 tidak pernah menulis artikel, cerpen, ataupun puisi, ternyata mampu menghasilkan ratusan tulisan. Pada 2010, ia ‘nekat’ menerbitkan buku sendiri, judulnya"Quantum Motivation".
“Beberapa tulisan saya pernah dimuat di media massa nasional online, dan kebetulan ada seorang editor dari sebuah penerbit besar di Indonesia yang tertarik dengan tulisan saya,” imbuhnya.
Sekitar enam bulan lalu, bukunya yang kedua berjudul “Dahsyatnya Potensi Ahsanu Taqwim” pun dilempar ke pasaran dengan tambahan “El-Banjary” di belakang namanya guna menegaskan asal muasal sang penulis.
Bulan depan, buku selanjutnya yang terilhami dari kisah inspiratif pengembaraannya ke Mesir dan diberi judul “Keajaiban 1000 Dinar” akan menyusul. Di pertengahan tahun 2012, ia bahkan sudah berencana untuk menerbitkan dua buku lagi.
Ia sendiri menargetkan dalam beberapa tahun ke depan bisa menerbitkan minimal 10 buku bergizi yang menginspirasi, selain mengejar gelar doktor dan profesor muda, sambil pula tetap menggeluti aktivitas memotivasi orang lain.
“Saya hanya ingin hidup yang singkat ini bermakna dan bisa dikenang dengan kebaikan yang kita berikan. Di samping ada sebuah keinginan untuk membuktikan bahwa generasi muda Banjar juga bisa berprestasi dan mengambil peranan penting serta berkiprah di kancah nasional bahkan internasional,” ucapnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar