“Kami Cukup Dibayar dengan Senyuman”
Gerakan Indonesia Mengajar yang digagas Anies Baswedan sudah
menelurkan lima angkatan. Dari 52 orang Pengajar Muda angkatan V yang disebar
ke berbagai pelosok Nusantara pada 3 November 2012 lalu, terdapat putra daerah
asli Kalimantan Selatan. Siapa dia?
![]() |
Marliyanti (paling kanan) |
“Saya tanya kapan Indonesia merdeka, mereka jawab hari
Senin. Soalnya setiap hari Senin upacara bendera,” kata Marliyanti (26) mengutip
celoteh murid-muridnya di SDN Inpres Moilung, Desa Moilung Kecamatan Moilung
Kabupaten Banggai Provinsi Sulawesi Tengah saat dihubungi Radar Banjarmasin,
Minggu (11/11).
Sudah seminggu Yanti –demikian panggilan akrabnya, mengajar
di desa pesisir yang berjarak tiga jam perjalanan darat dari ibukota kabupaten
itu. Demi menimba pengalaman dan berbagi ilmu, kelahiran Barabai 15 September
1986 itu rela meninggalkan keluarga dan pekerjaannya sebagai dosen di salah
satu universitas swasta sekaligus konsultan di sebuah lembaga psikologi di
Banjarmasin.
Pada bulan April 2012, anak kedua dari tiga bersaudara
pasangan M Arsyad-Maslian itu mengikuti seleksi online bersama 6.845 orang
kandidat lainnya dari seluruh Indonesia. Lolos seleksi tahap pertama,
selanjutnya Yanti dipanggil untuk asesmen langsung di Yogyakarta. Namanya masih
bertahan pada seleksi tahap kedua ini. Setelah itu ia juga berhasil lolos tes
kesehatan, hingga akhirnya menandatangani kontrak sebagai Pengajar Muda. Tapi
perjuangannya tak berhenti sampai di situ, karena masih ada tahap pelatihan
selama dua bulan.
“Tahap pelatihan ini juga bagian dari seleksi, karena ada
beberapa peserta yang tidak jadi diberangkatkan,” kisah alumni S1 Psikologi
Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dan S2 Psikologi Universitas Gajah Mada
(UGM) Yogyakarta itu.
Pelatihan yang dilalui cukup berat, terutama bagaimana cara
bertahan hidup di alam. Maklum saja, para Pengajar Muda ini bakal ditempatkan
di daerah terpencil. Dalam pelatihan ini juga melibatkan Koppasus.
Ujung-ujungnya, hanya 52 orang yang tersisa, termasuk Yanti yang boleh dibilang
Pengajar Muda pertama dari Kalsel. Pada angkatan sebelumnya ada salah satu
peserta keturunan Banjar, tapi lahir dan besar di Bandung.
Pada 3 November 2012, ke-52 orang Pengajar Muda angkatan V
dilepas penggagas Indonesia Mengajar, Anies Baswedan di Bandara Soekarno Hatta.
Yanti tak sendiri, ada lima orang Pengajar Muda lainnya yang juga mendapat
penempatan di Kabupaten Banggai, tapi beda kecamatan dan desa.
“Di tempat saya untungnya sudah masuk listrik dan ada sinyal
telepon. Di belakang rumah ada pantai, jaranya sekitar lima menit saja,” ucap
Yanti yang sangat gandrung melahap buku.
Sedang rekan-rekannya yang lain ada yang harus menyeberang
pulau dan naik gunung. Terputus dari listrik dan sinyal telepon. Dikatakannya,
prinsip Indonesia Mengajar ada dua, yakni membantu kekurangan guru di daerah
terpencil dan membentuk sikap kepemimpinan pada generasi muda. Di Desa Moilung,
Yanti tinggal di rumah salah satu penduduk. Sedang di SDN Inpres Moilung, Yanti
bertugas sebagai wali kelas IV. Tapi karena kekurangan guru, terkadang ia juga
mengajar kelas lainnya.
“Anak-anak sangat semangat belajar. Muridnya sih tidak
banyak, satu sekolah tidak sampai seratus orang. Tapi kadang-kadang gurunya
tidak ada, misalnya seperti kepala sekolah juga merangkap tata usaha. Kalau
fasilitas perpustakaan ada, tapi cuma buku-buku teks. Alat peraga juga kurang,”
tuturnya.
Selain mengajar, para Pengajar Muda juga diwajibkan menjadi
bagian dari masyarakat. Mereka harus mengajak warga desa untuk membuat
perubahan ke arah yang lebih baik. Saat ini Yanti masih dalam tahap
bersosialisasi dengan penduduk setempat. Untungnya bahasa daerah mereka agak
mirip dengan bahasa Indonesia, sehingga tidak terlalu menjadi kendala.
Kabupaten Banggai sendiri merupakan daerah penempatan baru
untuk penugasan Pengajar Muda Indonesia Mengajar pertahun 2012 ini. Mayoritas
penduduk terdiri dari suku Saluan, Ta, Bajo, serta suku lain seperti Jawa dan
Bugis. Sebagian besar warganya memiliki mata pencaharian sebagai penggarap
kebun maupun nelayan. Karena daerah baru, menurut Yanti tantangannya lebih
berat karena masyarakat setempat belum tahu tentang aktivitas Indonesia
Mengajar dan Pengajar Muda.
“Di Desa Moilung banyak anak mudanya yang keluar desa
daripada membangun desanya. Pendiidkan tampaknya juga belum dianggap oleh para
orangtua, banyak anak-anak yang bekerja membantu orangtuanya,” tuturnya.
Yanti dan para Pengajar Muda lainnya baru bisa pulang
kampung 14 bulan lagi. Meski dibekali biaya hidup, tapi mereka umumnya tak
mengharapkan timbal balik. Terlebih rata-rata kondisi ekonomi mereka sudah
mapan.
“Bukan itu sih yang jadi pertimbangan, kami sudah didoktrin
bahwa Pengajar Muda cukup dibayar dengan senyum anak-anak di tempat kami
mengajar. Yang penting tidak terlantar,” selorohnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar