A good journalist is not the one that writes what people say, but the one that writes what he is supposed to write. #TodorZhivkov

Selasa, 06 April 2010

Banyak Lembaga Pendidikan Terjebak dalam Distorsi Pendidikan

Sejatinya, pendidikan adalah lembaga nonprofit atau nirlaba. Namun, kini nampaknya telah terjadi pergeseran orientasi dalam dunia pendidikan dimana ada kecenderungan lembaga pendidikan dijadikan sebagai wahana bisnis bagi pengelolanya. Kualitas lulusan pun menjadi prioritas nomor dua.

Bicara kualitas lulusan perguruan tinggi saat ini, Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Islam Kalimantan (Uniska) Banjarmasin, Drs Deli Anhar M.Ap lebih tertarik memulainya dari aspek proses yang menghasilkan lulusan tersebut. Ia menyebut bahwa kini ada fenomena yang dinamainya distorsi pendidikan dimana ada pihak-pihak yang terperangkap dalam tujuan pragmatis atau jangka pendek. Hanya demi memenuhi tuntutan pasar, esensi pendidikan itu sendiri menjadi terabaikan.

“Misalnya, ramai-ramai membuka program studi yang sedang diminati pasar, tapi tidak berupaya menghasilkan lulusan yang berkualitas sesuai dengan standar yang dikehendaki,” ujarnya.

Ia menilai, tujuan pendidikan semestinya tetap pada idealismenya untuk menghasilkan sumebr daya manusia yang berkualitas, namun juga menyesuaikan dengan tuntutan pasar.

“Makanya sekarang dalam membuat kurikulum, perguruan tinggi diharuskan untuk melibatkan salah satunya organisasi profesi atau pengguna langsung, yaitu orang-orang yang bekerja di sektor yang sesuai dengan program studi yang bersangkutan agar cocok dengan lapangan kerja yang tersedia,” imbuhnya.

Proses pendidikan yang bagus, ujarnya, sangat dipengaruhi oleh beberapa variabel yang harus diperhatikan oleh lembaga pendidikan. Pertama, variabel visi-misi, tujuan, sasaran, dan target pencapaian.

“Visi-misi harus dibuat secerdas mungkin agar arah pendidikan benar-benar menuju kepada quality assurance. Institusi itu bukan benda mati, melainkan harus bisa mengikuti perkembangan, termasuk perubahan lingkungan. Pencapaiannya juga harus jelas. Ada program dan tahapan-tahapan yang jelas dan yang terpenting harus terukur,” urainya.

Kedua, variabel leadership. Menurutnya, lembaga pendidikan harus dipimpin pimpinan yang punya inteletualitas, integritas, moralitas, dan kapabilitasn yang memadai.

“Yang paling penting juga mampu bertindak sebagai manajer, termasuk bagaimana menggerakkan seluruh sumber daya yang dimiliki lembaga itu. Jangan sampai ada unit-unit tertentu yang berkembang cepat dan ada yang lamban, atau ada dosen yang kemampuannya berlebihan dan ada yang ketinggalan. Itu namanya sistem yang tidak komprehensif atau parsial,” katanya.

Ditambahkannya juga, lembaga pendidikan harus membuat standar mutu dimana lulusan perguruan tinggi saat ini dituntut berkualitas dan kompetitif atau sesuai dengan kebutuhan pasar.

Ketiga, mahasiswa semestinya diterima melalui seleksi yang ketat. Ia menyatakan bahwa sekarang bukan zamannya lagi menerima mahasiswa secara berlebihan, tapi betul-betul disesuaikan dengan rasio.

“Jadi, menerima murid itu harus dengan pendekatan rasional, bukan dengan pendekatan emosional. Apalagi kalau ingin mengefektifkan kegiatan belajar mengajar. Lebih-lebih tuntutan belajar sekarang itu bukan lagi transformation knowledge, tapi exploration knowledge. Guru dan mahasiswa sama-sama mencari bahan-bahan pembelajaran agar semakin banyak yang dipelajari agar dihasilkan lulusan yang benar-benar berkualitas, salah satu cirinya adalah mandiri. Tidak mengganggur terlalu lama setelah lulus, bahkan kalau perlu di inden lebih dulu oleh dunia usaha,” cetusnya.

Keempat, sumber daya manusia terutama tenaga pendidik. Diharapkan, ujarnya, dosen memiliki dua hal, yaitu strata pendidikan yang minimal yang menunjukkan kemampuan akademiknya dan jabatan fungsional, misalnya di bidang penelitian atau pengabdian.  

“Selain itu, ada beberapa kompetensi yang harus dimiliki oleh pendidik, seperti kompetensi sosial atau kemampuannya bermasyarakat, kompetensi kepribadian, dan kompetensi profesional, yaitu wawasan, komitmen, dan kompetensi,” tuturnya.

Kelima, standar kurikulum, pembelajaran, dan suasana akademik. Kurikulum didesasin berbasis kompetensi dan sesuai minat mahasiswa serta memasukkan unsur muatan lokal

“Sedangkan proses pembelajaran harus berlangsung sesuai standar, baik dari segi SKS, waktu, dan pola. Kemudian suasananya, bagaimana menciptakan academic atmosphere dimana saja, tidak hanya di ruang kelas,” katanya.

Keenam, standar pendanaan. Kualitas tentu saja tidak dapat dihasilkan tanpa anggaran yang memadai. Pendanaan ini terkait dengan banyak hal, seperti pernghargaan yang diberikan kepada dosen, sarana prasarana, dan sistem informasi yang memungkinkan mahasiswa mengakses ilmu pengetahuan seluas-luasnya.

“Yang terpenting adalah pelan-pelang mengurangi beban mahasiswa. Alangkah eloknya kalau biaya pendidikan tidak bergantung pada orang tua murid,” imbuhnya.

Sedangkan variabel yang terakhir atau ketujuh, adalah variabel pengembangan, penelitian, dan pengabdian.

Secara umum, ujarnya, lebih banyak lembaga pendidikan yang belum menyadari hal-hal yang disebutkannya itu. Selain itu, untuk mencapai ke arah sana diperlukan sumber daya yang tidak sedikit dan keseriusan. Oleh karena itu, ia berharap pihak swasta ikut membantu mempercepat proses tersebut.


Meski demikian, ia juga melihat sudah ada sejumlah lembaga pendidikan yang mengarah pada terciptanya sistem pendidikan yang ideal itu, misalnya yang ditunjukkan dengan akreditasi atau standarisasi ISO.

“Tapi kenapa sudah berkualitas ternyata tetap tidak banyak juga yang bisa terserap di dunia kerja? Itu karena memang lapangan kerjanya juga terbatas. Selain itu, untuk lulusan S-1 memang statusnya masih siap untuk dikembangkan karena mereka lebih banyak diajarkan teori. Kalau diterima di suatu perusahaan, maka mereka memang harus mengikuti pendidikan dan pelatihan di perusahaan tersebut. Lain dengan pendidikan profesi atau D-3 dimana mereka diajarkan 70 persen praktek, jadi sudah mengarah pada hal-hal yang teknis dan praktis, sehingga mereka menjadi tenaga siap pakai,” pungkasnya. (mr-108)


Pendidik Harus Punya Self Introspection

Bergelut di dunia pendidikan sejak tahun 1988, Deli Anhar merasa ada banyak hal yang telah didapatkannya.

“Saya menjadi dosen atas dasar minat yang tentu diawali dengan niat. Kenapa? Karena memang bagi saya, banyak hal yang bisa didapat dengan jadi pendidik. Pertama, tantangan untuk terus mengikuti perkembangan-perkembangan, khususnya yang terkait dengan disiplin ilmu. Tenaga pendidik itu dituntut memiliki wawasan, kreatifitas, dan inovasi. Apalagi sekarang tenaga pendidik dituntut profesional yang dibuktikan dengan sertifikasi,” tuturnya.

Kedua, sambungnya, menjadi pendidik membuatnya memiliki banyak teman. Dan ketiga, ada kepuasan batin yang luar biasa ketika melihat murid yang telah dididik berhasil menjadi orang.
“Ini yang tak dimiliki oleh profesi lain,” ucapnya bangga.

Menjadi seorang pendidik sendiri, bagi Deli Anhar memiliki filosofi yang sangat sederhana, namun maknanya begitu dalam. Dengan menjadi pendidik, ujarnya, berarti menjadikan diri sendiri terlebih dahulu sebagai pribadi yang terdidik baik secara intelektual maupun secara moral dan integritas.

“Jadi, merasa diri ini lebih terkontrol. Menjadi pendidik itu self introspection-nya harus tinggi karena pendidik harus jadi panutan,” cetusnya. 

Tidak ada komentar: