Peraturan dari Pusat Justru Menyusahkan
Dalam rangka membahas berbagai isu terkait aspek hukum dan perundang-undangan penanggulangan kemiskinan di Indonesia, Direktorat Penanggulangan Kemiskinan Bappenas memfasilitasi serangkaian forum discussion group (FDG) di tiga kota di Indonesia yang dinilai cukup berhasil dalam menanggulangi kemiskinan dan menciptakan pemerintahan yang baik, salah satunya Banjarmasin. Berikut Laporannya.
NAZAT FITRIAH, Banjarmasin
“Kami mau melakukan pemantauan terhadap program penanggulangan kemiskinan di daerah, terutama kaitannya dengan dukungan regulasinya. Kita tahu program-programnya sudah banyak, lalu bagaimana kita mensingkronkan program di pusat dengan daerah agar keduanya saling mendukung. Tapi ternyata kita juga lihat bahwa walau sudah ada aturan main, masih banyak sekali kendala di lapangan,” ucap Woro Sulistyaningrum ST MIDS, Kasubdit Pemetaan Penduduk Miskin Direktorat Penanggulangan Kemiskinan Bappenas usai memimpin FDG dengan sejumlah pejabat di lingkungan Sekretariat Daerah Kota Banjarmasin serta SKPD dan badan yang terkait dengan urusan penanggulangan kemiskinan di Hotel Victoria, Kamis (30/9).
Ya, forum ini dapat dikatakan telah membuka keran informasi dari daerah ke pusat yang selama ini tersumbat. Para pejabat yang hadir sendiri benar-benar memanfaatkan forum ini sebaik-baiknya untuk “curhat” seputar kendala yang mereka hadapi di lapangan. Ternyata, ada begitu banyak permasalahan yang dialami oleh pemerintah daerah akibat peraturan yang dibuat oleh pemerintah pusat.
Seperti diungkapkan oleh Kepala Bagian Hukum Setdako Banjarmasin, H Fathurrahim SH MH, yang menyoroti soal penanggung jawab penyaluran raskin yang diserahkan kepada lurah. Di sisi lain, regulasi yang dikeluarkan pusat tidak memberi perlindungan hukum kepada para lurah saat menjalankan tugasnya di lapangan.
“Pemerintah daerah itu kan punya kewajiban untuk membayar lebih dulu kepada Bulog. Karena masyarakat yang miskin belum tentu bisa membeli semua, akhirnya berasnya ada sisa. Kemudian, petugas yang mengantarkan beras itu kepada lurah terkadang juga minta beras ke lurah sebagai ongkos angkut. Nah, hal-hal seperti ini kan bisa bikin korupsi, lurah yang kena walaupun tidak ada kerugian keuangan negara karena sudah dibayar duluan,” ujarnya.
Selain itu, ia juga mengeluhkan seringnya pemerintah pusat mempolitisir suatu peraturan untuk kepentingannya sendiri sehingga menyulitkan pemerintah di daerah-daerah. Misalnya, percepatan penyaluran BLT pada saat menjelang pilpres. Tindakan ini menurutnya mengacaukan upaya pemerintah daerah yang ingin meningkatkan derajat kesejahteraan masyarakat melalui kegiatan yang bersifat produktif.
“Menjelang pilpres, BPS diminta cepat-cepat menyerahkan data penduduk miskin untuk pembagian BLT. Tapi setelah selesai pilpres, BLT ternyata tidak ada lagi. Nah, yang jadi beban adalah untuk pemda karena masyarakat sudah terbiasa menerima uang,” katanya.
Lain lagi dengan “curhat” Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Kota Banjarmasin, drh Priyo Eko. Ia mengeluhkan soal ketatnya petunjuk teknis (juknis) penggunaan dana PNPM KP untuk kegiatan budidaya ikan yang diterbitkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan dan tidak sesuai dengan karakteristik lokal sehingga ujung-ujungnya jadi mubazir.
“Misalnya, dalam juknisnya, ikan yang dibudidayakan harus lele, patin, dan nila. Orang Banjar kan tidak suka lele, patin sudah banyak yang produksi, sedangkan nila kalau di perairan Banjarmasin susah besar,” tuturnya.
Selain itu, kebanyakan penerima dana PNPM KP adalah para pengusaha karena syaratnya harus memiliki empang atau kolam.
“Kalau dananya diberikan kepada masyarakat miskin, mereka kan tidak punya empang. Apa yang terjadi? Ketika BPK masuk, ada temuan karena saya telah meminjamkan kolam milik PU. Saya pikir saya akan dapat penghargaan, ternyata saya salah,” selorohnya.
Dalam rangka membahas berbagai isu terkait aspek hukum dan perundang-undangan penanggulangan kemiskinan di Indonesia, Direktorat Penanggulangan Kemiskinan Bappenas memfasilitasi serangkaian forum discussion group (FDG) di tiga kota di Indonesia yang dinilai cukup berhasil dalam menanggulangi kemiskinan dan menciptakan pemerintahan yang baik, salah satunya Banjarmasin. Berikut Laporannya.
NAZAT FITRIAH, Banjarmasin
“Kami mau melakukan pemantauan terhadap program penanggulangan kemiskinan di daerah, terutama kaitannya dengan dukungan regulasinya. Kita tahu program-programnya sudah banyak, lalu bagaimana kita mensingkronkan program di pusat dengan daerah agar keduanya saling mendukung. Tapi ternyata kita juga lihat bahwa walau sudah ada aturan main, masih banyak sekali kendala di lapangan,” ucap Woro Sulistyaningrum ST MIDS, Kasubdit Pemetaan Penduduk Miskin Direktorat Penanggulangan Kemiskinan Bappenas usai memimpin FDG dengan sejumlah pejabat di lingkungan Sekretariat Daerah Kota Banjarmasin serta SKPD dan badan yang terkait dengan urusan penanggulangan kemiskinan di Hotel Victoria, Kamis (30/9).
Ya, forum ini dapat dikatakan telah membuka keran informasi dari daerah ke pusat yang selama ini tersumbat. Para pejabat yang hadir sendiri benar-benar memanfaatkan forum ini sebaik-baiknya untuk “curhat” seputar kendala yang mereka hadapi di lapangan. Ternyata, ada begitu banyak permasalahan yang dialami oleh pemerintah daerah akibat peraturan yang dibuat oleh pemerintah pusat.
Seperti diungkapkan oleh Kepala Bagian Hukum Setdako Banjarmasin, H Fathurrahim SH MH, yang menyoroti soal penanggung jawab penyaluran raskin yang diserahkan kepada lurah. Di sisi lain, regulasi yang dikeluarkan pusat tidak memberi perlindungan hukum kepada para lurah saat menjalankan tugasnya di lapangan.
“Pemerintah daerah itu kan punya kewajiban untuk membayar lebih dulu kepada Bulog. Karena masyarakat yang miskin belum tentu bisa membeli semua, akhirnya berasnya ada sisa. Kemudian, petugas yang mengantarkan beras itu kepada lurah terkadang juga minta beras ke lurah sebagai ongkos angkut. Nah, hal-hal seperti ini kan bisa bikin korupsi, lurah yang kena walaupun tidak ada kerugian keuangan negara karena sudah dibayar duluan,” ujarnya.
Selain itu, ia juga mengeluhkan seringnya pemerintah pusat mempolitisir suatu peraturan untuk kepentingannya sendiri sehingga menyulitkan pemerintah di daerah-daerah. Misalnya, percepatan penyaluran BLT pada saat menjelang pilpres. Tindakan ini menurutnya mengacaukan upaya pemerintah daerah yang ingin meningkatkan derajat kesejahteraan masyarakat melalui kegiatan yang bersifat produktif.
“Menjelang pilpres, BPS diminta cepat-cepat menyerahkan data penduduk miskin untuk pembagian BLT. Tapi setelah selesai pilpres, BLT ternyata tidak ada lagi. Nah, yang jadi beban adalah untuk pemda karena masyarakat sudah terbiasa menerima uang,” katanya.
Lain lagi dengan “curhat” Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Kota Banjarmasin, drh Priyo Eko. Ia mengeluhkan soal ketatnya petunjuk teknis (juknis) penggunaan dana PNPM KP untuk kegiatan budidaya ikan yang diterbitkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan dan tidak sesuai dengan karakteristik lokal sehingga ujung-ujungnya jadi mubazir.
“Misalnya, dalam juknisnya, ikan yang dibudidayakan harus lele, patin, dan nila. Orang Banjar kan tidak suka lele, patin sudah banyak yang produksi, sedangkan nila kalau di perairan Banjarmasin susah besar,” tuturnya.
Selain itu, kebanyakan penerima dana PNPM KP adalah para pengusaha karena syaratnya harus memiliki empang atau kolam.
“Kalau dananya diberikan kepada masyarakat miskin, mereka kan tidak punya empang. Apa yang terjadi? Ketika BPK masuk, ada temuan karena saya telah meminjamkan kolam milik PU. Saya pikir saya akan dapat penghargaan, ternyata saya salah,” selorohnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar