BANJARMASIN – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) meminta pemerintah daerah bersikap transparan terkait penggunaan dana reklamasi tambang. Pasalnya, fakta di lapangan menunjukkan bahwa terdapat banyak sekali eks lahan tambang yang tidak direklamasi dan menyisakan danau-danau yang airnya mengandung racun asam tambang. Jika sampai merembes ke pemukiman dan dikonsumsi oleh masyarakat, tentu akan sangat berbahaya.
“Pemda terutama kabupaten/kota yang selama ini banyak mengeluarkan izin kuasa pertambangan (KP) harus lebih terbuka lagi, diapakan sebenarnya dana reklamasi itu,” ujar Manajer Kampanye Walhi Kalsel, Dwitho Frasetiandy.
Ditambahkannya, selama ini penggunaan dana reklamasi tidak pernah dipublikasikan, bahkan dimasukkan ke pos mana juga tidak jelas.
“Patut dicurigai sebagai indikasi adanya korupsi dalam penggunaan dana reklamasi karena reklamasi selama ini cuma seadanya saja, asal-asalan,” katanya.
Meski tidak bersedia merinci nama-nama perusahaan pemilik KP yang dimaksud dalam pernyataannya itu, namun fakta tersebut setidaknya ditemukan misalnya di Tanjung, Tanah Bumbu, dan Kabupaten Banjar.
“Kami tidak menyebut perusahaannya, tapi memang itu yang kami temukan di lapangan. Tidak hanya 1-2, tapi banyak sekali,” ungkapnya.
Di UU Minerba, di atur bahwa dana reklamasi disetorkan oleh perusahaan kepada pemda dan reklamasi boleh dilakukan oleh perusahaan, pemda, atau pihak ketiga yang ditunjuk. Namun, pasal yang menyebutkan ketentuan-ketentuan tadi justru dinilai Walhi sebagai celah bagi perusahaan untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap kewajiban melakukan reklamasi.
“Pengusaha berpikir bahwa dia sudah setor, setelah itu terserah pemerintah mau melakukan reklamasi atau tidak. Jadi, UU-nya memang yang tidak kuat mengikat perusahaan untuk bertanggung jawab terhadap kewajiban mereka melakukan reklamasi. Apalagi tidak ada sanksi yang berat,” sesalnya.
Terkait hal ini, beberapa waktu lalu Walhi telah mengajukan uji materil UU nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba) ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena UU tersebut dianggap masih belum mengakui hak masyarakat atas ruang hidup terbebas dari usaha penambangan dengan adanya sejumlah pasal karet yang memungkinkan perilaku perusahaan tambang yang telah merusak luas lingkungan dan ruang hidup terus terjadi.
Selain mengubah peraturan perundang-undangan, Walhi juga memandang perlu untuk mengubah pola pikir masyarakat mengenai corporate social responsibility (CSR). Walhi menuding bahwa CSR hanya dijadikan kamuflase untuk menutupi kejahatan yang sudah dilakukan oleh perusahaan tambang terhadap lingkungan.
“Mereka menutupi kerusakan yang mereka timbulkan dan ‘dosa-dosa’ yang telah mereka lakukan lewat CSR, tapi masyarakat tidak sadar sumber daya alam habis, hutan tidak ada lagi, dan banyak masyarakat kehilangan tanah,” ucapnya.
“Pemda terutama kabupaten/kota yang selama ini banyak mengeluarkan izin kuasa pertambangan (KP) harus lebih terbuka lagi, diapakan sebenarnya dana reklamasi itu,” ujar Manajer Kampanye Walhi Kalsel, Dwitho Frasetiandy.
Ditambahkannya, selama ini penggunaan dana reklamasi tidak pernah dipublikasikan, bahkan dimasukkan ke pos mana juga tidak jelas.
“Patut dicurigai sebagai indikasi adanya korupsi dalam penggunaan dana reklamasi karena reklamasi selama ini cuma seadanya saja, asal-asalan,” katanya.
Meski tidak bersedia merinci nama-nama perusahaan pemilik KP yang dimaksud dalam pernyataannya itu, namun fakta tersebut setidaknya ditemukan misalnya di Tanjung, Tanah Bumbu, dan Kabupaten Banjar.
“Kami tidak menyebut perusahaannya, tapi memang itu yang kami temukan di lapangan. Tidak hanya 1-2, tapi banyak sekali,” ungkapnya.
Di UU Minerba, di atur bahwa dana reklamasi disetorkan oleh perusahaan kepada pemda dan reklamasi boleh dilakukan oleh perusahaan, pemda, atau pihak ketiga yang ditunjuk. Namun, pasal yang menyebutkan ketentuan-ketentuan tadi justru dinilai Walhi sebagai celah bagi perusahaan untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap kewajiban melakukan reklamasi.
“Pengusaha berpikir bahwa dia sudah setor, setelah itu terserah pemerintah mau melakukan reklamasi atau tidak. Jadi, UU-nya memang yang tidak kuat mengikat perusahaan untuk bertanggung jawab terhadap kewajiban mereka melakukan reklamasi. Apalagi tidak ada sanksi yang berat,” sesalnya.
Terkait hal ini, beberapa waktu lalu Walhi telah mengajukan uji materil UU nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba) ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena UU tersebut dianggap masih belum mengakui hak masyarakat atas ruang hidup terbebas dari usaha penambangan dengan adanya sejumlah pasal karet yang memungkinkan perilaku perusahaan tambang yang telah merusak luas lingkungan dan ruang hidup terus terjadi.
Selain mengubah peraturan perundang-undangan, Walhi juga memandang perlu untuk mengubah pola pikir masyarakat mengenai corporate social responsibility (CSR). Walhi menuding bahwa CSR hanya dijadikan kamuflase untuk menutupi kejahatan yang sudah dilakukan oleh perusahaan tambang terhadap lingkungan.
“Mereka menutupi kerusakan yang mereka timbulkan dan ‘dosa-dosa’ yang telah mereka lakukan lewat CSR, tapi masyarakat tidak sadar sumber daya alam habis, hutan tidak ada lagi, dan banyak masyarakat kehilangan tanah,” ucapnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar