Banjir Pesanan di Musim Panen
Dari namanya saja, pandai besi bukanlah profesi sembarangan. Untuk menjadi seorang yang ahli, konon diperlukan proses selama berpuluh tahun. Mulai dari mengenal asal usul besi, sampai bagaimana menghasilkan senjata tajam yang bermutu baik.
NAZAT FITRIAH, Martapura
Percikan api seketika menyembur ketika lempengan baja itu beradu dengan mesin gurinda. Sesekali Yusran (48) berhenti untuk mengamati hasil pekerjaannya. Setelah dirasa sudah cukup tipis, baja berbentuk celurit itu pun dibenamkan ke dalam bara yang menyala untuk selanjutnya disapuh supaya tajam.
Demikianlah pekerjaan yang sudah dilakoni ayah tiga putra itu selama lebih dari 30 tahun terakhir ini. Di sebuah kios kecil berukuran sekitar empat kali empat meter yang terletak di tepian Jl Pemurus RT 8 Kertak Hanyar Kabupaten Banjar, dengan dibantu salah seorang anaknya, ia mengerjakan pesanan para pelanggannya yang rata-rata berasal dari kalangan petani.
Pada beberapa tahun yang lampau, di Jl Pemurus RT 8 Kertak Hanyar Kabupaten Banjar ada sekitar enam orang pandai besi. Namun, seiring berjalannya waktu dan ketiadaan regenerasi, akhirnya yang bisa eksis hingga saat ini hanya tinggal dua orang saja, salah satunya Yusran.
Diceritakannya, ia mulai mengenal kegiatan pandai besi sejak masih kanak-kanak dengan memerhatikan para pandai besi yang ada di lingkungan sekitarnya, tepatnya pada usia tujuh tahun.
“Umur 14 tahun atau sekitar tahun 1977, baru mulai belajar serius. Dulu tidak berpikir mau menjadikan pekerjaan ini sebagai masa depan, tapi hanya sebatas hobi dan dijalani mengalir saja,” ujarnya.
Selama setahun ikut membantu pada seorang pandai besi tanpa digaji, barulah ia kemudian diterima bekerja. Tapi untuk sampai pada keputusan membuka usaha pandai besi sendiri, ia membutuhkan waktu sedikitnya 10 tahun.
“Masalahnya, prosesnya memang sulit, seperti mengaji masalah wasi (besi, red) dan mendalami asal usulnya, kemudian proses pembuatannya. Itu sebabnya kenapa pandai besi itu bukan profesi yang umum, tidak seperti tukang bengkel atau tukang jahit,” tuturnya.
Tepatnya pada tahun 1987, pria yang mengaku mancing mania ini baru berani membuka usaha sendiri. Kini, dalam sehari ia bisa mengerjakan pesanan rata-rata hingga sepuluh buah, mulai dari parang, celurit, pisau dapur, hingga pisau khusus seperti belati, keris, sangkur, atau mandau.
“Cuma kalau senjata-senjata khusus sekarang sudah jarang ada yang pesan, karena masyarakat tidak bebas lagi kan membawa itu. Kalau dulu banyak orang yang hobi koleksi datang minta dibuatkan,” katanya.
Untuk menyelesaikan pesanan sebuah senjata tajam, ia hanya memerlukan waktu sekitar tiga puluh menit. Proses pembuatannya sendiri kalau diurutkan terdiri dari empat tahapan, mulai dari pemotongan bahan, penipisan dengan cara dipukul-pukul menggunakan palu, penghalusan dengan menggunakan mesin gurinda, dan penyapuhan, yakni proses pembakaran dan kemudian dicelupkan ke dalam air.
Sedangkan soal harga, paling murah Yusran mematok Rp 15 ribu untuk jenis pisau dapur. Namun, semua tergantung lagi pada bentuk dan kualitas barang. Barang yang ukurannya sama, bisa saja berbeda dari segi harga jika kualitasnya lebih baik. Terlebih untuk senjata khusus, harga dihitung per sentimeter.
“Sebetulnya tidak ada harga pasaran karena yang kami jual ini jasa. Karena itu, sesama pandai besi tidak sama harganya,” tambahnya.
Yusran tidak menjual sendiri produknya, tapi pelangganlah yang datang ke tempatnya. Menurutnya, ini karena harga yang dipatoknya tidak akan laku jika dijual di pasaran karena dianggap terlalu mahal.
“Yang memproduksi dalam jumlah banyak untuk dijual itu umumnya di Negara. Dalam sehari mereka memang ditarget harus membuat berapa, tapi akibatnya kualitas barang tidak diperhatikan lagi. Makanya, harganya jadi lebih murah. Kalau saya, betul-betul memperhatikan supaya awet tajamnya, dan kalau tidak puas bisa dikembalikan lagi,” tukasnya.
Disinggung soal keuntungan, Yusran mengaku cukup lumayan. Bagaimana tidak, dalam sehari ia bisa meraup paling minim Rp 500 ribu. Kalau kebetulan bertepatan musim panen, yakni antara bulan Desember-April, pendapatannya bahkan bisa menembus sampai Rp 1,8 juta per hari. Maklum, di daerah Kertak Hanyak sendiri memang banyak masyarakatnya yang bertani. Sedangkan modal yang dikeluarkannya per bulan hanya sekitar Rp 1,5 juta.
“Yang sepi itu kalau pas musim tanam. Tapi namanya di tepi jalan, setiap hari selalu ada saja pelanggan yang datang,” pungkasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar