A good journalist is not the one that writes what people say, but the one that writes what he is supposed to write. #TodorZhivkov

Minggu, 10 April 2011

Mengenal Pondok Pesantren Shiratut Thalibin Banjarmasin

Jalan Para Pelajar Agama

Meraih pendidikan setinggi-tingginya adalah hak siapa saja. Agama pun mewajibkan umatnya untuk menuntut ilmu sepanjang hayat, mulai dari buaian hingga liang lahat. Bahkan, agama juga mengajarkan kalau perlu kejarlah ilmu sampai ke negeri Cina.

Namun, niat mulia untuk mereguk ilmu sebanyak-banyaknya itu tidak selamanya menemui jalan mulus. Terkadang jarak yang menjadi kendala, atau bisa juga karena biaya.

Nah, hal itulah yang mengilhami berdirinya Pondok Pesantren Shiratut Thalibin Banjarmasin. Pesantren ini dibangun pada tahun 1986. Terletak di Jl Alalak Utara Kecamatan Banjarmasin Utara, Banjarmasin, tepatnya di dalam sebuah gang sempit dengan lebar tak lebih dari satu meter. Untungnya, badan jalan gang sudah dicor sehingga membuat akses keluar masuk cukup baik.

Bangunan pesantren terlihat sangat sederhana, selaras dengan rumah-rumah penduduk di sekitarnya. Luasnya pun hanya sekitar 60x60 meter dan dibelah sebuah sungai kecil. Di bagian depan terdapat beberapa ruang kelas dan aula. Sedangkan musala dan kantor sekretariat pesantren terdapat di seberang sungai.

Hampir seluruh gedung seperti ruang kelas, musala, dan aula terbuat dari kayu, kecuali kantor sekretariat pesantren yang telah dibeton dan nampak masih baru, sehingga menghadirkan pemandangan yang sangat kontras dengan gedung lain disekitarnya yang rata-rata sudah dimakan usia.

Nama Shiratut Thalibin sendiri menurut salah satu pengurus sekaligus pengajar di pondok pesantren ini, Jailani, secara harfiah berarti jalan para pelajar agama.

Asal-muasal diambilnya nama ini dikarenakan di kawasan tersebut sebelumnya tidak ada sekolah agama. Padahal, banyak masyarakat setempat yang ingin menyekolahkan anaknya di pesantren. Namun, pesantren yang besar seperti Al Falah atau Darussalam jaraknya terlalu jauh. Selain itu, mereka juga umumnya tergolong keluarga kelas menengah ke bawah sehingga terkendala biaya.

“Jadi, dicarikanlah jalan lain supaya lebih dekat, yakni dengan mendirikan pesantren ini,” ujarnya.

Dengan tenaga dan dana yang sepenuhnya berasal dari swadaya masyarakat, serta tanah wakaf dari sejumlah pihak, Pondok Pesantren Shiratut Thalibin pun akhirnya didirikan pada tahun 1986.

“Tadinya sempat terpikir mau membangun diniyah, tapi sudah kebanyakan. Lagipula, kalau diniyah saja, kadang hanya cukup untuk diri santri sendiri. Di samping itu, masyarakat juga ingin supaya bisa menyekolahkan anak tidak perlu jauh-jauh, misalnya ke Al Falah atau Darussalam, selain kendala biayanya juga. Kemudian ada pendapat bagaimana kalau membangun pesantren saja yang khusus salafiyah atau khusus mengaji kitab kuning,” tuturnya.

Selanjutnya, panitia pembangunan pesantren melakukan konsultasi dengan instansi terkait. Hasilnya, untuk membangun pesantren diperlukan luas tanah minimal 60x60 meter dan harus ada musala.

“Dengan adanya wakaf tanah, alhamdulilah dapat dipenuhi,” katanya.

Pada mulanya, wujud pesantren ini tentu tidak langsung seperti yang ada sekarang. Diawali dengan pembukaan tingkat ula atau setara madrasah ibtidaiyah, kemudian baru disusul tingkat wustha atau setara madrasah tsanawiyah sekitar tahun 1998, dan terakhir tingkat ulya atau setara madrasah aliyah.

“Kelas juga awalnya seadanya dan dibenahi bertahap. Seperti atap yang tadinya kayu biasa, sekarang diganti seng. Alhamdulilah semakin bagus atas swadaya masyarakat dan guru-guru. Kami kumpulkan dana dengan berjalan mengedarkan sumbangan dari pintu ke pintu,” ceritanya.


Sempat Tolak Pelajaran Umum

Sebagai pesantren terbesar di Kalimantan Selatan, Pondok Pesantren Darussalam Martapura memang banyak memberi pengaruh terhadap pesantren-pesantren lainnya. Tak sedikit pesantren yang menjadikan Darussalam sebagai role model dengan mengadopsi sistem pendidikan yang berlaku di sana. Hal ini salah satunya disebabkan karena pendiri maupun pengajar di pesantren tersebut merupakan alumni dari Darussalam sendiri.

Seperti di Pondok Pesantren Shiratut Thalibin Banjarmasin. Salah satu pengurus serta pengajar di pesantren tersebut, Jailani menuturkan, dari sekitar 19 orang staf pengajar yang ada, rata-rata dulunya pernah nyantri di Darussalam.

“Pesantren ini sebetulnya tidak punya hubungan khusus dengan Darussalam. Hanya saja kami istilahnya diambil dan disuruh mengajar di sini,” katanya.

Tak hanya itu, ia juga mengakui bahwa kurikulum yang diterapkan di pesantren ini sepenuhnya berkiblat pada Pondok Pesantren Darussalam Martapura.

“Nah, supaya mengikuti di sana, guru lulusan sana pun direkrut supaya kurikulumnya sama,” sambungnya.

Sebagaimana pesantren salafiyah pada umumnya, maka pelajaran yang diberikan di pesantren ini pun hanya berkutat pada masalah agama saja dengan referensi kitab-kitab kuning.

Hal ini, ujarnya, sesuai dengan niat awal para pendiri pesantren dulu yang menginginkan agar pelajaran yang diberikan di pesantren ini jangan sampai dicampur dengan masalah umum.

“Lagipula, kebanyakan anak-anak yang sekolah di sini sebetulnya niatnya ingin melanjutkan ke Darussalam. Jadi, kalau sudah lulus di sini, tinggal menyambung,” tambahnya.

Sampai kemudian ada himbauan dari pemerintah agar seluruh pesantren mengikuti program wajib belajar pendidikan dasar (wajar dikdas), yakni dengan menambahkan kurikulum yang telah disusun oleh Kementerian Agama di samping tetap menjalankan kurikulum pesantren sendiri. Dengan demikian, lulusan pesantren dapat mengikuti ujian nasional dan memperoleh ijazah formal. Tak pelak, suara-suara bernada protes pun mengalir dengan deras.

“Istilah untuk penyesuaian, dari pemerintah minta ada wajar dikdas. Dulu sempat ada pro kontra,” ungkapnya.

Pro kontra ini muncul karena masyarakat khawatir sekolah diambil alih pemerintah, dan tidak sesuai lagi dengan niatan awal membangun. Masyarakat tidak ingin nantinya porsi pelajaran agama yang tadinya 100 persen menjadi hanya sekian persen.

“Sempat agak tegang,” ucapnya.

Pada tahun 2005, akhirnya diambil jalan tengah dengan hanya mengikutkan tingkat wustha dalam program wajar dikdas tersebut.

“Itupun cuma seminggu sekali saja. Kalau di tingkat ulya tidak ada pelajaran umum sama sekali, khusus kitab kuning,” tegasnya.

Hingga saat ini, santri yang mengikuti wajar dikdas dan telah lulus mencapai sekitar 50 orang lebih.


Kekurangan Kelas, Belajar di Musala

Kontribusi yang sangat positif yang diberikan Pondok Pesantren Shiratut Thalibin Banjarmasin bagi masyarakat di sekitarnya, membuat orang tua yang berminat untuk menyekolahkan anak-anaknya di pesantren tersebut cukup banyak.

Salah satu pengurus sekaligus pengajar di Pondok Pesantren Shiratut Thalibin Banjarmasin, Jailani mengungkapkan, minat tersebut kian lama kian besar. Namun, sayangnya fasilitas pesantren sendiri kurang mendukung.

Bayangkan, untuk menampung santri sebanyak itu, ruang kelas yang tersedia saat ini hanya ada empat lokal. Akibatnya, santri tingkat ula harus mengalah masuk siang selepas Zuhur karena pada pagi harinya seluruh kelas dipakai oleh santri tingkat wustha dan tingkat ulya. Mirisnya lagi, para santri ini harus berjejalan karena kapasitas ruang kelas yang terbatas.

“Jumlah santri terus meningkat, seharusnya kelas juga bertambah. Seperti di wustha, jumlah santri dalam satu kelas kan maksimalnya 30 orang, tapi ini diisi sampai 80 orang,” ujarnya.

Sebagian yang tidak bisa tertampung lagi, terpaksa memanfaatkan musala dan aula.

“Untuk tingkat ulya harusnya tiga kelas, tapi belum punya ruangan semua. Akhirnya, aula dibagi dua untuk kelas satu dan tiga. Tidak pakai pemisah, saling bertempur suara. Musala pun dipakai daripada tidak ada,” tuturnya.

Jika berandai-andai, pihaknya sebetulnya sangat menginginkan agar santri laki-laki dan perempuan dipisah.

“Mestinya di pesantren kan begitu. Kalau kelas cukup, inginnya dipisah laki-laki dan perempuan, Tapi jangankan memisah, untuk membagi-bagi kelas saja sarananya belum ada,” ucapnya.

Niat pengurus pesantren untuk mengembangkan masalah fisik ini sangat menggebu-gebu. Setidaknya ini terlihat dari rencana membangun ruang kelas baru di lokasi tanah yang masih kosong yang berada tak jauh dari kantor sekretariat pesantren. Sayangnya, kemampuan pesantren sendiri sejauh ini baru bisa sampai pada tahap pembangunan fondasinya saja. Terseret-seretnya pengembangan pesantren tentunya tak terlepas dari masalah pendanaan. Sumber pendapatan pesantren sendiri murni berasal dari masyarakat dan para donatur. Sedangkan Biaya Operasional Sekolah (BOS) hanya diterima oleh santri tingkat wustha.

“Yah, anggap saja itu tanda-tanda bahwa kita akan membangun. Saat ini belum bisa meneruskan lagi. Mudah-mudahan pemerintah atau para dermawan terketuk hatinya untuk menjenguk,” harapnya.


Banyak yang Tak Sampai Lulus

Saat ini, jumlah santri di Pondok Pesantren Shiratut Thalibin Banjarmasin tercatat ada 117 orang santri tingkat ula, 153 orang santri tingkat wustha, dan 34 orang santri tingkat ulya. Setiap tahun, jumlah ini cenderung mengalami peningkatan.

“Para orang tua banyak yang berpikir, kalau masuk ke sekolah umum mereka tidak sanggup membiayai. Oleh karena itu, mereka masukan saja ke sini. Setidaknya, anak-anak ini punya bekal ilmu agama yang bisa dipakai untuk terjun ke masyarakat, misalnya untuk menghidupkan mesjid atau mengisi acara-acara selamatan di kampung,” tutur salah satu pengurus sekaligus pengajar di Pondok Pesantren Shiratut Thalibin Banjarmasin, Jailani.

Selain itu, faktor lain yang juga menjadi motivasi orang tua menyekolahkan anaknya di pesantren ini adalah karena persyaratan yang tidak berbelit-belit.

“Kalau di sekolah umum kan mungkin harus ada akta kelahiran, kemudian beli macam-macam ke sekolah. Kalau di sini, yang penting anaknya mau sekolah dan seragamnya sesuai dengan yang kami tetapkan, yaitu pakai sarung bagi laki-laki,” katanya seraya tersenyum.

Sementara itu, meski jumlah santri pada setiap angkatannya mencapai ratusan orang, namun hingga kini alumni Pondok Pesantren Shiratut Thalibin Banjarmasin yang benar-benar lulus hingga tingkat ulya baru mencapai sekitar 50-an orang saja.

Menurutnya, hal ini disebabkan karena banyak santri yang setelah lulus tingkat wustha berhenti di tengah jalan ataupun melanjutkan ke sekolah lain. Akibatnya, antara jumlah santri yang diterima dan yang diluluskan jauh berbeda. Itulah juga mengapa jumlah santri tingkat ulya tak sebanyak jumlah santri di tingkat bawahnya. Bahkan, beberapa waktu lalu tingkat ulya sempat vakum karena tidak ada muridnya sama sekali.

“Waktu itu kalau tidak salah tiga atau empat tahun sempat kosong,” ujarnya.


Sisi Unik Pondok Pesantren Shiratut Thalibin Banjarmasin

Musim Tanam, Sekolah Libur

Ada yang unik di Pondok Pesantren Shiratut Thalibin Banjarmasin. Jika musim tanam atau musim panen padi tiba, maka kegiatan belajar mengajar akan diliburkan selama beberapa waktu. Hal ini mengingat sebagian besar guru yang mengajar di pesantren tersebut juga bertani. Demikian pula dengan para santri yang orang tuanya berprofesi sebagai petani, mereka akan memanfaatkan masa libur ini untuk membantu pekerjaan orang tua mereka di sawah.

NAZAT FITRIAH, Banjarmasin

Halaman parkir yang biasanya dipenuhi sepeda dan sepeda motor, mendadak hanya terisi separuhnya. Begitu pun dengan ruang-ruang kelas yang pada hari-hari sebelumnya penuh dijejali para santri, pagi itu agak terlihat lebih lega karena banyak santri yang tidak masuk.

Sementara sejumlah orang santri nampak berkeliaran dengan bebas di lingkungan pesantren karena guru yang semestinya mengajar di kelas mereka absen. Beberapa di antara mereka ada yang mengisi jam kosong tersebut dengan berlatih rebana di musala.

Demikianlah pemandangan yang terlihat di Pondok Pesantren Shiratut Thalibin Banjarmasin pada hari Rabu (6/4) lalu. Hari itu merupakan hari terakhir kegiatan belajar mengajar berlangsung sebelum pesantren diliburkan. Bukan dalam rangka libur setelah ulangan, tapi karena di kawasan yang mayoritas penduduknya bertani tersebut sudah memasuki musim tanam. Lho, apa hubungannya?

Jadi, seperti dituturkan oleh salah seorang pengurus sekaligus pengajar di Pondok Pesantren Shiratut Thalibin Banjarmasin, Jailani, pesantren selalu diliburkan setiap musim tanam dan musim panen tiba. Hal ini mengingat sebagian besar guru yang mengajar di pesantren tersebut juga bertani.

“Hari ini sudah banyak yang libur, yang malas-malasnya saja lagi yang masih ada di sekolah. Tapi kalau sudah waktunya, mau tidak mau pergi juga,” selorohnya.

Kebiasaan ini sendiri sudah berjalan lebih dari sepuluh tahun.

“Sebelum kita ke sini diminta mengajar, kita memang mengajukan syarat agar guru yang bertani diberi izin untuk mengambil jatah libur. Masyarakat kebetulan setuju karena mereka juga bertani. Dengan demikian, pelajaran jadi tidak terganggu,” ujar alumni Pondok Pesantren Darussalam Martapura yang sudah menjadi pengajar di Pondok Pesantren Shiratut Thalibin Banjarmasin sejak tahun 1993 tersebut.

Di samping itu, masyarakat juga memahami bahwa guru yang mengajar di pesantren ini tidak mendapat honor yang memadai sehingga mereka memerlukan sumber pendapatan yang lain guna menopang ekonomi keluarga.

“Paling tidak dengan bertani, berasnya tidak perlu beli,” tambahnya.

Demikian pula dengan para santri yang orang tuanya berprofesi sebagai petani, mereka akan memanfaatkan masa libur ini untuk membantu pekerjaan orang tuanya di sawah.

“Jadi, gurunya ke sawah, santrinya ke sawah juga,” timpalnya.

Sedangkan santri yang orang tuanya tidak bertani, ada yang memanfaatkan waktu libur ini dengan bersantai, namun ada pula yang ikut bekerja di sawah dengan mengambil upah. Uang yang mereka dapatkan nantinya bisa digunakan untuk keperluan mereka sendiri, seperti untuk membeli buku pelajaran.

“Kita kan beli sendiri, tidak ada sumbangan dari pemerintah. Memang ada yang dari Kementerian Agama, tapi semua sudah terjemahan. Yang kita maksud adalah kitab-kitab yang masih menggunakan huruf Arab gundul (Arab Melayu, red),” tuturnya.

Waktu libur disepakati selama 20 hari. Namun, pada prakteknya cukup fleksibel dan bisa disesuaikan dengan situasi dan kondisi di lapangan.

“Paling hanya 10-15 hari. Kalau musim tanam umumnya lebih cepat selesai karena tidak banyak orang yang memberi upah. Jadi, disesuaikan saja,” katanya lagi.

Agar tidak mengurangi jam pelajaran, waktu libur pada musim tanam dan musim panen ini biasanya akan dikompensasikan pada kesempatan lain. Misalnya, dengan menghapuskan waktu libur setelah ulangan.

“Makanya, terkadang orang-orang bingung, karena pada waktu sekolah lain tidak libur, kami malah libur. Tapi pas sekolah lain libur, kami tidak ikut libur. Setelah ulangan, besoknya langsung sekolah lagi. Tapi itulah khasnya pondok pesantren, punya aturan sendiri,” tandasnya.

Tidak ada komentar: