Sebagian besar masyarakat di Indonesia masih belum mampu memperlakukan uang secara benar. Seringkali uang dilipat,distaples, bahkan dicoret-coret, sehingga menjadikannya lusuh dan tidak layak edar. Di Banjarmasin saja, setiap harinya ada sekitar Rp 10 miliar-Rp 15 miliar uang lusuh yang masuk ke Bank Indonesia (BI) dan terpaksa dimusnahkan.
NAZAT FITRIAH, Banjarmasin
Suara mesin menderu-deru disegala penjuru. Uang-uang lusuh meluncur masuk ke sebuah alat di ruang peracikan untuk dihancurkan. Setelah melalui dua kali peracikan, uang yang sudah menjadi serpihan kemudian dialirkan melalui pipa-pipa ke ruang disebelahnya yang disebut ruang briketing.
Di ruang ini, serpihan uang yang melewati pipa dari ruang peracikan digelontorkan ke sebuah tabung berpintu kaca dengan semacam corong di ujungnya yang berfungsi untuk memproses serpihan uang menjadi bentuk padatan kecil yang disebut briket agar ramah lingkungan.
Sementara di salah satu sudut, karung-karung putih berisi briket-briket yang telah jadi dibariskan untuk kemudian dibuang ke TPA Basirih.
Uang lusuh yang sudah dicetak menjadi briket sebelum dibuang ke TPA
Demikianlah di antara aktivitas yang berlangsung setiap harinya di Gedung Bank Indonesia (BI) Banjarmasin. Sebagai bank sentral, salah satu misi BI adalah menyediakan kebutuhan uang yang layak edar bagi masyarakat.
Oleh sebab itu, uang lusuh yang masuk ke BI tidak boleh keluar lagi dan harus dimusnahkan, meski dikalangan masyarakat uang lusuh masih bisa digunakan untuk bertransaksi karena dari sisi nilai tukar tidak berkurang.
“Tapi ketika masuk ke perbankan, uang lusuh harus ditarik karena undang-undang mengamanatkan bahwa uang yang beredar di masyarakat harus layak. Di sisi lain, rupiah itu juga merupakan simbol negara,” tutur Pemimpin BI Banjarmasin Khairil Anwar melalui Kepala Seksi Operasional Kas Gusti Syafruddin.
Dijelaskannya, tingkat kelusuhan uang versi BI terdiri dari 20 level, dimana uang yang paling lusuh berada di level satu dan uang yang baru keluar dari percetakan di level 20.
“Adapun batasan uang yang harus dimusnahkan adalah level 12,” ujarnya.
Syafruddin menambahkan, usia edar sehelai uang kertas di Indonesia rata-rata berkisar 5-7 tahun sebelumnya akhirnya masuk kembali ke BI. Sedangkan untuk uang logam bisa mencapai lima kali lipatnya karena daya tahannya yang lebih baik. Yang menarik, khusus untuk uang logam yang beredar di wilayah Kalimantan, berapapun yang keluar hampir tidak ada yang pernah masuk lagi ke BI.
“Entah karena uang logam itu dibuat apa atau karena tingkat kesejahteraan masyarakat di Kalimantan yang tinggi sehingga uang logam jarang terpakai,” ungkapnya.
Uang kertas sendiri sejauh ini tidak bisa didaur ulang karena kertas yang menjadi bahan pembuatannya bersifat khusus dan masih diimpor dari luar negeri.
“Kertasnya kan justru merupakan unsur pengaman dari uang itu sendiri. Bedanya, kalau kertas biasa kita sinari dengan UV akan memendar karena terbuat dari serat kayu, tapi kertas uang tidak memendar karena terbuat dari serat kapas,” terangnya.
Di negara-negara berkembang seperti Indonesia dimana electronic money belum terlalu populer, biaya pencetakkan uang yang harus dikeluarkan oleh bank sentral setempat merupakan penyerap anggaran terbesar kedua setelah kebijakan moneter.
“Makanya, BI selalu melakukan sosialisasi bagaimana memperlakukan uang dengan baik. Di Malaysia, bank tidak mau menerima uang lusuh sebagai bentuk edukasi. Tapi di Indonesia belum bisa diterapkan karena jumlah penduduknya yang sangat banyak sehingga sulit mengaturnya,” katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar