Berawal dari sebuah mimpi besar untuk menguntai jejak-jejak ulama Banjar, dua peneliti Pusat Pengkajian Islam Kalimantan (PPIK) IAIN Antasari, Drs Abdul Karim MAg dan Drs H Ahdi Makmur MAg mencoba mengawalinya dengan satu langkah kecil lewat penelusuran tentang sosok-sosok ulama pendiri pondok pesantren di Kalimantan Selatan.
Pesantren dianggap sebagai pilar pembangunan yang selalu tegar sepanjang zaman sehingga figur pendirinya pun patut dicermati sebab ada begitu banyak hal menarik yang layak diketahui dari sosok-sosok sepuh itu.
Meski hanya tiga orang ulama yang dibahas, namun ketiganya dianggap sangat representatif karena sudah mewakili karakter utama akademis dan tradisional ponpes di Kalsel. Mereka adalah Tuan Guru H Abdur Rasyid, Tuan Guru H Mahfuz Amin, dan Tuan Guru H Kasyful Anwar.
Riyawat kehidupan dan kontribusi ketiganya baik dalam dunia pendidikan maupun bidang-bidang lainnya yang berhasil dihimpun telah pula dibukukan dengan tajuk “Ulama Pendiri Pondok Pesantren di Kalimantan Selatan” dan diterbitkan oleh PPIK IAIN Antasari pada tahun 2006.
Berikut secuil kisah tentang ulama pertama, Tuan Guru H Abdur Rasyid yang mendirikan pengajian yang menjadi cikal bakal ponpes terkenal, Rasyidah Khalidiyah (RAKHA) Amuntai.
Riwayat Hidup
“Tuan Guru Haji Abdur Rasyid adalah seorang ulama yang sudah melanglang buana sampai ke Universitas Al-Azhar Kairo dan merupakan pelopor ponpes modern di Kalimantan,” tutur Drs H Ahdi Makmur MAg.
Sebuah gambaran singkat ini sesungguhnya sudah dapat mengungkapkan betapa besar kontribusi H Abdur Rasyid dalam dunia pendidikan Islam di Kalimantan.
Tuan Guru Haji Abdur Rasyid terlahir dari pasangan Isram dan Khadijah. Ada dua versi mengenai tahun dan tempat kelahirannya, yakni 1884 di Pekapuran Amuntai dan 1885 di Kampung Panangkalaan Amuntai.
Abdur Rasyid kecil tumbuh dan besar dalam keluarga sederhana namun taat terhadap ajaran agama. Bayangkan, ia telah tamat belajar Al-Qur’an ketika baru berumur tujuh tahun.
Ketika kawan-kawan sebayanya sekolah di Island School, Abdur Rasyid justru mengaji ilmu-ilmu agama Islam di desa dan sekitarnya. Kemudian atas izin kedua orang tuanya, ia pindah ke daerah lain melanjutkan pelajaran ilmu-ilmu agama Islam kepada tuan guru yang banyak dikenal orang pada waktu itu selain juga tekun belajar sendiri dalam hal ilmu pengetahuan umum.
“Cita-citanya untuk sekolah di Mesir muncul setelah menerima pandangan-pandangan agama baru dari guru-gurunya,” ujar Ahdi.
Maka, pada tahun 1912, berangkatlah Abdur Rasyid ke Mesir dengan singgah terlebih dahulu di Tembilahan (Sumatera), Pula Pinang (Malaysia Barat), dan Johor sambil berdakwah sekaligus mengumpulkan uang untuk kepergiannya ke Mesir.
Bersama seorang temannya, H Mansur, pada penghujung tahun 1912, keduanya mencatatkan diri dalam sejarah sebagai dua putra Kalimantan pertama yang belajar di Universitas Al-Azhar.
Entah dari mana sumbernya, tiba-tiba tersiar kabar sampai ke telinga kaum penjajah bahwa selama menimba ilmu di Mesir, Abdur Rasyid juga belajar ilmu kataguhan (ilmu kebal). Akibatnya, sekembalinya ia ke tanah air pada tahun 1922 setelah menyempatkan diri menunaikan ibadah haji sesaat sebelumnya, jejak langkahnya di tengah masyarakat terus diawasi. Bahkan, kitab-kitab yang dibawanya ditahan oleh pejabat pemerintah untuk diperiksa.
Setelah pulang kampung, banyak permintaan dari masyarakat agar dia membuka pengajian agama. Pada tanggal 13 Oktober 1922 yang bertepatan dengan 12 Rabiul Awal 1341 H, dimulailah pengajian umum dengan mengambil tempat di rumahnya sendiri.
Rumah yang tidak begitu luas yang digunakan untuk tempat pengajian itu dipenuhi oleh pengunjung yang melimpah ruah. Mereka bukan hanya datang dari desa-desa yang ada di Amuntai, namun juga ada yang datang dari daerah lain seperti Alabio, Kelua, dan sebagainya.
Kondisi tersebut menuntut adanya tempat yang lebih luas yang dapat menampung peserta yang selalu bertambah tersebut.
Ia pun berinisiatif mendirikan langgar dan keinginannya itu mendapat dukungan dari masyarakat. Oleh karena itu, didirikanlah langgar yang berdekatan dengan rumahnya pada tahun 1924. Di langgar yang dibangun bertingkat dua ini, lantai dasarnya digunakan sebagai tempat pengajian umum, sedangkan lantai dua dibagi tiga lokal untuk sekolah.
Seiring dengan meningkatnya jumlah murid dari tahun ke tahun, setapak demi setapak H Abdur Rasyid berupaya meningkatkan mutu dan organisasi serta sarana dan prasarana lembaga pendidikan yang dikelolanya.
Yang menarik, selain sebagai pengajar dan pengasuh sebuah sekolah, ia tetap bekerja di sawah milik orang tuanya. Pada waktu senggang, ia juga turun ke sungai untuk mencari ikan.
Sementara itu, sekolah yang dikembangkannya terus dibenahi hingga pada tahun 1928 diresmikanlah “Arabische School” dan ia sendiri bertindak sebagai direkturnya.
Pada awal tahun 1933, ia memutuskan menerima amanah masyarakat Kandangan untuk memimpin sebuah sekolah bernama “Al-Madrasah Al-Wataniyyah” dan menyerahkan estafet kepemimpinan di Arabische School kepada salah seorang muridnya.
Menjelang akhir tahun 1933, kesehatan Abdur Rasyid mulai menurun. Tugas-tugas berat yang dihadapinya rupanya melebihi kemampuan fisiknya sendiri. Pada bulan Januari 1934, ia kembali ke Amuntai dalam keadaan sakit. Di saat-saat sakitnya sudah sangat parah, ia masih sempat berpesan agar murid-muridnya terus mengembangkan perguruan-perguruan yang telah dirintisnya.
Hari Minggu, 4 Februari 1934 yang bertepatan dengan 19 Syawal 1353 H pukul 16.00 waktu setempat, di hadapan istri, anak, keluarga, dan beberapa orang muridnya, Tuan Guru H Abdur Rasyid pun menghembuskan nafasnya yang terakhir. Ia dimakamkan di samping halaman rumahnya di Desa Pekapuran Amuntai.
Dijuluki Mu’allim Wahid
Berkat pendidikannya di Universitas Al-Azhar dan kunjungannya ke beberapa negara Islam Timur Tengah dan melihat kenyataan masyarakat yang dihadapinya, Tuan Guru H Abdur Rasyid berpandangan bahwa dalam menghadapi masa depan, peranan agama sangatlah penting dan untuk itu harus disiapkan kader-kader ulama sedini mungkin dengan dilengkapi ilmu-ilmu agama Islam dan pengetahuan umum hingga benar-benar dapat diharapkan mampu menghadapi perkembangan baru yang akan dialami oleh bangsa Indonesia.
“Beliau berpikir bahwa sekolah Islam itu harus didirikan sebanyak-banyaknya. Tujuannya adalah untuk membentuk kader-kader ulama masa depan,” kisah Ahdi lagi.
Sekolah Islam itu juga harus dibuat secara berkelanjutan sampai tingkat yang paling tinggi dengan memanfaatkan ulama-ulama yang ada dan melatih ulama-ulama kader sebagai pendidik. Dengan demikian, misi yang diemban ulama akan berkelanjutan dan meningkat terus.
Ia juga menyadari bahwa dunia Islam pada umumnya dan daerahnya sendiri belum menerapkan agama Islam secara murni. Di samping perlunya ditingkatkan pengetahuan masyarakat dengan ajaran-ajaran Islam, ajaran-ajaran Islam itu juga diterapkan dalam amaliah secara murni.
Sebagaimana diceritakan sebelumnya, kehidupan Abdur Rasyid sepenuhnya diserahkan untuk pendidikan.
Pada tahun 1924, atas prakarsanya dan dibantu oleh masyarakat serta berbagai pihak, mulailah dibangun sebuah langgar berlantai dua yang selain digunakan sebagai tempat ibadah dan pengajian, juga sekaligus difungsikan sebagai sekolah.
Mulai di langgar inilah, ia mengorganisir sebuah sekolah Islam yang diatur secara modern dengan menggunakan bangku, meja, papan tulis, dan sistem pengajaran baru.
“Cara pengajaran seperti yang dikembangkannya itu pada zamannya adalah yang pertama kali di Kalimantan,” cetusnya.
Sekolah Islam ini, dilihat dari mata pelajaran yang diberikan, tingkatannya adalah ibtidaiyah. Sekolah ini segera mendapat sambutan hangat dan perhatian besar dari masyarakat Kalimantan. Dari waktu ke waktu para pelajar berdatangan, bukan hanya dari Amuntai saja, tapi juga dari luar daerah seperti Lampihong, Paringin, Tanjung, Kelua, Barabai, Kandangan, Negara, Banjarmasin, Samarinda, dan lain-lain.
Tuan Guru H Abdur Rasyid kemudian mendirikan asrama pelajar bertingkat dua untuk menghimpun dan menampung para pelajar yang tadinya terpencar-pendar di rumah penduduk.
Perkembangan pendidikan berjalan lancar, maka tingkat sekolah dari ibtidaiyah dilanjutkan ke tingkat Tsanawiyah. Pada tahun 1926, ia mendirikan gedung sekolah yang baru tidak jauh dari gedung sekolah sebelumnya.
Tahun 1928, perguruan ini pun diresmikan dengan nama Arabische School dan tingkat pelajaran ditambah lagi sampai dengan tingkat aliyah.
Pada perkembangan selanjutnya, siswa-siswa tingkat aliyah yang dipersiapkan sebagai kader pendidik di masa depan perlu disediakan tempat belajar dan perkantoran dewan guru serta perkantoran sekolah. Dan sebagaimana ide awalnya untuk menghimpun para ulama, maka pada tahun 1930, dibangunlah sebuah gedung lagi yang terdiri dari lokal kelas, kantor guru, dan ruangan untuk pertemuan ulama.
Sesuai dengan keahliannya, ia mengajar mata pelajaran Bahasa Arab dengan ilmu-ilmu alat lainnya. Wibawa, kemampuan dalam bidang ilmu dan usaha-usahanya sebagai pelopor pendidikan membuatnya mendapat julukan Mu’allim Wahid.
Pesantren dianggap sebagai pilar pembangunan yang selalu tegar sepanjang zaman sehingga figur pendirinya pun patut dicermati sebab ada begitu banyak hal menarik yang layak diketahui dari sosok-sosok sepuh itu.
Meski hanya tiga orang ulama yang dibahas, namun ketiganya dianggap sangat representatif karena sudah mewakili karakter utama akademis dan tradisional ponpes di Kalsel. Mereka adalah Tuan Guru H Abdur Rasyid, Tuan Guru H Mahfuz Amin, dan Tuan Guru H Kasyful Anwar.
Riyawat kehidupan dan kontribusi ketiganya baik dalam dunia pendidikan maupun bidang-bidang lainnya yang berhasil dihimpun telah pula dibukukan dengan tajuk “Ulama Pendiri Pondok Pesantren di Kalimantan Selatan” dan diterbitkan oleh PPIK IAIN Antasari pada tahun 2006.
Berikut secuil kisah tentang ulama pertama, Tuan Guru H Abdur Rasyid yang mendirikan pengajian yang menjadi cikal bakal ponpes terkenal, Rasyidah Khalidiyah (RAKHA) Amuntai.
Riwayat Hidup
“Tuan Guru Haji Abdur Rasyid adalah seorang ulama yang sudah melanglang buana sampai ke Universitas Al-Azhar Kairo dan merupakan pelopor ponpes modern di Kalimantan,” tutur Drs H Ahdi Makmur MAg.
Sebuah gambaran singkat ini sesungguhnya sudah dapat mengungkapkan betapa besar kontribusi H Abdur Rasyid dalam dunia pendidikan Islam di Kalimantan.
Tuan Guru Haji Abdur Rasyid terlahir dari pasangan Isram dan Khadijah. Ada dua versi mengenai tahun dan tempat kelahirannya, yakni 1884 di Pekapuran Amuntai dan 1885 di Kampung Panangkalaan Amuntai.
Abdur Rasyid kecil tumbuh dan besar dalam keluarga sederhana namun taat terhadap ajaran agama. Bayangkan, ia telah tamat belajar Al-Qur’an ketika baru berumur tujuh tahun.
Ketika kawan-kawan sebayanya sekolah di Island School, Abdur Rasyid justru mengaji ilmu-ilmu agama Islam di desa dan sekitarnya. Kemudian atas izin kedua orang tuanya, ia pindah ke daerah lain melanjutkan pelajaran ilmu-ilmu agama Islam kepada tuan guru yang banyak dikenal orang pada waktu itu selain juga tekun belajar sendiri dalam hal ilmu pengetahuan umum.
“Cita-citanya untuk sekolah di Mesir muncul setelah menerima pandangan-pandangan agama baru dari guru-gurunya,” ujar Ahdi.
Maka, pada tahun 1912, berangkatlah Abdur Rasyid ke Mesir dengan singgah terlebih dahulu di Tembilahan (Sumatera), Pula Pinang (Malaysia Barat), dan Johor sambil berdakwah sekaligus mengumpulkan uang untuk kepergiannya ke Mesir.
Bersama seorang temannya, H Mansur, pada penghujung tahun 1912, keduanya mencatatkan diri dalam sejarah sebagai dua putra Kalimantan pertama yang belajar di Universitas Al-Azhar.
Entah dari mana sumbernya, tiba-tiba tersiar kabar sampai ke telinga kaum penjajah bahwa selama menimba ilmu di Mesir, Abdur Rasyid juga belajar ilmu kataguhan (ilmu kebal). Akibatnya, sekembalinya ia ke tanah air pada tahun 1922 setelah menyempatkan diri menunaikan ibadah haji sesaat sebelumnya, jejak langkahnya di tengah masyarakat terus diawasi. Bahkan, kitab-kitab yang dibawanya ditahan oleh pejabat pemerintah untuk diperiksa.
Setelah pulang kampung, banyak permintaan dari masyarakat agar dia membuka pengajian agama. Pada tanggal 13 Oktober 1922 yang bertepatan dengan 12 Rabiul Awal 1341 H, dimulailah pengajian umum dengan mengambil tempat di rumahnya sendiri.
Rumah yang tidak begitu luas yang digunakan untuk tempat pengajian itu dipenuhi oleh pengunjung yang melimpah ruah. Mereka bukan hanya datang dari desa-desa yang ada di Amuntai, namun juga ada yang datang dari daerah lain seperti Alabio, Kelua, dan sebagainya.
Kondisi tersebut menuntut adanya tempat yang lebih luas yang dapat menampung peserta yang selalu bertambah tersebut.
Ia pun berinisiatif mendirikan langgar dan keinginannya itu mendapat dukungan dari masyarakat. Oleh karena itu, didirikanlah langgar yang berdekatan dengan rumahnya pada tahun 1924. Di langgar yang dibangun bertingkat dua ini, lantai dasarnya digunakan sebagai tempat pengajian umum, sedangkan lantai dua dibagi tiga lokal untuk sekolah.
Seiring dengan meningkatnya jumlah murid dari tahun ke tahun, setapak demi setapak H Abdur Rasyid berupaya meningkatkan mutu dan organisasi serta sarana dan prasarana lembaga pendidikan yang dikelolanya.
Yang menarik, selain sebagai pengajar dan pengasuh sebuah sekolah, ia tetap bekerja di sawah milik orang tuanya. Pada waktu senggang, ia juga turun ke sungai untuk mencari ikan.
Sementara itu, sekolah yang dikembangkannya terus dibenahi hingga pada tahun 1928 diresmikanlah “Arabische School” dan ia sendiri bertindak sebagai direkturnya.
Pada awal tahun 1933, ia memutuskan menerima amanah masyarakat Kandangan untuk memimpin sebuah sekolah bernama “Al-Madrasah Al-Wataniyyah” dan menyerahkan estafet kepemimpinan di Arabische School kepada salah seorang muridnya.
Menjelang akhir tahun 1933, kesehatan Abdur Rasyid mulai menurun. Tugas-tugas berat yang dihadapinya rupanya melebihi kemampuan fisiknya sendiri. Pada bulan Januari 1934, ia kembali ke Amuntai dalam keadaan sakit. Di saat-saat sakitnya sudah sangat parah, ia masih sempat berpesan agar murid-muridnya terus mengembangkan perguruan-perguruan yang telah dirintisnya.
Hari Minggu, 4 Februari 1934 yang bertepatan dengan 19 Syawal 1353 H pukul 16.00 waktu setempat, di hadapan istri, anak, keluarga, dan beberapa orang muridnya, Tuan Guru H Abdur Rasyid pun menghembuskan nafasnya yang terakhir. Ia dimakamkan di samping halaman rumahnya di Desa Pekapuran Amuntai.
Dijuluki Mu’allim Wahid
Berkat pendidikannya di Universitas Al-Azhar dan kunjungannya ke beberapa negara Islam Timur Tengah dan melihat kenyataan masyarakat yang dihadapinya, Tuan Guru H Abdur Rasyid berpandangan bahwa dalam menghadapi masa depan, peranan agama sangatlah penting dan untuk itu harus disiapkan kader-kader ulama sedini mungkin dengan dilengkapi ilmu-ilmu agama Islam dan pengetahuan umum hingga benar-benar dapat diharapkan mampu menghadapi perkembangan baru yang akan dialami oleh bangsa Indonesia.
“Beliau berpikir bahwa sekolah Islam itu harus didirikan sebanyak-banyaknya. Tujuannya adalah untuk membentuk kader-kader ulama masa depan,” kisah Ahdi lagi.
Sekolah Islam itu juga harus dibuat secara berkelanjutan sampai tingkat yang paling tinggi dengan memanfaatkan ulama-ulama yang ada dan melatih ulama-ulama kader sebagai pendidik. Dengan demikian, misi yang diemban ulama akan berkelanjutan dan meningkat terus.
Ia juga menyadari bahwa dunia Islam pada umumnya dan daerahnya sendiri belum menerapkan agama Islam secara murni. Di samping perlunya ditingkatkan pengetahuan masyarakat dengan ajaran-ajaran Islam, ajaran-ajaran Islam itu juga diterapkan dalam amaliah secara murni.
Sebagaimana diceritakan sebelumnya, kehidupan Abdur Rasyid sepenuhnya diserahkan untuk pendidikan.
Pada tahun 1924, atas prakarsanya dan dibantu oleh masyarakat serta berbagai pihak, mulailah dibangun sebuah langgar berlantai dua yang selain digunakan sebagai tempat ibadah dan pengajian, juga sekaligus difungsikan sebagai sekolah.
Mulai di langgar inilah, ia mengorganisir sebuah sekolah Islam yang diatur secara modern dengan menggunakan bangku, meja, papan tulis, dan sistem pengajaran baru.
“Cara pengajaran seperti yang dikembangkannya itu pada zamannya adalah yang pertama kali di Kalimantan,” cetusnya.
Sekolah Islam ini, dilihat dari mata pelajaran yang diberikan, tingkatannya adalah ibtidaiyah. Sekolah ini segera mendapat sambutan hangat dan perhatian besar dari masyarakat Kalimantan. Dari waktu ke waktu para pelajar berdatangan, bukan hanya dari Amuntai saja, tapi juga dari luar daerah seperti Lampihong, Paringin, Tanjung, Kelua, Barabai, Kandangan, Negara, Banjarmasin, Samarinda, dan lain-lain.
Tuan Guru H Abdur Rasyid kemudian mendirikan asrama pelajar bertingkat dua untuk menghimpun dan menampung para pelajar yang tadinya terpencar-pendar di rumah penduduk.
Perkembangan pendidikan berjalan lancar, maka tingkat sekolah dari ibtidaiyah dilanjutkan ke tingkat Tsanawiyah. Pada tahun 1926, ia mendirikan gedung sekolah yang baru tidak jauh dari gedung sekolah sebelumnya.
Tahun 1928, perguruan ini pun diresmikan dengan nama Arabische School dan tingkat pelajaran ditambah lagi sampai dengan tingkat aliyah.
Pada perkembangan selanjutnya, siswa-siswa tingkat aliyah yang dipersiapkan sebagai kader pendidik di masa depan perlu disediakan tempat belajar dan perkantoran dewan guru serta perkantoran sekolah. Dan sebagaimana ide awalnya untuk menghimpun para ulama, maka pada tahun 1930, dibangunlah sebuah gedung lagi yang terdiri dari lokal kelas, kantor guru, dan ruangan untuk pertemuan ulama.
Sesuai dengan keahliannya, ia mengajar mata pelajaran Bahasa Arab dengan ilmu-ilmu alat lainnya. Wibawa, kemampuan dalam bidang ilmu dan usaha-usahanya sebagai pelopor pendidikan membuatnya mendapat julukan Mu’allim Wahid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar