Pembukaan Lahan Sawit Sesuai Prosedur Cegah Konflik

BANJARMASIN – Pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Selatan kerap menyulut konflik. Yang masih hangat adalah penolakan sekelompok masyarakat terhadap pengembangan perkebunan kelapa sawit yang dilakukan PT Surya Langgeng Sejahtera di Kabupaten Hulu Sungai Selatan beberapa waktu lalu.

Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Kalsel Untung Wiyono yang diminta komentarnya terkait hal ini tak bisa bicara banyak mengingat PT SLS selaku kontraktor penanaman kelapa sawit di lokasi tersebut bukan anggota GAPKI.

Namun demikian, ia menyebut bahwa konflik yang sering mencuat menyertai keberadaan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Selatan bisa jadi disebabkan karena perusahaan tidak melewati mekanisme pembukaan lahan yang sesuai prosedur.

Dikatakannya, dalam proses pembukaan lahan untuk perkebunan, perusahaan harus berkoordinasi dengan tim pembinaan dan pengembangan perkebunan yang ada di tiap kota dan kabupaten.  Tim ini terdiri dari berbagai instansi lintas sektor yang terkait dengan pembinaan dan pengembangan perkebunan.

“Maka, perusahaan yang ingin membuka lahan mesti melalui tim itu,” ujarnya kepada Radar Banjarmasin, kemarin.

Sebetulnya, katanya, pro kontra merupakan hal yang wajar, termasuk dalam menyikapi alih fungsi lahan menjadi perkebunan sawit.

 “Bagaimanapun lokasi perkebunan itu wilayah masyarakat, wajar ada pro kontra,” cetusnya.

Namun, friksi tersebut tak harus berujung konflik seandainya potensi masalah yang mungkin akan timbul bisa diantisipasi sebelum terjadi.

“Konflik tidak akan terjadi kalau perusahaan sudah memahami aturan main dan masalah dengan masyarakat sudah diselesaikan sebelum pembukaan lahan. Terutama terkait lokasi yang akan dijadikan perkebunan, harus di-clear-kan dulu,” tukasnya.

Jika perusahaan tak bisa menyelesaikan sendiri, sambungnya, maka pro kontra dikembalikan kepada pejabat pemegang wilayah, misalnya kepala desa.

“Perusahaan yang akan membuka lahan pasti sepengetahuan kepala desa setempat. Selain itu, kepala desa kan yang paling mengetahui seluk beluk di daerahnya,” ucapnya.

Di sisi lain, adanya kelompok masyarakat yang menentang keberadaan kelapa sawit kemungkinan disebabkan karena mereka tak paham dan menganggap perkebunan kelapa sawit hanya akan merugikan mereka.

Dalam hal ini, kata Untung, perusahaan harus menjelaskan kepada masyarakat mengenai kompensasi dari adanya perkebunan kelapa sawit itu.

“Jadi, masalah komunikasi yang tidak berjalan sebagaimana mestinya saja. Setiap perubahan pasti ada pro kontra, tinggal bagaimana menyikapinya dengan bijak,” tuturnya.

Ditambahkannya, masyarakat yang pro tidak boleh dihadapkan dengan yang kontra, tapi yang kontra ini harus diberi penyuluhan, sehingga masalah tidak berlarut-larut.

“Sedangkan terkait masalah lingkungan, kalau lokasi perkebunan di lahan basah, dalam banyak kasus tidak serta merta mengganggu mata pencarian masyarakat yang mencari ikan atau merusak lingkungan. Wilayah tangkapan atau serapan air pasti akan dilindungi oleh pemda setempat,” paparnya.

Sementara itu, terkait kompensasi dari adanya perkebunan kelapa sawit, ia menerangkan bahwa salah satu bentuknya adalah terciptanya lapangan kerja, baik di areal perkebunan, pabrik pengolahan, maupun dari sisi pelayanan transportasi TBS (tandan buah segar).

“Setiap tiga hektar lahan perkebunan sawit menyerap satu orang tenaga kerja tetap pertahun. Itu baru di perkebunan, belum lagi di pabrik,” ungkapnya.

Kompensasi yang lain adalah masyarakat yang memiliki lahan di sekitar areal perkebunan bisa diikutkan sebagai peserta plasma.

“Jadi, tak hanya jadi pekerja, tapi juga mendapat hasil dari kebunnya,” katanya.