BANJARMASIN – Ketatnya kuota bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi untuk wilayah di luar Pulau Jawa dikeluhkan oleh Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas (Hiswana Migas) Kalimantan Selatan. Menurut para pengusaha, ada standar ganda yang diterapkan pemerintah, dimana penambahan kuota BBM bersubsidi untuk Pulau Jawa bisa dilakukan dengan mudah, namun tidak demikian halnya untuk daerah lain.
Menanggapi hal ini, General Manager Fuel Marketing PT Pertamina (Persero) Region VI Kalimantan Afandi saat berada di Banjarmasin mengatakan bahwa kondisi ini tidak hanya memberatkan para pengusaha, tapi juga Pertamina karena mestinya Pertamina dan pengusaha bisa menjual lebih tapi dibatasi kuota.
"Tapi ini adalah permasalahan eksternal yang tidak bisa kita pengaruhi agar sesuai dengan yang kita inginkan," ujarnya di sela acara Musyawarah Cabang VI DPC Hiswana Migas Kalsel, Kamis (13/10).
Dikatakannya, penyaluran BBM bersubsidi harus sesuai dengan kuota yang ditetapkan pemerintah bersama DPR. Besarnya kuota tak terlepas dari besaran subsidi yang harus ditanggung oleh negara. Di internal Pertamina, penjualan BBM bersubsidi masih kurang menguntungkan dari sisi bisnis.
"Pembukuan sampai September belum mencapai laba, masih minus. Dampaknya, kami belum bisa meningkatkan servis kepada pengusaha, misalnya soal penambahan keuntungan dan armada angkutan," tambahnya.
Sementara itu, Afandi mengungkapkan bahwa hingga saat ini penyaluran BBM bersubsidi di wilayah Kalimantan telah melebihi kuota, masing-masing 6 persen untuk premium dan 5 persen untuk solar. Meski demikian, BBM bersubsidi tetap disalurkan, namun dengan catatan penyaluran diikuti dengan pengawasan yang lebih intensif agar sesuai dengan peruntukkannya.
Terkait antrean solar di Kalsel yang masih belum mampu teratasi dan kembali marak selepas Lebaran, pihaknya hanya bisa meminta maaf karena tak bisa berbuat banyak.
"Untuk masyarakat yang kesulitan mendapatkan BBM bersubsidi, kita beri alternatif dengan menyediakan BBM nonsubsidi. Di Kalimantan sudah ada 15 SPBU yang menjual solar nonsubsidi," katanya.
Konsumsi BBM nonsubsidi sendiri diklaim terus meningkat, dimana saat ini pihaknya telah mampu menyalurkan BBM nonsubsidi sebanyak 1,5 juta liter perbulan.
Pada kesempatan yang sama, Sekretaris Daerah Provinsi Kalsel Muchlis Gafuri mengatakan bahwa krisis BBM bersubsidi tidak akan pernah terselesaikan selama pemerintah bersikeras untuk tidak akan mengubah kebijakan apapun yang berkaitan dengan industri otomotif dan tidak mencabut subsidi BBM.
"Sedikit demi sedikit industri otomotif harus dibatasi atau cabut saja subsidi BBM," cetusnya.
Saat ini, subsidi BBM sudah mendekati angka Rp 120 triliun, dan diperkirakan akan membengkak hingga Rp 200 triliun. Jika subsidi BBM dihapuskan dan dialihkan untuk menunjang sektor yang lain, menurut Muchlis akan ada banyak permasalahan pembangunan yang bisa dituntaskan.
"Untuk menuntaskan permasalahan di sektor kesehatan hanya memerlukan dana Rp 40 triliun saja. Bandingkan dengan subsidi BBM saat ini yang mendekati Rp 120 triliun, apalagi nanti menembus Rp 200 triliun, berapa banyak sektor yang bisa dituntaskan," tukasnya.
Menanggapi hal ini, General Manager Fuel Marketing PT Pertamina (Persero) Region VI Kalimantan Afandi saat berada di Banjarmasin mengatakan bahwa kondisi ini tidak hanya memberatkan para pengusaha, tapi juga Pertamina karena mestinya Pertamina dan pengusaha bisa menjual lebih tapi dibatasi kuota.
"Tapi ini adalah permasalahan eksternal yang tidak bisa kita pengaruhi agar sesuai dengan yang kita inginkan," ujarnya di sela acara Musyawarah Cabang VI DPC Hiswana Migas Kalsel, Kamis (13/10).
Dikatakannya, penyaluran BBM bersubsidi harus sesuai dengan kuota yang ditetapkan pemerintah bersama DPR. Besarnya kuota tak terlepas dari besaran subsidi yang harus ditanggung oleh negara. Di internal Pertamina, penjualan BBM bersubsidi masih kurang menguntungkan dari sisi bisnis.
"Pembukuan sampai September belum mencapai laba, masih minus. Dampaknya, kami belum bisa meningkatkan servis kepada pengusaha, misalnya soal penambahan keuntungan dan armada angkutan," tambahnya.
Sementara itu, Afandi mengungkapkan bahwa hingga saat ini penyaluran BBM bersubsidi di wilayah Kalimantan telah melebihi kuota, masing-masing 6 persen untuk premium dan 5 persen untuk solar. Meski demikian, BBM bersubsidi tetap disalurkan, namun dengan catatan penyaluran diikuti dengan pengawasan yang lebih intensif agar sesuai dengan peruntukkannya.
Terkait antrean solar di Kalsel yang masih belum mampu teratasi dan kembali marak selepas Lebaran, pihaknya hanya bisa meminta maaf karena tak bisa berbuat banyak.
"Untuk masyarakat yang kesulitan mendapatkan BBM bersubsidi, kita beri alternatif dengan menyediakan BBM nonsubsidi. Di Kalimantan sudah ada 15 SPBU yang menjual solar nonsubsidi," katanya.
Konsumsi BBM nonsubsidi sendiri diklaim terus meningkat, dimana saat ini pihaknya telah mampu menyalurkan BBM nonsubsidi sebanyak 1,5 juta liter perbulan.
Pada kesempatan yang sama, Sekretaris Daerah Provinsi Kalsel Muchlis Gafuri mengatakan bahwa krisis BBM bersubsidi tidak akan pernah terselesaikan selama pemerintah bersikeras untuk tidak akan mengubah kebijakan apapun yang berkaitan dengan industri otomotif dan tidak mencabut subsidi BBM.
"Sedikit demi sedikit industri otomotif harus dibatasi atau cabut saja subsidi BBM," cetusnya.
Saat ini, subsidi BBM sudah mendekati angka Rp 120 triliun, dan diperkirakan akan membengkak hingga Rp 200 triliun. Jika subsidi BBM dihapuskan dan dialihkan untuk menunjang sektor yang lain, menurut Muchlis akan ada banyak permasalahan pembangunan yang bisa dituntaskan.
"Untuk menuntaskan permasalahan di sektor kesehatan hanya memerlukan dana Rp 40 triliun saja. Bandingkan dengan subsidi BBM saat ini yang mendekati Rp 120 triliun, apalagi nanti menembus Rp 200 triliun, berapa banyak sektor yang bisa dituntaskan," tukasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar