PAD Naik, Kesejahteraan Tak Ikut Naik
Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS) dinilai sebagai salah satu daerah dengan kinerja terbaik di Indonesia versi Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) RI. Ironisnya, perencanaan pembangunan yang disusun pemerintah daerah setempat dipandang belum berorientasi pada peningkatan kesejahteraan penduduknya.
NAZAT FITRIAH, Banjarmasin
Hal itu setidaknya terlihat dari hasil kajian yang dilakukan Koalisi Kependudukan wilayah Kalimantan Selatan.
Organisasi bernama lengkap Koalisi Indonesia untuk Kependudukan ini sendiri dibentuk sejak akhir tahun 2010 untuk membantu pemerintah menanggulangi masalah kependudukan.
“Di Kalsel, koalisi ini baru terbentuk dua bulan lalu,” ujar Ketua Koalisi Kependudukan Kalsel Suryani di sela kegiatan sosialisasi kajian dampak kependudukan yang digelar Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Kalsel di Hotel Graha Fortuna Banjarmasin beberapa waktu lalu.
Pada tahun 2010, pemerintah dikejutkan dengan pertumbuhan penduduk Indonesia yang ternyata lebih besar dari proyeksi. Salah satu sebabnya adalah kurangnya perhatian pemda terhadap masalah pengendalian jumlah penduduk setelah era otonomi daerah.
“Indikasinya antara lain BKKBN di tingkat daerah hampir tidak ada. Kalaupun ada, bergabung dengan SKPD lain,” kata dosen Fakultas Ekonomi Unlam yang juga anggota Pusat Penelitian Kependudukan Unlam itu.
Adapun peranan yang dilakukan Koalisi Kependudukan yang terdiri dari berbagai unsur masyarakat ini adalah memberikan advokasi mengenai masalah kependudukan, misalnya dengan menggelar sosialisasi atau seminar, serta melakukan kajian-kajian.
“Salah satu yang tengah dikerjakan sekarang adalah kajian terhadap perencanaan pembangunan di HSS, ini sedang jalan,” ungkapnya.
Dalam dokumen-dokumen perencanaan pembangunan yang diteliti, dapat dilihat keterkaitan antara apa yang dirancang dengan variabel pendukung. Hasilnya, dari salah satu dokumen yang telah ditelaah, yakni Kebijakan Umum Anggaran (KUA) Pemkab HSS, pihaknya berpendapat bahwa belum terlihat jelas keterkaitan antara target yang dibuat, pertumbuhan ekonomi makro, dan kesejahteraan penduduk.
“Dari analisis kami, pemda lebih cenderung pada upaya meningkatkan PAD (pendapatan asli daerah, Red). Kalau PAD naik, dianggap ekonomi tumbuh,” sambungnya.
Menurut Suryani, pola pikir seperti itu sebenarnya tidak salah. Hanya saja persoalannya adalah peningkatan PAD tidak selalu sejalan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
“Faktanya, pertumbuhan sektor pertanian dan perkebunan di Kalsel tidak serta merta berdampak pada kesejahteraan petaninya,” cetusnya.
Sementara itu, Kepala Bidang Kependudukan BKKBN Kalsel Bandi Sulistiyanto menegaskan bahwa pembangunan berwawasan kependudukan sudah seharusnya mulai diterapkan.
Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) Kalsel, ada tiga kota dan kabupaten di Kalsel yang jumlah penduduk miskinnya cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, yakni Kota Banjarmasin, Kabupaten Kotabaru, dan Kabupaten Tanah Bumbu. Kondisi ini terjadi karena ketiga wilayah tersebut merupakan pusat kegiatan ekonomi sehingga menarik orang dari daerah lain untuk datang.
“Nah, pemda setempat patut memikirkan berapa sih jumlah penduduk maksimal yang mampu mereka penuhi kebutuhannya, terutama kebutuhan pokok seperti air bersih dan pangan,” tuturnya.
Pihaknya pun berharap hasil kajian yang disampaikan ini dapat mendorong pemda untuk menerapkan rancangan program pembangunan yang berorientasi pada kesejahteraan penduduk, tidak hanya fokus pada meningkatkan pendapatan daerahnya.
“Setelah otda, pemda terkonsetrasi pada penggalian SDA dan mengabaikan pengembangan SDM. Akibatnya, lingkungan rusak,” tandasnya.
Organisasi bernama lengkap Koalisi Indonesia untuk Kependudukan ini sendiri dibentuk sejak akhir tahun 2010 untuk membantu pemerintah menanggulangi masalah kependudukan.
“Di Kalsel, koalisi ini baru terbentuk dua bulan lalu,” ujar Ketua Koalisi Kependudukan Kalsel Suryani di sela kegiatan sosialisasi kajian dampak kependudukan yang digelar Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Kalsel di Hotel Graha Fortuna Banjarmasin beberapa waktu lalu.
Pada tahun 2010, pemerintah dikejutkan dengan pertumbuhan penduduk Indonesia yang ternyata lebih besar dari proyeksi. Salah satu sebabnya adalah kurangnya perhatian pemda terhadap masalah pengendalian jumlah penduduk setelah era otonomi daerah.
“Indikasinya antara lain BKKBN di tingkat daerah hampir tidak ada. Kalaupun ada, bergabung dengan SKPD lain,” kata dosen Fakultas Ekonomi Unlam yang juga anggota Pusat Penelitian Kependudukan Unlam itu.
Adapun peranan yang dilakukan Koalisi Kependudukan yang terdiri dari berbagai unsur masyarakat ini adalah memberikan advokasi mengenai masalah kependudukan, misalnya dengan menggelar sosialisasi atau seminar, serta melakukan kajian-kajian.
“Salah satu yang tengah dikerjakan sekarang adalah kajian terhadap perencanaan pembangunan di HSS, ini sedang jalan,” ungkapnya.
Dalam dokumen-dokumen perencanaan pembangunan yang diteliti, dapat dilihat keterkaitan antara apa yang dirancang dengan variabel pendukung. Hasilnya, dari salah satu dokumen yang telah ditelaah, yakni Kebijakan Umum Anggaran (KUA) Pemkab HSS, pihaknya berpendapat bahwa belum terlihat jelas keterkaitan antara target yang dibuat, pertumbuhan ekonomi makro, dan kesejahteraan penduduk.
“Dari analisis kami, pemda lebih cenderung pada upaya meningkatkan PAD (pendapatan asli daerah, Red). Kalau PAD naik, dianggap ekonomi tumbuh,” sambungnya.
Menurut Suryani, pola pikir seperti itu sebenarnya tidak salah. Hanya saja persoalannya adalah peningkatan PAD tidak selalu sejalan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
“Faktanya, pertumbuhan sektor pertanian dan perkebunan di Kalsel tidak serta merta berdampak pada kesejahteraan petaninya,” cetusnya.
Sementara itu, Kepala Bidang Kependudukan BKKBN Kalsel Bandi Sulistiyanto menegaskan bahwa pembangunan berwawasan kependudukan sudah seharusnya mulai diterapkan.
Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) Kalsel, ada tiga kota dan kabupaten di Kalsel yang jumlah penduduk miskinnya cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, yakni Kota Banjarmasin, Kabupaten Kotabaru, dan Kabupaten Tanah Bumbu. Kondisi ini terjadi karena ketiga wilayah tersebut merupakan pusat kegiatan ekonomi sehingga menarik orang dari daerah lain untuk datang.
“Nah, pemda setempat patut memikirkan berapa sih jumlah penduduk maksimal yang mampu mereka penuhi kebutuhannya, terutama kebutuhan pokok seperti air bersih dan pangan,” tuturnya.
Pihaknya pun berharap hasil kajian yang disampaikan ini dapat mendorong pemda untuk menerapkan rancangan program pembangunan yang berorientasi pada kesejahteraan penduduk, tidak hanya fokus pada meningkatkan pendapatan daerahnya.
“Setelah otda, pemda terkonsetrasi pada penggalian SDA dan mengabaikan pengembangan SDM. Akibatnya, lingkungan rusak,” tandasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar