A good journalist is not the one that writes what people say, but the one that writes what he is supposed to write. #TodorZhivkov

Minggu, 19 September 2010

Pajak Film Bioskop Terlalu Rendah

Seharusnya Masuk Golongan A2

BANJARMASIN – Ketua Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Pajak Hiburan DPRD Kota Banjarmasin, M Dafik As’ad mengatakan bahwa pengusaha hiburan semestinya memisahkan antara tarif hiburan yang mereka kelola dengan pajak yang harus dibayarkan oleh masyarakat yang ingin menikmati hiburan tersebut.

“Kebanyakan pengusaha mentotalkan harga tiket dengan pajak sehingga ada kesan bahwa yang membayar pajak pengusaha, semestinya kan konsumen. Pengusaha hanya mengumpulkan, menyetorkan sendiri, dan menyampaikan laporan berupa surat laporan pajak terutang secara sendiri pula. Artinya, tidak ada kewajiban atau beban yang dilimpahkan kepada pengusaha,” ujarnya.

Dengan mentotalkan itu, para pengusaha hiburan umumnya akan merasa keberatan jika pajak hiburan dinaikkan.

“Ini yang perlu dipahami oleh pengusaha dan masyarakat. Barangkali masyarakat banyak yang tidak tahu bahwa ketika mereka makan di restoran atau menginap di hotel mereka sudah membayar pajak. Semestinya harus benar-benar disadari bahwa pajak dibayar masyarakat sehingga tidak ada alasan pengusaha merasa terbebani pajak karena takut rugi,” imbuhnya.

Terkait keberatan yang dirasakan oleh pengusaha bioskop terkait rencana kenaikan tarif pajak hiburan, termasuk untuk tontonan film, Dafik berpendapat bahwa kenaikan tarif yang akan segera dilakukan itu sebenarnya tidak akan terlalu berpengaruh karena selama ini pengusaha bioskop, khususnya di Banjarmasin, telah menetapkan harga tiket berdasarkan dasar pengenaan pajak yang tidak jelas.

“Misalnya harga tiket Rp 20 ribu, kalau dinaikkan pajak awalnya 10 persen jadi 20 persen, harga tiket harusnya hanya Rp 24 ribu, tapi nyatanya sekarang Rp 25-35 ribu. Jadi, dimana pengaruhnya? Makanya benar-benar dasar pengenaan pajaknya dimana dulu. Kalau perda itu sudah 10-15 tahun memang perlu dilakukan penyesuaian untuk peningkatan PAD. Toh pada akhirnya pajak yang dibayarkan masyarakat dikembalikan kepada masyarakat juga, untuk jalan, pendidikan dan lain-lain,” tuturnya.

Selain itu, ia menilai bahwa tarif pajak yang dikenakan untuk tontonan film selama ini terlalu rendah. Mengacu pada perda tentang Pajak Hiburan yang lama, yakni Perda nomor 5 tahun 2008, tarif yang dipakai adalah tarif golongan tujuh atau D sebesar 10 persen. Semestinya, tontonan film dikenakan pajak golongan pertama atau A2 sebesar 25 persen.

“Kalau menurut pemahaman kami yang golongan D ini adalah untuk yang sekelas Kamaratih karena golongan di bawahnya lagi adalah jenis keliling (layar tancap), berarti kalau di atasnya itu kelas misbar-lah, gerimis bubar. Mestinya harus diterapkan 25 persen, tapi tidak tahu kenapa pemkot menerapkan 10 persen. Apa alasannya pemkot yang lebih tahu,” ucapnya.

Tidak ada komentar: