A good journalist is not the one that writes what people say, but the one that writes what he is supposed to write. #TodorZhivkov

Selasa, 20 Desember 2011

Pajak Walet Bocor

Pengusaha Nakal, Perda Banyak Kelemahan

Mendekati akhir tahun anggaran 2011, setoran pajak sarang burung walet yang masuk ke kas Pemerintah Kota Banjarmasin masih jauh dari target. Apa yang terjadi?   
 
NAZAT FITRIAH, Banjarmasin

Terkait minimnya realisasi pajak sarang burung walet, sebagian pengusaha beralasan harga sarang burung walet di pasaran belakangan ini anjlok. Akibatnya, dari target Rp 1,5 miliar, realisasi setoran pajak sarang burung walet baru berkisar di angka Rp 200 jutaan.
Salah seorang pengusaha walet di Kota Banjarmasin, Geman Yusuf mengakui bahwa harga sarang burung walet lokal saat ini memang agak jatuh dibandingkan beberapa waktu lalu. Jika dulu harga sarang burung walet kualitas super mencapai Rp 11 juta-Rp 12 juta perkilogram, kini merosot hingga Rp 5 juta-Rp 6 juta perkilogram.
“Orang luar takut beli sarang burung walet dari Indonesia karena ada isu bercampur bahan kimia. Entah benar atau mungkin hanya bentuk black campaign,” ujarnya, kemarin.
Umumnya, hasil panen sarang burung walet di Kota Banjarmasin dijual ke luar daerah, seperti Jakarta, Surabaya, dan sebagainya. Sayang, tak ada data pasti berapa sebenarnya potensi sarang burung walet di Banjarmasin. Terlebih para pengusaha walet yang menjual hasil panennya ke luar daerah diduga tak selalu melalui jalur resmi. 
Namun, dengan jumlah bangunan sarang burung walet di Kota Banjarmasin yang mencapai 200 titik lebih, belum termasuk bangunan tak berizin alias ilegal, jika dikali harga jual walet saat ini, maka target Rp 1,5 miliar tersebut sebenarnya sudah ideal. Tak heran, berkembang dugaan bahwa pajak sarang burung walet mengalami kebocoran dan banyak pengusaha yang tidak jujur dalam menyetorkan pajak.
Diungkapkan Geman, dalam mekanisme pembayaran pajak sarang burung walet, pengusaha diberi kepercayaan penuh untuk menghitung sendiri besaran pajak yang harus mereka setor.
“Sama saja seperti kita bayar pajak penghasilan, besarannya tergantung pada kejujuran kita melaporkan berapa penghasilan kita,” katanya.
Untuk membayar pajak walet, pengusaha diberi sebuah formulir dan harus mengisi sejumlah keterangan, antara lain apakah mereka ada panen atau tidak, berapa hasil panen, dan berapa hasil penjualan.
“Waktu panen biasanya 3-4 bulan sekali. Tapi kalau musim hujan, umumnya pengusaha jarang panen karena walet masih berada di dalam gedung,” terangnya.
Dalam formulir juga disebutkan bahwa pengusaha yang terbukti tidak jujur harus rela bangunan waletnya disegel. Tarif pajak sarang burung walet sendiri ditetapkan sebesar 10 persen dari hasil penjualan dan disetorkan perkwartal. Berdasarkan kualitasnya, sarang burung walet bisa dibedakan menjadi 7-9 macam. Semakin baik kualitas sarang, maka makin tinggi harganya.
“Nah, yang jadi masalah dalam perda tidak ada patokan yang jelas terkait hasil penjualan ini, berapa maksimal dan minimalnya. Jadi, sulit mengukur berapa besaran pajak yang mestinya disetor pengusaha,” sambungnya. 
Selain itu, perda tidak mengatur mengenai domisili pemilik bangunan sarang burung walet. Akibatnya, banyak bangunan yang dimiliki pengusaha dari luar daerah sehingga sulit dipantau, apalagi dimintai pertanggungjawaban jika terjadi masalah. 
Sementara itu, Wakil Ketua DPRD Kota Banjarmasin Awan Subarkah yang diminta komentarnya menbantah bahwa perda yang dibuat pemerintah lemah. Menurutnya, pengusaha dari luar daerah tidak boleh dilarang untuk berusaha di mana saja di seluruh wilayah Indonesia selama yang bersangkutan mengikuti prosedur perizinan yang ada.
“Sebenarnya bukan perdanya yang lemah, tapi penegakkannya. Artinya, tinggal bagaimana aparat terkait menjalankan tugasnya dengan baik, misalnya berkoordinasi dengan asosiasi yang menaungi para pengusaha atau melibatkan masyarakat untuk melakukan pengawasan,” tuturnya.

Tidak ada komentar: