A good journalist is not the one that writes what people say, but the one that writes what he is supposed to write. #TodorZhivkov

Rabu, 11 Januari 2012

Pungutan Sekolah Masih Marak

Disdik Ancam Sanksi Kepala Sekolah
 
BANJARMASIN – Selain untuk meringankan beban masyarakat terhadap pembiayaan pendidikan dalam rangka wajib belajar 9 tahun yang bermutu, penyaluran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) diharapkan dapat membebaskan pungutan di lingkungan SD dan SMP negeri. Terlebih pada tahun 2012 ini, alokasi dana BOS 2012 naik signifikan.
Pada praktiknya, pungutan di lingkungan sekolah selama ini masih marak terjadi, misalnya pada penerimaan siswa baru. Dari penelusuran Radar Banjarmasin di sebuah SMP negeri di Kecamatan Banjarmasin Tengah, setiap siswa baru harus menebus berbagai atribut sekolah seperti kaos kaki, topi, dasi, baju olahraga, dan kain sasirangan dengan jumlah sekitar Rp 500 ribu.
Bagi siswa pindahan yang masuk di tengah-tengah tahun ajaran, pungutan yang dikenakan lebih besar lagi. Salah satu orang tua yang kebetulan ditemui tengah mendaftarkan anaknya baru-baru tadi diminta membayar sejumlah uang dengan dalih biaya pengadaan meja dan kursi siswa serta sumbangan pengembangan sekolah yang totalnya mencapai jutaan rupiah.
Di samping itu, pada tahun ajaran 2011/2012 sekolah ini juga menarik sumbangan dari siswa untuk kepentingan pembangunan kantin. Sumbangan dikenakan kepada seluruh siswa kelas satu sampai kelas tiga dengan besaran setengah juta rupiah lebih. Sumbangan bisa dicicil beberapa kali.
“Ini hasil kesepakatan komite sekolah,” kata salah seorang tenaga kependidikan di sekolah tersebut.
Sebenarnya, dalam petunjuk teknis penggunaan dana BOS, siswa tidak dilarang memberikan sumbangan sukarela. Tapi kebijakan ini hanya ditujukan bagi siswa mampu. Itupun harus bersifat ikhlas, tidak terikat waktu dan tidak ditetapkan jumlahnya, serta tidak mendiskriminasikan mereka yang tidak memberikan sumbangan. Nyatanya, salah seorang siswa dari keluarga tidak mampu mengaku tetap membayar sumbangan itu. Padahal, ayahnya hanya bekerja sebagai buruh bangunan. 
“Sudah dilunasi, dua kali bayar,” ucap siswi kelas dua yang tergolong berotak encer itu.
Selain sumbangan pembangunan kantin, pada tahun ajaran sebelumnya sekolah ini juga pernah mengadakan sumbangan sejenis, tapi untuk pengadaan meja dan kursi siswa.
Di salah satu SMP negeri lainnya di Kecamatan Banjarmasin Barat, salah satu orangtua murid mengaku bahwa setiap semester baru anaknya harus membeli buku lembar kerja siswa (LKS) dari guru. Harganya berkisar antara Rp 15 ribu-Rp 20 ribu perbuah. Hal ini sudah terjadi sejak anaknya duduk di kelas satu hingga sekarang kelas tiga. 
“Nggak ngerti juga kenapa, pokoknya harus beli LKS dengan guru,” katanya.
Padahal, jual beli LKS di lingkungan sekolah telah dilarang, apalagi jika siswa membeli dari guru. Selain itu, LKS juga bukan merupakan barang wajib. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 2 tahun 2008 tentang Buku, hanya disebutkan tentang buku teks wajib, buku pengayaan, dan buku referensi. Sedangkan LKS hanyalah media untuk memperdalam materi pembelajaran karena isinya banyak soal-soal, bukan informasi.
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Banjarmasin M Amin membenarkan ada sebagian sekolah yang masih memungut. Sekolah-sekolah tersebut adalah sekolah swasta yang tidak mengambil dana BOS.
“Kalau sekolah negeri, sudah wajib 9 tahun tidak boleh ada pungutan kecuali RSBI. Kalau swasta masih mungkin ada yang pungutan. Tetapi kalau negeri kayaknya sudah tak ada lagi,” ujarnya kemarin.
Amin berencana pada bulan Februari mendatang, akan memanggil semua kepala sekolah di Banjarmasin. Seandainya sesudah pertemuan masih ada yang melakukan pungutan, maka kepala sekolahnya akan dimonitor.
“Pertemuan tersebut akan menjelaskan mengenai BOS. Kalau kepala sekolah masih ada memungut, maka akan dilihat dulu. Masih memungut juga, akan dapat sanksi,” tegasnya.
Sedangkan anggota Komisi IV DPRD Kota Banjarmasin Mursyid berpendapat kalau komite sekolah sebagai perwakilan orangtua siswa sudah sepakat, maka tidak bisa lagi disebut sebagai pungutan.
“Kalau pungutan itu sifatnya memberatkan dan memaksa, tidak tebang pilih baik miskin dan kaya. Tapi tidak bisa disebut pungutan jika ada kesepakatan komite selaku wakil orangtua murid dengan sekolah,” ucapnya.

Tidak ada komentar: