A good journalist is not the one that writes what people say, but the one that writes what he is supposed to write. #TodorZhivkov

Kamis, 27 Mei 2010

KDRT Sebabkan Gangguan Psikologis

Praktek kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sudah seringkali terdengar, namun yang kasusnya terangkat ke permukaan barangkali hanyalah sebagian kecil dari fakta yang sesungguhnya. Ibarat fenomena gunung es, lebih banyak lagi kasus KDRT yang hanya menjadi rahasia di keluarga itu sendiri. Dari hasil penelitian, KDRT dapat terjadi di seluruh lapisan masyarakat tanpa memandang strata ekonomi atau pendidikan.

“Jadi, jangan dikira KDRT hanya bisa terjadi di keluarga yang ekonomi dan tingkat pendidikannya rendah,” ujar Ananda, runner up I Putri Indonesia 2006 yang kini duduk sebagai wakil rakyat di Komisi IV bidang Kesejahteraan Rakyat DPRD Kota Banjarmasin.

Ia pribadi merasa prihatin dengan maraknya kasus KDRT karena dampaknya sangat buruk bagi anak-anak baik yang hanya sekadar menjadi saksi mata ketika kekerasan itu terjadi, lebih-lebih jika mereka sampai menjadi korban KDRT itu sendiri. Sarjana Kedokteran jebolan Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) ini mengatakan bahwa gangguan psikis yang diakibatkan oleh KDRT akan melekat pada diri anak seumur hidupnya dan sangat sulit untuk disembuhkan ketimbang luka fisik.

“Misalnya seorang anak melihat ibunya dikasari oleh ayahnya, itu pasti akan membekas di memorinya. Nanti kalau dia sudah besar, dia akan mengulangi perilaku tersebut kepada istrinya. Karena ayahnya dulu berbuat seperti itu, dia akan berpikir berarti dia juga boleh melakukannya,” paparnya.

Sebagai orang tua, ujarnya, seharusnya dapat berpikir panjang sebelum mengambil tindakan dan mempertimbangkan bagaimana dampaknya terhadap psikologis serta perkembangan anak.

“Kalau melakukan sesuatu lihat akibatnya kepada anak, tidak hanya kepada diri kita saja. Coba kita tempatkan diri kita di posisi anak,” tukasnya.

Ibu satu orang putri bernama Alana Ramadhan Supit itu juga menyayangkan masyarakat yang masih beranggapan bahwa masalah keluarga cukup disimpan rumah tangga saja, ketika keluar orang lain tidak boleh tahu. Padahal menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, katanya, kalau pasangan memukul sekali saja dan korban merasa sakit sebenarnya sudah bisa dilaporkan kepada polisi.

“Tapi yang pertama harus dilakukan tentu adalah komunikasi, bicara dulu. Kalau terulang, silakan lapor. Kalau kekerasan dilakukan berkali-kali, rasanya itu bukan khilaf lagi namanya, tapi memang sudah perangai,” cetusnya.

Masyarakat sendiri, lanjutnya, sebenarnya harus ikut bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya KDRT di lingkungannya.

“Kalau kita tahu keluarga atau tetangga kita mengalami KDRT kita wajib membantu setidaknya untuk mendamaikan atau sebagai mediator. Kalau sudah parah, kita bisa membantu untuk melaporkannya kepada pihak berwajib jika si korban mungkin takut melakukannya. Dalam undang-undang, saksi boleh melaporkan dan bisa menjadi alat bukti yang kuat,” tandasnya.

Namun, ia juga tak ingin menyalahkan karena menurutnya masyarakat sendiri masih banyak yang belum mengerti apa itu KDRT. Dalam UU Penghapusan KDRT, kekerasan dalam rumah tangga didefinisikan sebagai setiap perbuatan yang menimbulkan kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, serta penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

“Di Banjarmasin sendiri sebenarnya ada Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Peremuan (BKBPmP) yang memiliki program advokasi untuk korban KDRT. Tapi pemerintah masih lemah dalam hal sosialisasi dan implementasi sehingga banyak masyarakat yang tidak mengetahuinya,” katanya.

Dana yang dianggarkan untuk program advokasi itu sendiri juga relatif kecil sehingga lembaga tersebut belum bisa bekerja secara optimal. Oleh sebab itu, ia mengatakan bahwa Komisi 4 akan mengupayakan untuk meningkatkan anggaran advokasi ini ke depannya. Bahkan, kalau perlu di Banjarmasin ada peraturan daerah yang mengatur tentang penghapusan KDRT agar payung hukumnya menjadi lebih kuat.

Tidak ada komentar: