Betapa politik pencitraan kini menjadi bahasa yang awam digunakan oleh para calon kepala daerah untuk mengkomunikasikan dirinya kepada publik meski terkadang cara-cara yang ditempuh berbau propaganda. Namun, Drs Masdari M.Si meyakini bahwa tipe masyarakat Banjarmasin yang individualis kompetitif tidak akan bisa dengan mudah dipengaruhi begitu saja. Apa maksudnya?
Secara real, komunikasi politik yang dilakukan oleh para calon kepala daerah yang kini tengah bersaing memperebutkan kursi nomor satu baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota belum seideal yang diinginkan dalam disiplin Ilmu Komunikasi. Justru ada gejala kampanye yang dilakukan lebih mengarah kepada propaganda politik.
Demikianlah penilaian Drs Masdari M.Si, dosen Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Antasari Banjarmasin. Magister Ilmu Komunkasi jebolan Universitas Dr Soetomo Surabaya yang sehari-harinya juga aktif di Komisi Informasi dan Media Massa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Kalimantan Selatan ini mengatakan bahwa praktek komunikasi politik dan propaganda politik dewasa ini nampak bias, namun sesungguhnya kedua istilah ini memiliki perbedaan yang sangat mendasar.
"Kalau komunikasi politik intinya mengajak publik supaya memberikan support kepada kandidiat dalam rangka melaksankan visi dan misi untuk menggolkan tujuan-tujuan pembangunan. Kalau propaganda politik yang tujuan untuk merealisasikan pembangunan itu nomor dua, yang utama adalah ingin duduk sebagai penguasa," ujarnya.
Menurutnya, komunikasi politik tidak menghendaki aturan main yang sifatnya mencaci, menuding, menyalahkan, apalagi sampai mendiskreditkan.
"Selebaran gelap, friksi-friksi antar tim sukses, atau segala tindakan yang mengarah pada pembohongan publik itu merupakan bentuk propaganda politik. Jika asas komunikasi dipegang teguh, Pemilukada pasti akan berlangsung aman dan damai karena masing-masing pihak dapat menahan dan mengendalikan diri," katanya lagi.
Sebaliknya, jika yang marak adalah propaganda politik, ia menyebut bahwa pesta demokrasi akan menjadi bebas nilai dimana demi meraih atau mempertahankan sebuah kedudukan, para kandidat akan menghalalkan segala cara.
"Nah, kalau yang terjadi adalah propaganda politik, yang sukses sebenarnya bukan kandidatnya, tapi tim suksesnya. Yang jadi korban justru kandidat. Apalagi kalau kandidat sudah seratus persen mendelegasikan wewenang kepada tim sukses masing-masing," ucapnya.
Meskipun dalam pengamatannya ia menangkap ada warna propaganda yang berujung pada upaya pembunuhan karakter dalam iklan-iklan kampanye calon kepala daerah belakangan ini, namun secara umum lelaki yang juga aktif sebagai tim penyunting sejumlah jurnal kampus ini menilai bahwa para elit politik di daerah ini masih punya moral, aturan, dan kaidah.
"Saat ini saya masih melihat adanya etika itu. Setidak-tidaknya ada keinginan atau good will untuk meletakkan persoalan pada tempat yang semestinya, misalnya masalah jargon. Ketika kita tidak mendudukkan persoalan pada posisi yang sebenarnya, terjadilah propaganda politik. Bisa salah interpretasi, malah bisa menjadi serangan balik. Terutama oleh mereka yang merasa sebagai lawan yang merasa itu tidak menguntungkan mereka," paparnya.
Ia berharap para elit politik masa kini dapat belajar dari pengalaman di masa lalu, yakni peristiwa kerusuhan 23 Mei 1997 atau yang dikenal dengan Tragedi Jum'at Kelabu. Pada dasarnya, ujarnya, pengalaman pahit itu juga berawal dari komunikasi politik yang menyimpang menjadi propaganda politik.
"Saya berharap para kandidiat dapat memberikan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat. Kalau memberi janji jangan yang muluk-muluk. Sebab ini pada gilirannya akan memberikan pencitraan yang negatif kepada kandidiat yang bersangkutan. Saya melihat selama ini kandidat yang mampu memberikan pendidikan politik untuk masyarakat masih sedikit," katanya.
Meski demikian, dalam pandangannya masyarakat Banjarmasin sendiri sebenarnya bukanlah tipe masyarakat yang gampang dipengaruhi, didikte, diarahkan, apalagi digiring dengan propaganda politik karena mereka sudah mengalami pendewasaan. Ia melihat bahwa masyarakat Banjarmasin telah mengalami proses pendewasaan dari pengalaman-pengalaman yang telah lewat sehingga akhirnya mereka menjadi masyarakat yang kritis.
"Di benak mereka sudah terbentuk semacam pemikiran bahwa hal-hal semacam ini sudah biasa dan lumrah terjadi. Kita bisa lihat gejala umum dimana ketika masyarakat didatangi oleh satu tim sukses mereka terima. Nanti tim sukses lain datang, juga diterima. Tapi masalah memberi dukungan nanti saat hari H," ujarnya.
Hal ini, katanya, juga berlaku dalam kampanye yang mengangkat isu agama yang selama ini dianggap sebagai isu yang paling menjual di tengah masyarakat Banjarmasin yang religius. Ini dikarenakan karakter masyarakat Banjarmasin yang secara antropologis tergolong individualis kompetitif.
"Dalam masalah agama masyarakat kita memang memiliki semangat yang tinggi, tapi dalam tataran individu atau pribadi saja, tidak untuk mengajak pada orang lain. Jadi, kalau ada jargon politik yang mengangkat isu keagamaan, sedikit banyak pasti ada pengaruh, tapi tidak akan melahirkan pencitraan politik yang masal. Buktinya kan sekarang kandidiat manapun yang mengadakan pengajian, majelis taklim, atau tablik akbar selalu dipenuhi oleh masyarakat. Isu agama memang bisa menarik perhatian, tapi jangan berharap banyak bahwa hanya dengan satu itu masyarakat bisa didikte atau mampu mengkonsentrasikan pilihan masyarakat hanya karena isu agama karena masih ada faktor lain yang mempengaruhi. Boleh jadi faktor lain itu yang menentukan," bebernya.
Nah, memasuki musim kampanye para calon kepala daerah baik untuk tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, ia pun berharap agar semua kandidat bisa memposisikan diri dalam bingkai komunikasi politik yang ideal, yakni politik yang santun, bermartabat, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan, keberagaman, dan sosia.
"Kepada KPU selaku yang mengomando Pemilukada agar meningkatkan peran aktifnya dan kepada tim sukses agar benar-benar menyukseskan calonnya, bukan tim suksesnya," himbaunya.
BIODATA
Nama : Drs Masdari Msi
Tempat Tanggal Lahir : Martapura, 12 November 1961
Alamat : Jl Bahagia RT 13 No 05 Teluk Tiram Darat Kec Banjarmasin Barat Banjarmasin
Pendidikan : MIN Kelayan Banjarmasin (1974)
PGA NU Kelayan Banjarmasin (1978)
PGAN Mulawarman Banjarmasin (1981)
Fakultas Dakwah IAIN Antasari Banjarmasin (1987)
Magister Ilmu Komunikasi Universitas Dr Soetomo Surabaya (2002)
Pekerjaan : Dosen Fakultas Dakwah IAIN Antasari Banjarmasin (2002-sekarang)
Kepala Stasiun Radio Fakultas Dakwah IAIN Antasari Banjarmasin (2002-2006)
Pembantu Dekan III Fakultas Dakwah IAIN Antasari Banjarmasin (2004-2008)
Ketua Jurusan Teknik Informatika Fakultas Dakwah IAIN Antasari Banjarmasin (2008-sekarang)
Tim Penyunting Sejumlah Jurnal Kampus
Secara real, komunikasi politik yang dilakukan oleh para calon kepala daerah yang kini tengah bersaing memperebutkan kursi nomor satu baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota belum seideal yang diinginkan dalam disiplin Ilmu Komunikasi. Justru ada gejala kampanye yang dilakukan lebih mengarah kepada propaganda politik.
Demikianlah penilaian Drs Masdari M.Si, dosen Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Antasari Banjarmasin. Magister Ilmu Komunkasi jebolan Universitas Dr Soetomo Surabaya yang sehari-harinya juga aktif di Komisi Informasi dan Media Massa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Kalimantan Selatan ini mengatakan bahwa praktek komunikasi politik dan propaganda politik dewasa ini nampak bias, namun sesungguhnya kedua istilah ini memiliki perbedaan yang sangat mendasar.
"Kalau komunikasi politik intinya mengajak publik supaya memberikan support kepada kandidiat dalam rangka melaksankan visi dan misi untuk menggolkan tujuan-tujuan pembangunan. Kalau propaganda politik yang tujuan untuk merealisasikan pembangunan itu nomor dua, yang utama adalah ingin duduk sebagai penguasa," ujarnya.
Menurutnya, komunikasi politik tidak menghendaki aturan main yang sifatnya mencaci, menuding, menyalahkan, apalagi sampai mendiskreditkan.
"Selebaran gelap, friksi-friksi antar tim sukses, atau segala tindakan yang mengarah pada pembohongan publik itu merupakan bentuk propaganda politik. Jika asas komunikasi dipegang teguh, Pemilukada pasti akan berlangsung aman dan damai karena masing-masing pihak dapat menahan dan mengendalikan diri," katanya lagi.
Sebaliknya, jika yang marak adalah propaganda politik, ia menyebut bahwa pesta demokrasi akan menjadi bebas nilai dimana demi meraih atau mempertahankan sebuah kedudukan, para kandidat akan menghalalkan segala cara.
"Nah, kalau yang terjadi adalah propaganda politik, yang sukses sebenarnya bukan kandidatnya, tapi tim suksesnya. Yang jadi korban justru kandidat. Apalagi kalau kandidat sudah seratus persen mendelegasikan wewenang kepada tim sukses masing-masing," ucapnya.
Meskipun dalam pengamatannya ia menangkap ada warna propaganda yang berujung pada upaya pembunuhan karakter dalam iklan-iklan kampanye calon kepala daerah belakangan ini, namun secara umum lelaki yang juga aktif sebagai tim penyunting sejumlah jurnal kampus ini menilai bahwa para elit politik di daerah ini masih punya moral, aturan, dan kaidah.
"Saat ini saya masih melihat adanya etika itu. Setidak-tidaknya ada keinginan atau good will untuk meletakkan persoalan pada tempat yang semestinya, misalnya masalah jargon. Ketika kita tidak mendudukkan persoalan pada posisi yang sebenarnya, terjadilah propaganda politik. Bisa salah interpretasi, malah bisa menjadi serangan balik. Terutama oleh mereka yang merasa sebagai lawan yang merasa itu tidak menguntungkan mereka," paparnya.
Ia berharap para elit politik masa kini dapat belajar dari pengalaman di masa lalu, yakni peristiwa kerusuhan 23 Mei 1997 atau yang dikenal dengan Tragedi Jum'at Kelabu. Pada dasarnya, ujarnya, pengalaman pahit itu juga berawal dari komunikasi politik yang menyimpang menjadi propaganda politik.
"Saya berharap para kandidiat dapat memberikan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat. Kalau memberi janji jangan yang muluk-muluk. Sebab ini pada gilirannya akan memberikan pencitraan yang negatif kepada kandidiat yang bersangkutan. Saya melihat selama ini kandidat yang mampu memberikan pendidikan politik untuk masyarakat masih sedikit," katanya.
Meski demikian, dalam pandangannya masyarakat Banjarmasin sendiri sebenarnya bukanlah tipe masyarakat yang gampang dipengaruhi, didikte, diarahkan, apalagi digiring dengan propaganda politik karena mereka sudah mengalami pendewasaan. Ia melihat bahwa masyarakat Banjarmasin telah mengalami proses pendewasaan dari pengalaman-pengalaman yang telah lewat sehingga akhirnya mereka menjadi masyarakat yang kritis.
"Di benak mereka sudah terbentuk semacam pemikiran bahwa hal-hal semacam ini sudah biasa dan lumrah terjadi. Kita bisa lihat gejala umum dimana ketika masyarakat didatangi oleh satu tim sukses mereka terima. Nanti tim sukses lain datang, juga diterima. Tapi masalah memberi dukungan nanti saat hari H," ujarnya.
Hal ini, katanya, juga berlaku dalam kampanye yang mengangkat isu agama yang selama ini dianggap sebagai isu yang paling menjual di tengah masyarakat Banjarmasin yang religius. Ini dikarenakan karakter masyarakat Banjarmasin yang secara antropologis tergolong individualis kompetitif.
"Dalam masalah agama masyarakat kita memang memiliki semangat yang tinggi, tapi dalam tataran individu atau pribadi saja, tidak untuk mengajak pada orang lain. Jadi, kalau ada jargon politik yang mengangkat isu keagamaan, sedikit banyak pasti ada pengaruh, tapi tidak akan melahirkan pencitraan politik yang masal. Buktinya kan sekarang kandidiat manapun yang mengadakan pengajian, majelis taklim, atau tablik akbar selalu dipenuhi oleh masyarakat. Isu agama memang bisa menarik perhatian, tapi jangan berharap banyak bahwa hanya dengan satu itu masyarakat bisa didikte atau mampu mengkonsentrasikan pilihan masyarakat hanya karena isu agama karena masih ada faktor lain yang mempengaruhi. Boleh jadi faktor lain itu yang menentukan," bebernya.
Nah, memasuki musim kampanye para calon kepala daerah baik untuk tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, ia pun berharap agar semua kandidat bisa memposisikan diri dalam bingkai komunikasi politik yang ideal, yakni politik yang santun, bermartabat, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan, keberagaman, dan sosia.
"Kepada KPU selaku yang mengomando Pemilukada agar meningkatkan peran aktifnya dan kepada tim sukses agar benar-benar menyukseskan calonnya, bukan tim suksesnya," himbaunya.
BIODATA
Nama : Drs Masdari Msi
Tempat Tanggal Lahir : Martapura, 12 November 1961
Alamat : Jl Bahagia RT 13 No 05 Teluk Tiram Darat Kec Banjarmasin Barat Banjarmasin
Pendidikan : MIN Kelayan Banjarmasin (1974)
PGA NU Kelayan Banjarmasin (1978)
PGAN Mulawarman Banjarmasin (1981)
Fakultas Dakwah IAIN Antasari Banjarmasin (1987)
Magister Ilmu Komunikasi Universitas Dr Soetomo Surabaya (2002)
Pekerjaan : Dosen Fakultas Dakwah IAIN Antasari Banjarmasin (2002-sekarang)
Kepala Stasiun Radio Fakultas Dakwah IAIN Antasari Banjarmasin (2002-2006)
Pembantu Dekan III Fakultas Dakwah IAIN Antasari Banjarmasin (2004-2008)
Ketua Jurusan Teknik Informatika Fakultas Dakwah IAIN Antasari Banjarmasin (2008-sekarang)
Tim Penyunting Sejumlah Jurnal Kampus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar