PLN Terapkan Klasifikasi
BANJARMASIN – Kekhawatiran akan naiknya tarif Pajak Penerangan Jalan (PPJ) pasca diberlakukannya Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk memungut dan menetapkan tarif sejumlah item pajak dan retribusi tidak terbukti.
Meski dalam UU tersebut tarif PPJ ditetapkan paling tinggi sebesar 10 persen, namun dalam draft Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang PPJ yang kini tengah digodok, Pemerintah Kota Banjarmasin mengambil kebijakan untuk menerapkan tarif dengan sistem klasifikasi dari yang terendah 1,5 persen untuk home industry, 3 persen untuk industri, 5-6 persen untuk sosial, 5-8 persen untuk rumah tangga, dan 8 persen untuk bisnis. Sebelumnya, tarif PPJ berlaku flat atau sama untuk seluruh kalangan, yakni sebesar 6 persen dari rekening listrik yang dibayar oleh masyarakat setiap bulannya. Artinya, terjadi penurunan tarif untuk industri, sosial, dan sebagian rumah tangga.
“Dengan adanya Perda PPJ yang baru ini, ada perubahan tarif dimana ada klasifikasi sesuai dengan aturan yang ada di PLN. Yang paling tinggi sebesar 8 persen adalah bisnis, tapi kalau industri hanya dikenakan tiga persen karena kalau kita kenakan yang tinggi akan berdampak pada proses produksi sehingga akan merugikan masyarakat karena harga barang-barang akan naik,” terang Ketua Panitia Khusus (Pansus) Raperda PPJ Bambang Yanto Permono SE.
Bambang mengatakan bahwa dengan sistem klasifikasi ini tentu akan sangat menguntungkan bagi masyarakat kelas menengah ke bawah.
“Waktu kita ekspos ke Kementerian Keuangan, katanya yang menggunakan sistem tarif sesuai dengan aturan PLN ini di Indonesia baru Banjarmasin saja, di tempat lain belum ada,” tuturnya.
Namun, di sisi lain ia juga berharap agar kebijakan tersebut tidak akan mengancam Pendapatan Asli Daerah (PAD) karena PAD ini nantinya juga akan dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk pembangunan infrastruktur penerangan jalan umum (PJU) yang saat ini masih minim serta pemeliharaannya.
“Kemungkinan PAD menurun mudah-mudahan tidak. Tapi yang lebih penting dengan kebijakan ini yang diuntungkan adalah masyarakat kelas menengah ke bawah,” ujarnya.
Hal senada juga dikemukakan oleh Kepala Dinas Pendapatan (Dispenda) Kota Banjarmasin H Muhyar SH. Ia mengharapkan agar klasifikasi tarif tidak berdampak negatif terhadap PAD.
“PJU ini yang berat biaya pembangunannya, kalau bayar rekeningnya kita masih sanggup. Sekarang kan pembangunan PJU masih diutamakan di jalan-jalan utama, belum masuk ke kampung-kampung,” katanya.
Selama ini, antara penerimaan dari PPJ dengan pengeluaran yang harus dilakukan baik untuk membayar tagihan rekening PJU, pemeliharaan, dan pembangungan infrastruktur PJU yang baru tidak seimbang.
Muhyar mengungkapkan bahwa dengan tarif flat 6 persen, pendapatan dari PPJ pertahun rata-rata sekitar Rp 15 miliar, sedangkan pengeluarannya sekitar Rp 800 juta sampai Rp 900 juta perbulan hanya untuk membayar rekeningnya saja dan belum termasuk untuk biaya pemeliharaan dan pembangunan.
“Kemarin kita sudah melakukan simulasi dengan PLN. Mudah-mudahan minimal bisa tetap, jangan sampai turun. Justru mudah-mudahan bisa naik karena PJU itu hak masyarakat karena mereka sudah bayar pajak,” ujarnya.
BANJARMASIN – Kekhawatiran akan naiknya tarif Pajak Penerangan Jalan (PPJ) pasca diberlakukannya Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk memungut dan menetapkan tarif sejumlah item pajak dan retribusi tidak terbukti.
Meski dalam UU tersebut tarif PPJ ditetapkan paling tinggi sebesar 10 persen, namun dalam draft Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang PPJ yang kini tengah digodok, Pemerintah Kota Banjarmasin mengambil kebijakan untuk menerapkan tarif dengan sistem klasifikasi dari yang terendah 1,5 persen untuk home industry, 3 persen untuk industri, 5-6 persen untuk sosial, 5-8 persen untuk rumah tangga, dan 8 persen untuk bisnis. Sebelumnya, tarif PPJ berlaku flat atau sama untuk seluruh kalangan, yakni sebesar 6 persen dari rekening listrik yang dibayar oleh masyarakat setiap bulannya. Artinya, terjadi penurunan tarif untuk industri, sosial, dan sebagian rumah tangga.
“Dengan adanya Perda PPJ yang baru ini, ada perubahan tarif dimana ada klasifikasi sesuai dengan aturan yang ada di PLN. Yang paling tinggi sebesar 8 persen adalah bisnis, tapi kalau industri hanya dikenakan tiga persen karena kalau kita kenakan yang tinggi akan berdampak pada proses produksi sehingga akan merugikan masyarakat karena harga barang-barang akan naik,” terang Ketua Panitia Khusus (Pansus) Raperda PPJ Bambang Yanto Permono SE.
Bambang mengatakan bahwa dengan sistem klasifikasi ini tentu akan sangat menguntungkan bagi masyarakat kelas menengah ke bawah.
“Waktu kita ekspos ke Kementerian Keuangan, katanya yang menggunakan sistem tarif sesuai dengan aturan PLN ini di Indonesia baru Banjarmasin saja, di tempat lain belum ada,” tuturnya.
Namun, di sisi lain ia juga berharap agar kebijakan tersebut tidak akan mengancam Pendapatan Asli Daerah (PAD) karena PAD ini nantinya juga akan dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk pembangunan infrastruktur penerangan jalan umum (PJU) yang saat ini masih minim serta pemeliharaannya.
“Kemungkinan PAD menurun mudah-mudahan tidak. Tapi yang lebih penting dengan kebijakan ini yang diuntungkan adalah masyarakat kelas menengah ke bawah,” ujarnya.
Hal senada juga dikemukakan oleh Kepala Dinas Pendapatan (Dispenda) Kota Banjarmasin H Muhyar SH. Ia mengharapkan agar klasifikasi tarif tidak berdampak negatif terhadap PAD.
“PJU ini yang berat biaya pembangunannya, kalau bayar rekeningnya kita masih sanggup. Sekarang kan pembangunan PJU masih diutamakan di jalan-jalan utama, belum masuk ke kampung-kampung,” katanya.
Selama ini, antara penerimaan dari PPJ dengan pengeluaran yang harus dilakukan baik untuk membayar tagihan rekening PJU, pemeliharaan, dan pembangungan infrastruktur PJU yang baru tidak seimbang.
Muhyar mengungkapkan bahwa dengan tarif flat 6 persen, pendapatan dari PPJ pertahun rata-rata sekitar Rp 15 miliar, sedangkan pengeluarannya sekitar Rp 800 juta sampai Rp 900 juta perbulan hanya untuk membayar rekeningnya saja dan belum termasuk untuk biaya pemeliharaan dan pembangunan.
“Kemarin kita sudah melakukan simulasi dengan PLN. Mudah-mudahan minimal bisa tetap, jangan sampai turun. Justru mudah-mudahan bisa naik karena PJU itu hak masyarakat karena mereka sudah bayar pajak,” ujarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar