BANJARMASIN – Pengusaha sarang burung walet bakal ditempel ketat ke depannya guna memaksimalkan pemungutan pajak sarang burung walet yang akan mulai diberlakukan pada awal tahun depan.
Ketua Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Pajak Sarang Burung Walet Aliansyah, kemarin (25/6) mengatakan bahwa ketidakterbukaan pengusaha memang akan menjadi kendala terbesar dalam penerapan pajak tersebut nantinya. Hal ini, ujarnya, juga terjadi di daerah-daerah lain.
Oleh sebab itu, pihaknya telah memikirkan sejumlah ancang-ancang, di antaranya dengan menerjunkan personel Satpol PP untuk ikut melakukan pengawasan.
“Kita akan minta Satpol PP untuk mengawasi saat mereka panen sehingga tahu berapa kilo yang dihasilkan,” ujarnya.
Sedangkan untuk mengetahui jadwal panen, jelasnya, menjadi tugas Dinas Pertanian dan Peternakan untuk berkoordinasi dan melakukan pendekatan dengan para pengusaha serta secara aktif melakukan pemantauan. Misalnya, dengan menggelar pertemuan rutin setiap beberapa bulan sekali.
Selain itu, ia menambahkan bahwa peran serta masyarakat juga akan dilibatkan untuk mengontrol usaha sarang burung walet yang ada di lingkungannya. Sebagai kompensasi, maka dari hasil penjualan sarang burung walet wajib disisihkan untuk bantuan sosial bagi masyarakat di sekitar usaha sarang burung walet itu berada.
Sementara itu, anggota Pansus Pajak Sarang Burung Walet Suyato SE MM menambahkan, usaha sarang burung walet memang tidak hanya menggiurkan dari sisi keuntungan, tapi juga merupakan objek pajak yang sangat potensial.
Selama ini, pemungutan retribusi usaha sarang burung walet hanya dihitung berdasarkan luas bangunan. Sedangkan berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), pajak sarang burung walet ditetapkan paling tinggi 10 persen dari nilai jual.
Diterangkannya, untuk sarang burung walet jenis perumahan (kota) yang banyak dibudidayakan di Banjarmasin, nilai jualnya bisa mencapai Rp 12 juta sampai Rp 15 juta per kilogram untuk kualitas yang paling bagus.
“Potensi pajak sarang burung walet di Kota Banjarmasin bisa mencapai Rp 500 juta sampai Rp 600 juta,” katanya.
Untuk mengoptimalkan pemungutannya, maka ia menilai anggaran untuk monitoring harus diperbesar.
“Kita bisa memberikan kepercayaan kepada pengusaha untuk membayar pajak asalkan dengan nilai yang masuk akal. Tapi kita juga jangan mau hanya termakan omongan saja. Makanya, dalam anggaran nanti alokasi untuk monitoring harus diperbesar karena setiap bulan harus dicek, jangan sampai terkecoh,” tandasnya.
Ketua Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Pajak Sarang Burung Walet Aliansyah, kemarin (25/6) mengatakan bahwa ketidakterbukaan pengusaha memang akan menjadi kendala terbesar dalam penerapan pajak tersebut nantinya. Hal ini, ujarnya, juga terjadi di daerah-daerah lain.
Oleh sebab itu, pihaknya telah memikirkan sejumlah ancang-ancang, di antaranya dengan menerjunkan personel Satpol PP untuk ikut melakukan pengawasan.
“Kita akan minta Satpol PP untuk mengawasi saat mereka panen sehingga tahu berapa kilo yang dihasilkan,” ujarnya.
Sedangkan untuk mengetahui jadwal panen, jelasnya, menjadi tugas Dinas Pertanian dan Peternakan untuk berkoordinasi dan melakukan pendekatan dengan para pengusaha serta secara aktif melakukan pemantauan. Misalnya, dengan menggelar pertemuan rutin setiap beberapa bulan sekali.
Selain itu, ia menambahkan bahwa peran serta masyarakat juga akan dilibatkan untuk mengontrol usaha sarang burung walet yang ada di lingkungannya. Sebagai kompensasi, maka dari hasil penjualan sarang burung walet wajib disisihkan untuk bantuan sosial bagi masyarakat di sekitar usaha sarang burung walet itu berada.
Sementara itu, anggota Pansus Pajak Sarang Burung Walet Suyato SE MM menambahkan, usaha sarang burung walet memang tidak hanya menggiurkan dari sisi keuntungan, tapi juga merupakan objek pajak yang sangat potensial.
Selama ini, pemungutan retribusi usaha sarang burung walet hanya dihitung berdasarkan luas bangunan. Sedangkan berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), pajak sarang burung walet ditetapkan paling tinggi 10 persen dari nilai jual.
Diterangkannya, untuk sarang burung walet jenis perumahan (kota) yang banyak dibudidayakan di Banjarmasin, nilai jualnya bisa mencapai Rp 12 juta sampai Rp 15 juta per kilogram untuk kualitas yang paling bagus.
“Potensi pajak sarang burung walet di Kota Banjarmasin bisa mencapai Rp 500 juta sampai Rp 600 juta,” katanya.
Untuk mengoptimalkan pemungutannya, maka ia menilai anggaran untuk monitoring harus diperbesar.
“Kita bisa memberikan kepercayaan kepada pengusaha untuk membayar pajak asalkan dengan nilai yang masuk akal. Tapi kita juga jangan mau hanya termakan omongan saja. Makanya, dalam anggaran nanti alokasi untuk monitoring harus diperbesar karena setiap bulan harus dicek, jangan sampai terkecoh,” tandasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar