Setelah Palu, perjalanan Pansus Raperda Pengelolaan PJU DPRD Kota Banjarmasin berlanjut ke Surabaya dan Pasuruan, Jawa Timur. Di kedua wilayah ini, PJU juga menjadi persoalan. Tapi, pemda setempat punya trik jitu. Apa itu?
Memasuki hari ke-3, Jumat (23/7), rombongan terpencar. Sebagian ke Surabaya, sebagian lagi ke Pasuruan. Hasil sharing dengan kedua pemda nampaknya banyak memberi pencerahan. Di Surabaya misalnya, untuk memeratakan PJU hingga ke jalan-jalan lingkungan, pemda setempat bekerja sama dengan warga kelas menengah ke atas untuk membangun fasilitas PJU. Selanjutnya, pembayaran rekening menjadi tanggung jawab Pemkot Surabaya. Hal ini dilakukan mengingat keterbatasan kemampuan daerah untuk memenuhi daftar tunggu pemasangan PJU yang begitu panjang.
“Kami gencar memasang PJU sejak 2003, sampai sekarang ada 35 ribu titik PJU di luar pelimpahan pengembang dan partisipasi warga. Sekarang kami mulai mencoba masuk ke gang-gang,” ujar Sekretaris Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya, Heru.
Di sisi lain, pemeliharaan PJU tidak diserahkan kepada pihak ketiga. Pemkot Surabaya membuka posko khusus untuk melayani laporan masyarakat soal PJU yang mati sehingga dapat segera tertangani.
Sedangkan di Pasuruan, pemda setempat tengah bersemangat melakukan meterisasi PJU. Hasilnya, terjadi penghematan anggaran untuk membayar rekening PJU kepada PLN dari Rp 1,9 miliar per bulan menjadi Rp 800 juta per bulan atau berkurang 50 persen.
Ketua Pansus Raperda Pengelolaan PJU, Arufah mengatakan bahwa semua hasil studi banding ini nantinya akan dibawa ke dalam rapat pansus untuk dibahas lebih lanjut apa saja yang dapat diakomodir untuk diterapkan di Banjarmasin.
“Apa-apa yang sudah diterapkan di sana bisa kita akomodir untuk memperkaya perda Pengelolaan PJU di Banjarmasin. Ada beberapa item sebagai bahan pembahasan di pansus PJU nanti, mungkin kita perlu tiga kali pembahasan lagi sebelum finalisasi,” ujarnya sesaat setelah tiba kembali di Banjarmasin, Minggu (25/7).
Meski demikian, dari pengamatan penulis, kunjungan kerja pansus ini dapat dikatakan tidak efektif, bahkan terkesan hanya sebagai formalitas. Waktu yang panjang lebih banyak habis untuk perjalanan dan bersantai, plus shopping di akhir pekan. Sedangkan kunjungan kerjanya sendiri yang seharusnya menjadi agenda utama, justru mendapat porsi paling kecil dimana setiap pertemuan rata-rata hanya berlangsung selama dua jam.
Ditambah lagi, banyak anggota pansus yang tidak memanfaatkan waktu pertemuan dengan baik untuk menggali informasi soal raperda yang sedang mereka tangani. Hanya segelintir yang terlihat antusias untuk bertanya. Yang lainnya mencatat saja malas dan hanya duduk-duduk sambil memasang wajah bosan, mengobrol, atau mengutak-atik handphone. Bahkan, saat kunjungan ke Surabaya dan Pasuruan, terdapat beberapa anggota pansus yang mangkir.
Tingkah polah mereka ini tentu sangat disayangkan mengingat perjalanan mereka menyedot anggaran yang tidak sedikit dan dibiayai sepenuhnya dengan uang rakyat. Sekadar diketahui, untuk uang transportasi, akomodasi, uang saku, dan tetek bengek lainnya, satu orang anggota Pansus Raperda Pengelolaan PJU menerima sekitar Rp 10 juta. Belum lagi untuk staf. Dan jika ditambah dengan pernak-pernik pembuatan perda lainnya seperti konsultasi publik dan sebagainya, bisa dibayangkan betapa mahalnya harga sebuah perda! Pertanyaannya, dimana konsistensi para anggota dewan yang terhormat ini saat bicara soal penghematan anggaran yang harus dilakukan pemerintah?
Semoga saja hal ini menjadi pemikiran untuk perbaikan ke depannya.
Memasuki hari ke-3, Jumat (23/7), rombongan terpencar. Sebagian ke Surabaya, sebagian lagi ke Pasuruan. Hasil sharing dengan kedua pemda nampaknya banyak memberi pencerahan. Di Surabaya misalnya, untuk memeratakan PJU hingga ke jalan-jalan lingkungan, pemda setempat bekerja sama dengan warga kelas menengah ke atas untuk membangun fasilitas PJU. Selanjutnya, pembayaran rekening menjadi tanggung jawab Pemkot Surabaya. Hal ini dilakukan mengingat keterbatasan kemampuan daerah untuk memenuhi daftar tunggu pemasangan PJU yang begitu panjang.
“Kami gencar memasang PJU sejak 2003, sampai sekarang ada 35 ribu titik PJU di luar pelimpahan pengembang dan partisipasi warga. Sekarang kami mulai mencoba masuk ke gang-gang,” ujar Sekretaris Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya, Heru.
Di sisi lain, pemeliharaan PJU tidak diserahkan kepada pihak ketiga. Pemkot Surabaya membuka posko khusus untuk melayani laporan masyarakat soal PJU yang mati sehingga dapat segera tertangani.
Sedangkan di Pasuruan, pemda setempat tengah bersemangat melakukan meterisasi PJU. Hasilnya, terjadi penghematan anggaran untuk membayar rekening PJU kepada PLN dari Rp 1,9 miliar per bulan menjadi Rp 800 juta per bulan atau berkurang 50 persen.
Ketua Pansus Raperda Pengelolaan PJU, Arufah mengatakan bahwa semua hasil studi banding ini nantinya akan dibawa ke dalam rapat pansus untuk dibahas lebih lanjut apa saja yang dapat diakomodir untuk diterapkan di Banjarmasin.
“Apa-apa yang sudah diterapkan di sana bisa kita akomodir untuk memperkaya perda Pengelolaan PJU di Banjarmasin. Ada beberapa item sebagai bahan pembahasan di pansus PJU nanti, mungkin kita perlu tiga kali pembahasan lagi sebelum finalisasi,” ujarnya sesaat setelah tiba kembali di Banjarmasin, Minggu (25/7).
Meski demikian, dari pengamatan penulis, kunjungan kerja pansus ini dapat dikatakan tidak efektif, bahkan terkesan hanya sebagai formalitas. Waktu yang panjang lebih banyak habis untuk perjalanan dan bersantai, plus shopping di akhir pekan. Sedangkan kunjungan kerjanya sendiri yang seharusnya menjadi agenda utama, justru mendapat porsi paling kecil dimana setiap pertemuan rata-rata hanya berlangsung selama dua jam.
Ditambah lagi, banyak anggota pansus yang tidak memanfaatkan waktu pertemuan dengan baik untuk menggali informasi soal raperda yang sedang mereka tangani. Hanya segelintir yang terlihat antusias untuk bertanya. Yang lainnya mencatat saja malas dan hanya duduk-duduk sambil memasang wajah bosan, mengobrol, atau mengutak-atik handphone. Bahkan, saat kunjungan ke Surabaya dan Pasuruan, terdapat beberapa anggota pansus yang mangkir.
Tingkah polah mereka ini tentu sangat disayangkan mengingat perjalanan mereka menyedot anggaran yang tidak sedikit dan dibiayai sepenuhnya dengan uang rakyat. Sekadar diketahui, untuk uang transportasi, akomodasi, uang saku, dan tetek bengek lainnya, satu orang anggota Pansus Raperda Pengelolaan PJU menerima sekitar Rp 10 juta. Belum lagi untuk staf. Dan jika ditambah dengan pernak-pernik pembuatan perda lainnya seperti konsultasi publik dan sebagainya, bisa dibayangkan betapa mahalnya harga sebuah perda! Pertanyaannya, dimana konsistensi para anggota dewan yang terhormat ini saat bicara soal penghematan anggaran yang harus dilakukan pemerintah?
Semoga saja hal ini menjadi pemikiran untuk perbaikan ke depannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar