Akibat Program KIA Tidak Optimal
BANJARMASIN – Minimnya anggaran untuk pembangunan kesehatan membuat program kesehatan ibu dan anak (KIA) tidak bisa berjalan dengan baik. Hal inilah yang menjadi salah satu biang naiknya angka kematian bayi di Banjarmasin.
Jika pada tahun 2009 jumlah kematian bayi ada 48 kasus, maka sampai dengan bulan Oktober 2010 ini saja, angka kematian bayi sudah mencapai 73 kasus, 26 meninggal saat dilahirkan dan 47 meninggal karena berbagai sebab dengan rincian 26 akibat asfiksia (tidak dapat bernapas secara spontan dan teratur) dan 21 akibat berat bayi lahir rendah (BBLR). Kedua kelainan ini erat kaitannya dengan kondisi kesehatan ibu.
“Jadi, kita melihatnya tidak hanya kenapa bayinya meninggal, tapi juga bagaimana ibu selama proses kehamilan,” ujar Kepala Dinas Kesehatan Kota Banjarmasin, drg Diah R Praswati dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPRD Kota Banjarmasin kemarin.
Dijelaskannya, dari calon pengantin, kesehatan calon ibu sudah dimonitor dengan adanya program imunisasi tetanus. Begitu hamil, ada pemeriksaan ibu hamil dengan nama kegiatan K1-K4. Ketika melahirkan pun ada indikatornya, apakah dibantu tenaga kesehatan atau lainnya. Kemudian setelah melahirkan, ada kunjungan bidan ke rumah ibu yang bersangkutan yang disebut junjungan neonatus.
“Nah, program KIA itu tidak bisa dilaksanakan dengan baik oleh teman-teman di puskesmas karena kembali pada anggaran,” imbuhnya.
Untuk kegiatan di luar gedung, lanjutnya, otomatis memerlukan dana, baik untuk transportasi, peralatan, dan sebagainya. Sementara untuk pelayanan di dalam gedung saja, baik fasilitas dan pelayanan belum bisa optimal, apalagi yang portabel untuk dibawa keluar.
“Untuk imunisasi semua difasilitasi oleh pusat. Namun, kegiatan APBD yang sekarang hanya untuk memfasilitasi yang rutin-rutin saja seperti pembelian obat, bayar listrik, makan minum rapat, sedangkan untuk kegiatan yang bersifat inovasi atau mengawal program pemerintah pusat terkendala dana,” tukasnya.
Akibat tidak ada dana untuk melakukan kegiatan di luar gedung, termasuk penyuluhan, maka pihanya tidak bisa maksimal dalam memberikan pemahaman dan mengubah perilaku masyarakat. Apalagi, realiasi program keluarga sadar gizi juga masih jauh dari target.
“Ketika ada program yang terabaikan, pasti berdampak pada program yang lain. Makanya perlu pembiayaan besar untuk mengawal pembangunan kesehatan,” ucapnya.
Di samping angka kematian bayi yang naik tajam, angka kematian ibu melahirkan (maternal) pun masih mengkhawatirkan dimana sejak tahun 2007 jumlahnya terus meningkat. Jika pada tahun 2009 jumlahnya mencapai 18 kasus, maka sampai bulan Oktober 2010 sudah tercatat 12 kasus. Mereka umumnya berasal dari keluarga kurang mampu sehingga saat melahirkan tidak dibantu oleh tenaga kesehatan yang profesional, melainkan hanya menggunakan jasa dukun beranak.
Jumlah Kematian Bayi
Tahun Jumlah
2009 48
2008 4
2007 15
2006 53
2005 23
2004 18
2003 12
Jumlah Kematian Ibu Maternal
Tahun Jumlah
2009 18
2008 6
2007 4
2006 2
2005 5
2004 9
2003 9
Sumber : Dinkes Kota Banjarmasin
BANJARMASIN – Minimnya anggaran untuk pembangunan kesehatan membuat program kesehatan ibu dan anak (KIA) tidak bisa berjalan dengan baik. Hal inilah yang menjadi salah satu biang naiknya angka kematian bayi di Banjarmasin.
Jika pada tahun 2009 jumlah kematian bayi ada 48 kasus, maka sampai dengan bulan Oktober 2010 ini saja, angka kematian bayi sudah mencapai 73 kasus, 26 meninggal saat dilahirkan dan 47 meninggal karena berbagai sebab dengan rincian 26 akibat asfiksia (tidak dapat bernapas secara spontan dan teratur) dan 21 akibat berat bayi lahir rendah (BBLR). Kedua kelainan ini erat kaitannya dengan kondisi kesehatan ibu.
“Jadi, kita melihatnya tidak hanya kenapa bayinya meninggal, tapi juga bagaimana ibu selama proses kehamilan,” ujar Kepala Dinas Kesehatan Kota Banjarmasin, drg Diah R Praswati dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPRD Kota Banjarmasin kemarin.
Dijelaskannya, dari calon pengantin, kesehatan calon ibu sudah dimonitor dengan adanya program imunisasi tetanus. Begitu hamil, ada pemeriksaan ibu hamil dengan nama kegiatan K1-K4. Ketika melahirkan pun ada indikatornya, apakah dibantu tenaga kesehatan atau lainnya. Kemudian setelah melahirkan, ada kunjungan bidan ke rumah ibu yang bersangkutan yang disebut junjungan neonatus.
“Nah, program KIA itu tidak bisa dilaksanakan dengan baik oleh teman-teman di puskesmas karena kembali pada anggaran,” imbuhnya.
Untuk kegiatan di luar gedung, lanjutnya, otomatis memerlukan dana, baik untuk transportasi, peralatan, dan sebagainya. Sementara untuk pelayanan di dalam gedung saja, baik fasilitas dan pelayanan belum bisa optimal, apalagi yang portabel untuk dibawa keluar.
“Untuk imunisasi semua difasilitasi oleh pusat. Namun, kegiatan APBD yang sekarang hanya untuk memfasilitasi yang rutin-rutin saja seperti pembelian obat, bayar listrik, makan minum rapat, sedangkan untuk kegiatan yang bersifat inovasi atau mengawal program pemerintah pusat terkendala dana,” tukasnya.
Akibat tidak ada dana untuk melakukan kegiatan di luar gedung, termasuk penyuluhan, maka pihanya tidak bisa maksimal dalam memberikan pemahaman dan mengubah perilaku masyarakat. Apalagi, realiasi program keluarga sadar gizi juga masih jauh dari target.
“Ketika ada program yang terabaikan, pasti berdampak pada program yang lain. Makanya perlu pembiayaan besar untuk mengawal pembangunan kesehatan,” ucapnya.
Di samping angka kematian bayi yang naik tajam, angka kematian ibu melahirkan (maternal) pun masih mengkhawatirkan dimana sejak tahun 2007 jumlahnya terus meningkat. Jika pada tahun 2009 jumlahnya mencapai 18 kasus, maka sampai bulan Oktober 2010 sudah tercatat 12 kasus. Mereka umumnya berasal dari keluarga kurang mampu sehingga saat melahirkan tidak dibantu oleh tenaga kesehatan yang profesional, melainkan hanya menggunakan jasa dukun beranak.
Jumlah Kematian Bayi
Tahun Jumlah
2009 48
2008 4
2007 15
2006 53
2005 23
2004 18
2003 12
Jumlah Kematian Ibu Maternal
Tahun Jumlah
2009 18
2008 6
2007 4
2006 2
2005 5
2004 9
2003 9
Sumber : Dinkes Kota Banjarmasin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar