Beberapa orang siswa terlihat tengah asyik bercakap-cakap di koridor. Sesekali tawa kecil menyelingi obrolan mereka. Tapi entah apa topik yang sedang dibicarakan, karena sedari tadi tidak terdengar sepatah pun kalimat dilontarkan. Hanya tangan mereka yang bergerak-gerak untuk merangkaikan kata-kata yang tak mampu terucap.
NAZAT FITRIAH, Banjarmasin
Inilah salah satu pemandangan menarik di lingkungan Sekolah Luar Biasa (SLB) Dharma Wanita. Bagi orang awam, tentu saja. Tapi bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang sekolah di sana, begitulah komunikasi yang mereka lakukan sehari-harinya.
Sejatinya, tidak ada perbedaan antara anak-anak ini dengan anak-anak normal lainnya. Hanya saja dengan kekurangan yang ada, mereka tak bisa menjalani hidup dengan cara yang sama. Makanya, sekolah untuk mereka pun dirancang khusus yang tujuannya untuk menyiapkan mereka supaya kelak bisa mandiri dan tidak menjadi beban kepada siapapun.
“Pendidikan yang reguler untuk anak-anak yang normal itu kan filosofinya mencerdaskan kehidupan bangsa. Orang tua yang menyekolahkan anaknya menuntut agar anaknya dididik menjadi anak yang cerdas. Dengan kecerdasan itu, si anak bisa berbuat sesuatu, bisa bekerja, bisa berkarya dan sebagainya. Tapi untuk pendidikan anak berkebutuhan khusus atau cacat, filosofinya adalah perikemanusiaan. Maksudnya apa? Anak kita lahirkan, kita besarkan, dan kita didik. Meskipun anak mengalami ketunaan, juga diberikan pendidikan terbatas pada kemampuan yang dimiliki anak itu. Makanya filosofinya adalah perikemanusiaan, memanusiakan manusia. Intinya itu,” tutur Kepala SMALB Dharma Wanita, Subagya SPd MPd.
Nah, jika sekolah reguler umumnya hanya menjejali anak dengan teori, maka SLB lebih kepada mengarahkan anak untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya agar dapat menjadi bekalnya terjun ke masyarakat.
“Untuk di SLB khususnya SMA, setelah anak menyelesaikan pendidikannya, diharapkan anak itu memiliki kemandirian sehingga dia tidak ketergantungan kepada orang lain, minimal berguna untuk dirinya sendiri. Orang tua kan tidak selamanya hidup. Mungkin sementara ini perhatian orang tua dapat dikatakan penuh, tapi seandainya orang tua mereka tidak ada, apakah saudara-saudaranya akan memberikan perhatian yang sama? Oleh sebab itu, kami berusaha menyiapkan mereka ini agar mempunyai kemampuan untuk mandiri. Itulah tujuan akhirnya,” paparnya.
Pada dasarnya, kurikulum SLB tidak berbeda dengan sekolah umum. Siswa-siswi SLB juga mengikuti ujian nasional agar dapat lulus. Akan tetapi, di bangku SMA, materi pelajaran yang diberikan hanya berfungsi sebagai penjembatan untuk menunjang penguasaan life skill (keterampilan). Itulah sebabnya, setiap bidang studi hanya diajarkan rata-rata dua jam per minggu, selebihnya pelajaran keterampilan. Perbandingannya 58 persen keterampilan, 42 persen teori.
“Kalau berbicara materi pembelajaran, sama saja. Ada Pendidikan Agama, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, IPA, IPS, kurikulumnya sama. Ujian nasional juga sama. Hanya saja sebetulnya sains itu merupakan suatu penjembatan untuk menunjang life skill-nya. Misalnya komputer, berarti yang dibutuhkan bahasa Inggris karena komputer sebagian besar menggunakan istilah bahasa asing. Lalu matematika, kenapa mereka diajari menghitung, membagi, mengali dan sebagainya? Kalau nanti dia terjun ke otomotif, pasti tidak luput dari perhitungan-perhitungan,” terangnya.
Sejumlah keterampilan yang diajarkan antara lain komputer, otomotif, sablon, elektronik, dan bata press untuk anak laki-laki, sedangkan untuk anak perempuan ada menjahit, membordir, menyulam, tata kecantikan, tata boga, dan membuat pernak-pernik dari bahan daur ulang.
“Setiap anak tidak harus diajarkan semua, tapi guru harus bisa mendekteksi awal potensi anak ini kemana sih. Kalau condongnya ke komputer ya komputer, kalau otomotif dia diarahkan ke otomotif. Jadi, tidak bisa dicampur aduk,” imbuhnya. (bersambung)
NAZAT FITRIAH, Banjarmasin
Inilah salah satu pemandangan menarik di lingkungan Sekolah Luar Biasa (SLB) Dharma Wanita. Bagi orang awam, tentu saja. Tapi bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang sekolah di sana, begitulah komunikasi yang mereka lakukan sehari-harinya.
Sejatinya, tidak ada perbedaan antara anak-anak ini dengan anak-anak normal lainnya. Hanya saja dengan kekurangan yang ada, mereka tak bisa menjalani hidup dengan cara yang sama. Makanya, sekolah untuk mereka pun dirancang khusus yang tujuannya untuk menyiapkan mereka supaya kelak bisa mandiri dan tidak menjadi beban kepada siapapun.
“Pendidikan yang reguler untuk anak-anak yang normal itu kan filosofinya mencerdaskan kehidupan bangsa. Orang tua yang menyekolahkan anaknya menuntut agar anaknya dididik menjadi anak yang cerdas. Dengan kecerdasan itu, si anak bisa berbuat sesuatu, bisa bekerja, bisa berkarya dan sebagainya. Tapi untuk pendidikan anak berkebutuhan khusus atau cacat, filosofinya adalah perikemanusiaan. Maksudnya apa? Anak kita lahirkan, kita besarkan, dan kita didik. Meskipun anak mengalami ketunaan, juga diberikan pendidikan terbatas pada kemampuan yang dimiliki anak itu. Makanya filosofinya adalah perikemanusiaan, memanusiakan manusia. Intinya itu,” tutur Kepala SMALB Dharma Wanita, Subagya SPd MPd.
Nah, jika sekolah reguler umumnya hanya menjejali anak dengan teori, maka SLB lebih kepada mengarahkan anak untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya agar dapat menjadi bekalnya terjun ke masyarakat.
“Untuk di SLB khususnya SMA, setelah anak menyelesaikan pendidikannya, diharapkan anak itu memiliki kemandirian sehingga dia tidak ketergantungan kepada orang lain, minimal berguna untuk dirinya sendiri. Orang tua kan tidak selamanya hidup. Mungkin sementara ini perhatian orang tua dapat dikatakan penuh, tapi seandainya orang tua mereka tidak ada, apakah saudara-saudaranya akan memberikan perhatian yang sama? Oleh sebab itu, kami berusaha menyiapkan mereka ini agar mempunyai kemampuan untuk mandiri. Itulah tujuan akhirnya,” paparnya.
Pada dasarnya, kurikulum SLB tidak berbeda dengan sekolah umum. Siswa-siswi SLB juga mengikuti ujian nasional agar dapat lulus. Akan tetapi, di bangku SMA, materi pelajaran yang diberikan hanya berfungsi sebagai penjembatan untuk menunjang penguasaan life skill (keterampilan). Itulah sebabnya, setiap bidang studi hanya diajarkan rata-rata dua jam per minggu, selebihnya pelajaran keterampilan. Perbandingannya 58 persen keterampilan, 42 persen teori.
“Kalau berbicara materi pembelajaran, sama saja. Ada Pendidikan Agama, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, IPA, IPS, kurikulumnya sama. Ujian nasional juga sama. Hanya saja sebetulnya sains itu merupakan suatu penjembatan untuk menunjang life skill-nya. Misalnya komputer, berarti yang dibutuhkan bahasa Inggris karena komputer sebagian besar menggunakan istilah bahasa asing. Lalu matematika, kenapa mereka diajari menghitung, membagi, mengali dan sebagainya? Kalau nanti dia terjun ke otomotif, pasti tidak luput dari perhitungan-perhitungan,” terangnya.
Sejumlah keterampilan yang diajarkan antara lain komputer, otomotif, sablon, elektronik, dan bata press untuk anak laki-laki, sedangkan untuk anak perempuan ada menjahit, membordir, menyulam, tata kecantikan, tata boga, dan membuat pernak-pernik dari bahan daur ulang.
“Setiap anak tidak harus diajarkan semua, tapi guru harus bisa mendekteksi awal potensi anak ini kemana sih. Kalau condongnya ke komputer ya komputer, kalau otomotif dia diarahkan ke otomotif. Jadi, tidak bisa dicampur aduk,” imbuhnya. (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar