Mengajar anak-anak berkebutuhan khusus susah-susah gampang. Mood-nya bisa berubah mengikuti perubahan cuaca. Jika langit mulai mendung, mereka akan merengek-rengek ingin pulang.
NAZAT FITRIAH, Banjarmasin
”Kalau cuaca gelap mau hujan, mereka gelisah. Di alam pikiran mereka, maunya pulang daripada nanti kehujanan di jalan,” ujar Kepala SMALB Dharma Wanita, Subagya SPd MPd seraya tergelak.
Itu hanya contoh kecil. Dengan kekurangan fisik yang ada, dapat dibayangkan bagaimana tantangan dalam mendidik anak-anak ini agar mereka memiliki masa depan yang lebih baik.
“Makanya dari awal kita harus bisa mendeteksi kemampuan dan potensinya apa, kita berikan pelan tapi pasti. Kalau masalah kesulitan wajar saja, tapi tidak dianggap sebagai sesuatu yang memberatkan. Yang normal pun saya rasa sama saja, apalagi anak-anak yang mengalami ketunaan,” katanya lagi.
Ada dua jurusan di SMALB Dharma Wanita, yaitu B untuk tuna rungu wicara (bisu tuli) dan C untuk tuna grahita (cacat mental). Metode pembelajaran dan pendekatan yang diterapkan untuk masing-masing jurusan sudah tentu berbeda. Saat menghadapi anak tuna rungu wicara, guru harus menggunakan bahasa isyarat. Tetapi kalau dengan anak tuna grahita, guru bisa menggunakan bahasa lisan, tapi guru harus telaten mengulang-ulang pelajaran karena kemampuan menyerap informasi anak yang lambat.
Permasalahannya, ruang kelas di SMALB Dharma Wanita sangat terbatas sehingga jurusan B dan C selama ini harus digabung jadi satu.
“Makanya, kita bagi papan tulisnya jadi dua untuk B dan C. Tapi sekarang kita dalam rangka renovasi, mudah-mudahan tahun ini selesai dan akan kita pisah karena bagaimanapun metode pembelajarannya berbeda antara yang B dan C,” imbuhnya.
Tidak hanya ruang kelas, sebagaimana permasalahan klasik dunia pendidikan di negeri ini, sarana prasarana pendukung pembelajaran siswa di SMALB Dharma Wanita juga belum memadai, seperti komputer, sepeda motor untuk keterampilan otomotif, alat solder untuk keterampilan elektro, dan lain sebagainya. Terlebih, sekolah ini tidak memiliki donatur tetap dan hanya mengandalkan sumbangan orang tua murid. Tapi itupun tidak semua anak yang dikenakan, ada beberapa anak dari keluarga tidak mampu yang dibebaskan dari pungutan.
“Seandainya ada dermawan yang membantu, alhamdulilah. Bukan dalam bentuk uang, tapi sarana prasarana yang memang sangat diperlukan anak-anak ini,” harapnya.
Seperti disinggung pada tulisan sebelumnya, siswa-siswi di SMALB Dharma Wanita lebih banyak diberikan pelajaran keterampilan. Hal ini dimaksudkan agar setelah lulus mereka bisa mandiri dan tidak bergantung kepada orang lain.
“Kami tidak pernah lepas memantau output dari anak-anak kami. Alhamdulilah, mereka rata-rata bekerja. Ada yang berwiraswasta, yang ikut orang juga banyak. Kami men-support saja, kerja yang rajin, jujur, dan jangan malas. Kerja apapun yang penting halal, jangan malu,” kata Subagya menirukan pesan yang sering disampaikannya kepada murid-muridnya.
Selain membekali dengan keterampilan, pihak sekolah juga tidak lupa mengikutkan anak dalam program sertifikasi keterampilan yang diadakan pusat sehingga mereka berhak bekerja sesuai dengan keterampilan yang dimiliki dan perusahaan harus menerima. Namun, kenyataannya tak selalu demikian karena diskriminasi terhadap orang cacat memang sangat sulit dihapuskan begitu saja meski telah ada peraturan yang mewajibkan perusahaan mempekerjakan mereka dari sekian jumlah tenaga kerja normal.
“Bicara peluang kerja, sebetulnya kalau kita mengacu ke surat keputusan bersama tiga menteri pendidikan, sosial, dan tenaga kerja, bahwa dari sekian pegawai yang dipekerjakan, sekian di antaranya harus ada orang cacat sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Tapi bahasa kasarnya perusahaan mana sih yang mau rugi? Tapi kalau dia mengacu ke peraturan itu, harusnya tahu,” katanya.
NAZAT FITRIAH, Banjarmasin
”Kalau cuaca gelap mau hujan, mereka gelisah. Di alam pikiran mereka, maunya pulang daripada nanti kehujanan di jalan,” ujar Kepala SMALB Dharma Wanita, Subagya SPd MPd seraya tergelak.
Itu hanya contoh kecil. Dengan kekurangan fisik yang ada, dapat dibayangkan bagaimana tantangan dalam mendidik anak-anak ini agar mereka memiliki masa depan yang lebih baik.
“Makanya dari awal kita harus bisa mendeteksi kemampuan dan potensinya apa, kita berikan pelan tapi pasti. Kalau masalah kesulitan wajar saja, tapi tidak dianggap sebagai sesuatu yang memberatkan. Yang normal pun saya rasa sama saja, apalagi anak-anak yang mengalami ketunaan,” katanya lagi.
Ada dua jurusan di SMALB Dharma Wanita, yaitu B untuk tuna rungu wicara (bisu tuli) dan C untuk tuna grahita (cacat mental). Metode pembelajaran dan pendekatan yang diterapkan untuk masing-masing jurusan sudah tentu berbeda. Saat menghadapi anak tuna rungu wicara, guru harus menggunakan bahasa isyarat. Tetapi kalau dengan anak tuna grahita, guru bisa menggunakan bahasa lisan, tapi guru harus telaten mengulang-ulang pelajaran karena kemampuan menyerap informasi anak yang lambat.
Permasalahannya, ruang kelas di SMALB Dharma Wanita sangat terbatas sehingga jurusan B dan C selama ini harus digabung jadi satu.
“Makanya, kita bagi papan tulisnya jadi dua untuk B dan C. Tapi sekarang kita dalam rangka renovasi, mudah-mudahan tahun ini selesai dan akan kita pisah karena bagaimanapun metode pembelajarannya berbeda antara yang B dan C,” imbuhnya.
Tidak hanya ruang kelas, sebagaimana permasalahan klasik dunia pendidikan di negeri ini, sarana prasarana pendukung pembelajaran siswa di SMALB Dharma Wanita juga belum memadai, seperti komputer, sepeda motor untuk keterampilan otomotif, alat solder untuk keterampilan elektro, dan lain sebagainya. Terlebih, sekolah ini tidak memiliki donatur tetap dan hanya mengandalkan sumbangan orang tua murid. Tapi itupun tidak semua anak yang dikenakan, ada beberapa anak dari keluarga tidak mampu yang dibebaskan dari pungutan.
“Seandainya ada dermawan yang membantu, alhamdulilah. Bukan dalam bentuk uang, tapi sarana prasarana yang memang sangat diperlukan anak-anak ini,” harapnya.
Seperti disinggung pada tulisan sebelumnya, siswa-siswi di SMALB Dharma Wanita lebih banyak diberikan pelajaran keterampilan. Hal ini dimaksudkan agar setelah lulus mereka bisa mandiri dan tidak bergantung kepada orang lain.
“Kami tidak pernah lepas memantau output dari anak-anak kami. Alhamdulilah, mereka rata-rata bekerja. Ada yang berwiraswasta, yang ikut orang juga banyak. Kami men-support saja, kerja yang rajin, jujur, dan jangan malas. Kerja apapun yang penting halal, jangan malu,” kata Subagya menirukan pesan yang sering disampaikannya kepada murid-muridnya.
Selain membekali dengan keterampilan, pihak sekolah juga tidak lupa mengikutkan anak dalam program sertifikasi keterampilan yang diadakan pusat sehingga mereka berhak bekerja sesuai dengan keterampilan yang dimiliki dan perusahaan harus menerima. Namun, kenyataannya tak selalu demikian karena diskriminasi terhadap orang cacat memang sangat sulit dihapuskan begitu saja meski telah ada peraturan yang mewajibkan perusahaan mempekerjakan mereka dari sekian jumlah tenaga kerja normal.
“Bicara peluang kerja, sebetulnya kalau kita mengacu ke surat keputusan bersama tiga menteri pendidikan, sosial, dan tenaga kerja, bahwa dari sekian pegawai yang dipekerjakan, sekian di antaranya harus ada orang cacat sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Tapi bahasa kasarnya perusahaan mana sih yang mau rugi? Tapi kalau dia mengacu ke peraturan itu, harusnya tahu,” katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar