BANJARMASIN – Ketua Komisi III DPRD Kota Banjarmasin, Matnor Ali F sepakat bahwa status hukum bangunan SPBU Jl Zafri Zam-Zam adalah legal karena ada perjanjian yang dituangkan dalam MoU yang dibuat di atas akta notaris. Hanya saja, ada dua hal yang menjadi masalah terkait penggunaan lahan milik Pemerintah Kota Banjarmasin yang difungsikan sebagai SPBU sejak tahun 1980 tersebut.
Pertama, perpanjangan hak guna pakai lahannya selama 30 tahun pada tahun 2005 lalu konon kabarnya tidak melibatkan persetujuan dewan. Kalau pada saat itu sudah ada peraturan yang menyebutkan bahwa perpanjangan izin harus mendapat rekomendasi dewan, maka bisa dikatakan perjanjian tersebut cacat hukum dan harus dikaji ulang. Kedua, nilai sewa lahan yang berkisar Rp 4-5 juta per tahun dianggap terlalu kecil dan tidak mendukung peningkatan pendapatan asli daerah (PAD).
Matnor pun meminta agar saat dilakukan peninjauan ulang MoU yang telah disepakati Pemkot Banjarmasin dan pengelola SPBU nanti, kedua hal tersebut diperhatikan.
“Setelah ada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, apapun bentuknya mengenai penggunaan aset daerah harus ada rekomendasi dewan. Tapi barangkali saat perpanjangan sebelum ada undang-undang itu sehingga tidak perlu rekomendasi dewan, tidak masalah. Tapi bila saat lahirnya MoU sudah dipersyaratkan ada rekomendasi dewan, berarti MoU itu cacat hukum dan harus dikaji ulang,” katanya.
Sedangkan terkait nilai sewa, ia mendesak pemkot untuk mencari celah agar angkanya bisa dinaikkan.
“Kita belum tahu persis MoU-nya, sudah diminta tapi belum dikasih. Tapi katanya dievaluasi setiap sepuluh tahun sekali. Nah, saat evaluasi itulah dibicarakan kembali masalah harga ini. Kalau tidak ada klausulnya, buat adendum atau perubahan dan dinotariskan lagi bisa dong!” cetusnya.
Persoalannya, hitung-hitungan pemkot yang mengacu pada NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) dinilai tidak tepat karena penggunaan lahan dalam konteks sewa-menyewa, bukan jual beli. Seharusnya, perhitungan nilai sewa didasarkan pada nilai manfaat. Di lain pihak, nilai sewa Rp 4-5 juta per tahun sangat tidak logis karena harga tanah di kawasan tersebut berkisar Rp 7,5 juta.
“Hitung saja kalau berdasarkan NJOP dengan harga tanah di sana sekitar Rp 7,5 juta. Kalau Rp 5 juta setahun kira-kira berlogika tidak? Ini harus dibicarakan agar pengusaha bisa hidup, pemkot juga dapat hasil. Jadi, seharusnya bukan dengan NJOP, tapi nilai manfaat,” paparnya.
Lantas, adakah indikasi penyimpangan dalam penetapan nilai sewa ini?
“Boleh saja kita curiga. Tapi kami belum berani sampai ke sana karena dewan belum memanggil pihak-pihak terkait. Yang jelas nilai sewanya memang kurang menunjang peningkatakan PAD,” ujarnya.
Sementara itu, menyangkut perdebatan apakah SPBU berada di jalur hijau dan melanggar Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Sungai atau tidak, Matnor mengatakan bahwa yang lebih tahu mengenai masalah ini adalah Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) dan Bagian Tata Pemerintahan (Tapem) Sekretariat Daerah Kota Banjarmasin.
Sekadar informasi, Sungai Zafri Zam-Zam adalah sungai kerokan alias sungai buatan. Sebelum ada sungai, dulunya kawasan tersebut adalah jalan. Sungai Zafri Zam-Zam sendiri terbentuk setelah tanahnya dikeruk untuk keperluan menembok Stadion 17 Mei.
“Menyangkut statusnya di atas jalur hijau atau tidak, yang lebih tahu adalah Bappeko dan Tapem. Kalau mereka katakan masuk dalam jalur hijau, ya harus diperhatikan. Masalahnya, sungainya kan kerokan, kemudian diuruk lagi dan dibangunlah SPBU. Lalu kenapa kantor Disdukcapil, kecamatan, dan puskesmas bisa dipindah? Karena memang jelas-jelas di bangun di atas sungai dan tidak diuruk di bawahnya Sedangkan SPBU tidak terjaring karena sudah diuruk sebelum ada Perda Sungai,” tuturnya.
Pertama, perpanjangan hak guna pakai lahannya selama 30 tahun pada tahun 2005 lalu konon kabarnya tidak melibatkan persetujuan dewan. Kalau pada saat itu sudah ada peraturan yang menyebutkan bahwa perpanjangan izin harus mendapat rekomendasi dewan, maka bisa dikatakan perjanjian tersebut cacat hukum dan harus dikaji ulang. Kedua, nilai sewa lahan yang berkisar Rp 4-5 juta per tahun dianggap terlalu kecil dan tidak mendukung peningkatan pendapatan asli daerah (PAD).
Matnor pun meminta agar saat dilakukan peninjauan ulang MoU yang telah disepakati Pemkot Banjarmasin dan pengelola SPBU nanti, kedua hal tersebut diperhatikan.
“Setelah ada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, apapun bentuknya mengenai penggunaan aset daerah harus ada rekomendasi dewan. Tapi barangkali saat perpanjangan sebelum ada undang-undang itu sehingga tidak perlu rekomendasi dewan, tidak masalah. Tapi bila saat lahirnya MoU sudah dipersyaratkan ada rekomendasi dewan, berarti MoU itu cacat hukum dan harus dikaji ulang,” katanya.
Sedangkan terkait nilai sewa, ia mendesak pemkot untuk mencari celah agar angkanya bisa dinaikkan.
“Kita belum tahu persis MoU-nya, sudah diminta tapi belum dikasih. Tapi katanya dievaluasi setiap sepuluh tahun sekali. Nah, saat evaluasi itulah dibicarakan kembali masalah harga ini. Kalau tidak ada klausulnya, buat adendum atau perubahan dan dinotariskan lagi bisa dong!” cetusnya.
Persoalannya, hitung-hitungan pemkot yang mengacu pada NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) dinilai tidak tepat karena penggunaan lahan dalam konteks sewa-menyewa, bukan jual beli. Seharusnya, perhitungan nilai sewa didasarkan pada nilai manfaat. Di lain pihak, nilai sewa Rp 4-5 juta per tahun sangat tidak logis karena harga tanah di kawasan tersebut berkisar Rp 7,5 juta.
“Hitung saja kalau berdasarkan NJOP dengan harga tanah di sana sekitar Rp 7,5 juta. Kalau Rp 5 juta setahun kira-kira berlogika tidak? Ini harus dibicarakan agar pengusaha bisa hidup, pemkot juga dapat hasil. Jadi, seharusnya bukan dengan NJOP, tapi nilai manfaat,” paparnya.
Lantas, adakah indikasi penyimpangan dalam penetapan nilai sewa ini?
“Boleh saja kita curiga. Tapi kami belum berani sampai ke sana karena dewan belum memanggil pihak-pihak terkait. Yang jelas nilai sewanya memang kurang menunjang peningkatakan PAD,” ujarnya.
Sementara itu, menyangkut perdebatan apakah SPBU berada di jalur hijau dan melanggar Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Sungai atau tidak, Matnor mengatakan bahwa yang lebih tahu mengenai masalah ini adalah Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) dan Bagian Tata Pemerintahan (Tapem) Sekretariat Daerah Kota Banjarmasin.
Sekadar informasi, Sungai Zafri Zam-Zam adalah sungai kerokan alias sungai buatan. Sebelum ada sungai, dulunya kawasan tersebut adalah jalan. Sungai Zafri Zam-Zam sendiri terbentuk setelah tanahnya dikeruk untuk keperluan menembok Stadion 17 Mei.
“Menyangkut statusnya di atas jalur hijau atau tidak, yang lebih tahu adalah Bappeko dan Tapem. Kalau mereka katakan masuk dalam jalur hijau, ya harus diperhatikan. Masalahnya, sungainya kan kerokan, kemudian diuruk lagi dan dibangunlah SPBU. Lalu kenapa kantor Disdukcapil, kecamatan, dan puskesmas bisa dipindah? Karena memang jelas-jelas di bangun di atas sungai dan tidak diuruk di bawahnya Sedangkan SPBU tidak terjaring karena sudah diuruk sebelum ada Perda Sungai,” tuturnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar