BANJARMASIN – Banyak bangunan gedung di Banjarmasin yang mengabaikan persyaratan keselamatan dalam mencegah dan menanggulangi bahaya kebakaran.
Kepala Dinas Tata Kota dan Perumahan (Disatakorum) Kota Banjarmasin Drs H Hamdi mengungkapkan, dari 11 bangunan gedung yang dijadikan sampel dalam program penilaian keandalan bangunan yang dibiayai oleh pemerintah pusat melalui satker provinsi baru-baru ini, hanya satu yang benar-benar memenuhi semua persyaratan keandalan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam UU Bangunan Gedung yang meliputi persyaratan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan.
“Ada 11 gedung yang dilakukan penilaian keandalan bangunan oleh konsultan walau ini masih visual, tidak secara detail. Saya tidak hafal gedung-gedungnya, pokoknya dari 11 itu hanya 1 yang benar-benar handal, yaitu RS Siaga,” ujarnya.
Sedangkan yang lainnya masih belum sepenuhnya memperhatikan aspek-aspek dalam persyaratan keandalan sebuah bangunan gedung.
Dijelaskannya, setidaknya ada dua komponen yang banyak tidak dipenuhi oleh pemilik bangunan gedung di Banjarmasin, yakni pengamanan terhadap bahaya kebakaran (fire protection) dan aksesibilitas penyandang cacat.
“Kebanyakan gedung kita tidak menyiapkan penyemprot pemadam kebakaran. Ada yang menyiapkan tapi tidak sesuai dengan kebutuhan, atau ada yang menyiapkan tapi sudah expired,” katanya.
Padahal, dalam UU Bangunan Gedung sudah jelas mengatur bahwa bangunan gedung harus memiliki kemampuan mencegah dan menanggulangi bahaya kebakaran baik melalui sistem proteksi pasif maupun proteksi aktif. Pengamanan dengan sistem proteksi pasif meliputi kemampuan stabilitas struktur dan elemennya, konstruksi tahan api, kompartemenisasi dan pemisahan, serta proteksi pada bukaan yang ada untuk menahan dan membatasi kecepatan menjalarnya api dan asap kebakaran. Sedangkan pengamanan dengan sistem proteksi aktif meliputi kemampuan peralatan dalam mendeteksi dan memadamkan kebakaran, pengendalian asap, dan sarana penyelamatan kebakaran.
Demikian pula soal kemudahan hubungan ke, dari, dan di dalam bangunan gedung yang meliputi tersedianya fasilitas dan aksesibilitas yang mudah, aman, dan nyaman bagi penyandang cacat, bangunan gedung di Banjarmasin rata-rata tidak memperhatikan hal ini.
Ironisnya, gedung-gedung pemerintahan pun ternyata banyak yang mengabaikan kedua persyaratan tersebut, termasuk gedung DPRD dan balaikota.
“Karena itu saat ekspos kita undang pihak-pihak terkait seperi Dinas PU, Bappeda, Kesbangpolinmas, dan beberapa pemilik bangunan. Saya berharap temuan ini jadi acuan, yang baik dipertahankan dan yang kurang diperbaiki,” ucapnya.
Di sisi lain, kenyataan ini tentu menimbulkan pertanyaan terkait kapabilitas pemkot dalam mengeluarkan izin mendirikan bangunan (IMB) atas sejumlah bangunan gedung yang ada di Banjarmasin selama ini. Namun, Hamdi berkilah bahwa IMB bangunan-bangunan lama memang belum mengacu pada UU yang ada saat ini.
”Sekarang amanat UU khususnya untuk bangunan publik dalam perda kita sudah mengatur bahwa untuk memfungsikannya nanti ada sertifikasi layak fungsi (SLF). Untuk bisa menerbitkan SLF, TAB (tim ahli bangunan) turun. TAB tidak hanya menilai dari segi teknis, tapi juga pengamanan kebakaran, aksesibilitas, dan lain-lain,” tuturnya.
Kepala Dinas Tata Kota dan Perumahan (Disatakorum) Kota Banjarmasin Drs H Hamdi mengungkapkan, dari 11 bangunan gedung yang dijadikan sampel dalam program penilaian keandalan bangunan yang dibiayai oleh pemerintah pusat melalui satker provinsi baru-baru ini, hanya satu yang benar-benar memenuhi semua persyaratan keandalan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam UU Bangunan Gedung yang meliputi persyaratan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan.
“Ada 11 gedung yang dilakukan penilaian keandalan bangunan oleh konsultan walau ini masih visual, tidak secara detail. Saya tidak hafal gedung-gedungnya, pokoknya dari 11 itu hanya 1 yang benar-benar handal, yaitu RS Siaga,” ujarnya.
Sedangkan yang lainnya masih belum sepenuhnya memperhatikan aspek-aspek dalam persyaratan keandalan sebuah bangunan gedung.
Dijelaskannya, setidaknya ada dua komponen yang banyak tidak dipenuhi oleh pemilik bangunan gedung di Banjarmasin, yakni pengamanan terhadap bahaya kebakaran (fire protection) dan aksesibilitas penyandang cacat.
“Kebanyakan gedung kita tidak menyiapkan penyemprot pemadam kebakaran. Ada yang menyiapkan tapi tidak sesuai dengan kebutuhan, atau ada yang menyiapkan tapi sudah expired,” katanya.
Padahal, dalam UU Bangunan Gedung sudah jelas mengatur bahwa bangunan gedung harus memiliki kemampuan mencegah dan menanggulangi bahaya kebakaran baik melalui sistem proteksi pasif maupun proteksi aktif. Pengamanan dengan sistem proteksi pasif meliputi kemampuan stabilitas struktur dan elemennya, konstruksi tahan api, kompartemenisasi dan pemisahan, serta proteksi pada bukaan yang ada untuk menahan dan membatasi kecepatan menjalarnya api dan asap kebakaran. Sedangkan pengamanan dengan sistem proteksi aktif meliputi kemampuan peralatan dalam mendeteksi dan memadamkan kebakaran, pengendalian asap, dan sarana penyelamatan kebakaran.
Demikian pula soal kemudahan hubungan ke, dari, dan di dalam bangunan gedung yang meliputi tersedianya fasilitas dan aksesibilitas yang mudah, aman, dan nyaman bagi penyandang cacat, bangunan gedung di Banjarmasin rata-rata tidak memperhatikan hal ini.
Ironisnya, gedung-gedung pemerintahan pun ternyata banyak yang mengabaikan kedua persyaratan tersebut, termasuk gedung DPRD dan balaikota.
“Karena itu saat ekspos kita undang pihak-pihak terkait seperi Dinas PU, Bappeda, Kesbangpolinmas, dan beberapa pemilik bangunan. Saya berharap temuan ini jadi acuan, yang baik dipertahankan dan yang kurang diperbaiki,” ucapnya.
Di sisi lain, kenyataan ini tentu menimbulkan pertanyaan terkait kapabilitas pemkot dalam mengeluarkan izin mendirikan bangunan (IMB) atas sejumlah bangunan gedung yang ada di Banjarmasin selama ini. Namun, Hamdi berkilah bahwa IMB bangunan-bangunan lama memang belum mengacu pada UU yang ada saat ini.
”Sekarang amanat UU khususnya untuk bangunan publik dalam perda kita sudah mengatur bahwa untuk memfungsikannya nanti ada sertifikasi layak fungsi (SLF). Untuk bisa menerbitkan SLF, TAB (tim ahli bangunan) turun. TAB tidak hanya menilai dari segi teknis, tapi juga pengamanan kebakaran, aksesibilitas, dan lain-lain,” tuturnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar