Jika Terima Dana Negara dan Asing
BANJARMASIN – Keuangan dan kinerja sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) bisa diaudit oleh publik atau lembaga hukum sepanjang pernah menerima dana dari negara maupun pihak asing.
Pakar hukum Rifqinizamy Karsayuda SH LLM mengatakan hal itu sesuai dengan amanat Undang-Undang nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) bahwa seluruh lembaga negara dan lembaga nonnegara yang menerima dana dari negara dan pihak asing wajib membuka informasinya kepada publik.
“Nah, dalam UU itu salah satu lembaga nonnegara disebutkan LSM. Jadi, sepanjang LSM itu pernah menerima dana dari negara baik dalam bentuk bantuan atau kerja sama baik dari APBD maupun APBN, maka dia wajib untuk membuka informasi keuangan dan kinerjanya kepada publik,” cetusnya.
Ditambahkannya, jika LSM tidak mau membukanya, maka publik berhak komplain. Pada titik komplain itulah memungkinkan untuk dilakukan audit terhadap keuangan maupun kinerja LSM tersebut.
“Kalau dananya dari dia sendiri sukarela kumpul-kumpul anggotanya atau dari masyarakat di luar uang negara, tidak ada klausul hukum yang memungkinkan untuk memaksa mengaudit mereka. Tapi sepanjang terkait dengan dana yang berasal dari negara, kalau dia tidak sukarela membuka, maka UU memerintahkan dalam tanda kutip dipaksa untuk diaudit keuangan dan kinerjanya,” ujarnya.
Adapun jika terjadi kasus semacam ini, lanjutnya, maka yang berhak melakukan audit adalah komisi informasi publik. Namun, karena di Kalsel komisi tersebut belum terbentuk, maka audit bisa dilakukan oleh BPK atau BPKP.
“Misalnya ada kasus orang komplain karena LSM A minta uang ke pemprov dikasih Rp 100 juta untuk taruhlah melakukan program X. Ternyata dalam audit yang dilakukan BPKP, LSM tersebut uangnya menerima, tapi laporan kegiatannya tidak ada. Kalau seperti itu, BPK atau BPKP bisa saja melakukan audit untuk memastikan bahwa dana pemerintah itu tidak digunakan untuk macam-macam,” terangnya.
Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unlam tersebut juga mengatakan bahwa terkait masalah ini, UU KIP sebenarnya sudah cukup jelas mengatur walau peraturan pemerintah (PP) sebagai petunjuk teknisnya belum turun.
“Rambu-rambunya itu tadi, uang negara dan bantuan asing. Kalau bantuannya dari pengusaha tidak perlu diaudit. Sekarang kan banyak LSM kerja sama dengan perusahaan untuk mengelola community development. Itu tidak bisa diaudit oleh publik, kalau perusahaan mungkin melakukan audit juga terhadap para mitranya,” katanya.
Sementara itu, Kepala Badan Kesbangpolinmas Kota Banjarmasin, Normansyah mengatakan bahwa selama ini pemerintah daerah tidak pernah melakukan audit terhadap keuangan dan kinerja LSM yang menerima dana baik dari pemerintah sendiri maupun pihak asing.
“Audit itu dari mereka sendiri. Kalau pemda begitu ada proposal, disetujui, setelah itu terserah mereka. Bantuan dari luar negeri itu juga urusannya. Kalau terjadi penyalahgunaan dan ada yang keberatan, silakan saja melaporkan keberatannya ke polisi,” ujarnya.
Sampai dengan tahun 2010, tercatat sedikitnya ada 52 LSM yang berdiri di Banjarmasin dan bergerak di berbagai bidang. Tidak ada pembinaan khusus yang dilakukan oleh pemda terhadap LSM-LSM ini. Pembinaan hanya diberikan dalam bentuk sosialisasi seperti tentang penguatan rasa kebangsaan.
BANJARMASIN – Keuangan dan kinerja sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) bisa diaudit oleh publik atau lembaga hukum sepanjang pernah menerima dana dari negara maupun pihak asing.
Pakar hukum Rifqinizamy Karsayuda SH LLM mengatakan hal itu sesuai dengan amanat Undang-Undang nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) bahwa seluruh lembaga negara dan lembaga nonnegara yang menerima dana dari negara dan pihak asing wajib membuka informasinya kepada publik.
“Nah, dalam UU itu salah satu lembaga nonnegara disebutkan LSM. Jadi, sepanjang LSM itu pernah menerima dana dari negara baik dalam bentuk bantuan atau kerja sama baik dari APBD maupun APBN, maka dia wajib untuk membuka informasi keuangan dan kinerjanya kepada publik,” cetusnya.
Ditambahkannya, jika LSM tidak mau membukanya, maka publik berhak komplain. Pada titik komplain itulah memungkinkan untuk dilakukan audit terhadap keuangan maupun kinerja LSM tersebut.
“Kalau dananya dari dia sendiri sukarela kumpul-kumpul anggotanya atau dari masyarakat di luar uang negara, tidak ada klausul hukum yang memungkinkan untuk memaksa mengaudit mereka. Tapi sepanjang terkait dengan dana yang berasal dari negara, kalau dia tidak sukarela membuka, maka UU memerintahkan dalam tanda kutip dipaksa untuk diaudit keuangan dan kinerjanya,” ujarnya.
Adapun jika terjadi kasus semacam ini, lanjutnya, maka yang berhak melakukan audit adalah komisi informasi publik. Namun, karena di Kalsel komisi tersebut belum terbentuk, maka audit bisa dilakukan oleh BPK atau BPKP.
“Misalnya ada kasus orang komplain karena LSM A minta uang ke pemprov dikasih Rp 100 juta untuk taruhlah melakukan program X. Ternyata dalam audit yang dilakukan BPKP, LSM tersebut uangnya menerima, tapi laporan kegiatannya tidak ada. Kalau seperti itu, BPK atau BPKP bisa saja melakukan audit untuk memastikan bahwa dana pemerintah itu tidak digunakan untuk macam-macam,” terangnya.
Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unlam tersebut juga mengatakan bahwa terkait masalah ini, UU KIP sebenarnya sudah cukup jelas mengatur walau peraturan pemerintah (PP) sebagai petunjuk teknisnya belum turun.
“Rambu-rambunya itu tadi, uang negara dan bantuan asing. Kalau bantuannya dari pengusaha tidak perlu diaudit. Sekarang kan banyak LSM kerja sama dengan perusahaan untuk mengelola community development. Itu tidak bisa diaudit oleh publik, kalau perusahaan mungkin melakukan audit juga terhadap para mitranya,” katanya.
Sementara itu, Kepala Badan Kesbangpolinmas Kota Banjarmasin, Normansyah mengatakan bahwa selama ini pemerintah daerah tidak pernah melakukan audit terhadap keuangan dan kinerja LSM yang menerima dana baik dari pemerintah sendiri maupun pihak asing.
“Audit itu dari mereka sendiri. Kalau pemda begitu ada proposal, disetujui, setelah itu terserah mereka. Bantuan dari luar negeri itu juga urusannya. Kalau terjadi penyalahgunaan dan ada yang keberatan, silakan saja melaporkan keberatannya ke polisi,” ujarnya.
Sampai dengan tahun 2010, tercatat sedikitnya ada 52 LSM yang berdiri di Banjarmasin dan bergerak di berbagai bidang. Tidak ada pembinaan khusus yang dilakukan oleh pemda terhadap LSM-LSM ini. Pembinaan hanya diberikan dalam bentuk sosialisasi seperti tentang penguatan rasa kebangsaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar