Prospek Perawat di Luar Negeri Cerah
BANJARMASIN – Pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri sampai saat ini masih didominasi oleh sektor non formal, seperti pembantu rumah tangga dan buruh kasar. Padahal, peluang di sektor formal sebetulnya cukup terbuka lebar, misalnya perawat.
Ketua Persatuan Perawat Nasional Indonesia Provinsi Kalsel, La Ode Jumadi Gafar mengungkapkan bahwa prospek perawat di luar negeri cukup cerah, antara lain di Amerika Serikat, Kanada, Eropa khususnya Belanda, Australia, Jepang, dan Timur Tengah seperti Kuwait, Uni Emirat Arab, dan Arab Saudi.
“Kalau Jepang, umumnya untuk perawat lansia. Di Arab Saudi, kalau laki-laki biasanya dibutuhkan di departemen ambulan, kamar operasi, dan ICU,” ujarnya.
Standar gaji yang ditawarkan pun sangat menggiurkan. Kalau punya sertifikat, untuk lulusan D3 saja gajinya Rp 15 juta per bulan. Sayangnya, sejauh ini ternyata belum ada satupun perawat dari banua yang mampu menangkap peluang tersebut karena berbagai faktor. Salah satunya, mereka lebih tertarik menjadi PNS.
“Kalau yang keluar negeri masih sektor nonformal seperti PRT, itu karena memang tidak ada pilihan lain di dalam negeri. Sedangkan untuk tenaga kesehatan, cenderung memilih jadi PNS karena kebutuhannya masih tinggi, formasi nomor dua setelah guru,” katanya.
Di samping itu, persyaratan yang ditetapkan oleh negara tujuan juga cukup sulit ditembus.
“Jadi, memang sudah ada aturan main dan ada lembaga khusus yang memberikan sertifikasi sehingga sertifikat yang dihasilkan benar-benar diakui dan menggambarkan keadaan sebenarnya dari performa si perawat yang memiliki sertifikat itu,” terangnya.
Meski demikian, sebetulnya pernah ada beberapa perawat asal Kalsel yang lulus tes untuk bekerja di Arab Saudi. Namun, mereka batal berangkat karena mengalami culture shock atau gegar budaya.
“Dulu pernah ada lima orang yang berhasil lulus tes yang diadakan oleh Kementerian Kesehatan Arab Saudi. Tapi seminggu sebelum berangkat, mereka malah tidak mau pergi karena mengalami culture shock. Perbedaan budaya, mulai dari cuaca, kebiasaan masyarakat, makanan, sampai budaya kerja, itu akan membuat syok secara budaya sehingga akhirnya orang tidak betah. Itu yang harus diantisipasi,” tuturnya.
Makanya, pengelola institusi pendidikan perlu memikirkan solusi dari masalah ini, misalnya dengan menyediakan mata kuliah transfer budaya agar lulusan yang diproyeksikan untuk bekerja di luar negeri mampu mengatasi hambatan tersebut, minimal mengetahui kebiasaan-kebiasaan umum yang berlaku di negara tujuan.
“Kalau dari segi keterampilan justru tidak masalah, karena sebelum ke sana akan ada semacam magang. Kalau lulus tes, mereka akan mendapat sertifikat sebagai bukti bahwa mereka mempunyai kompetensi untuk melakukan sesuatu sesuai standar di negara tersebut,” tambahnya.
Sementara itu, pihaknya menyambut baik tawaran Japan-Indonesia Association for Economy Cooperation (JIAEC) untuk mengirimkan tenaga perawat asal banua ke Jepang. Menurutnya, tawaran tersebut merupakan motivasi sekaligus kesempatan yang bagus bagi para pengelola pendidikan untuk menyiapkan lulusan sesuai dengan harapan user (pengguna) mancanegara, walaupun di dalam negeri perawat juga masih banyak dibutuhkan.
“Yang harus disadari, bahwa bekerja luar negeri sebetulnya adalah proses upgrade kemampuan dan dijamin setelahnya pasti bisa bekerja di rumah sakit besar di dalam negeri karena dia sudah berstandar internasional. Banyak keuntungan yang bisa didapat walau untuk bisa bekerja diperlukan kesungguhan,” tandasnya.
Di sisi lain, semakin banyak masyarakat yang mengisi lapangan kerja di luar negeri, berarti semakin banyak devisa yang masuk ke kas negara dan secara tidak langsung akan ikut meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
BANJARMASIN – Pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri sampai saat ini masih didominasi oleh sektor non formal, seperti pembantu rumah tangga dan buruh kasar. Padahal, peluang di sektor formal sebetulnya cukup terbuka lebar, misalnya perawat.
Ketua Persatuan Perawat Nasional Indonesia Provinsi Kalsel, La Ode Jumadi Gafar mengungkapkan bahwa prospek perawat di luar negeri cukup cerah, antara lain di Amerika Serikat, Kanada, Eropa khususnya Belanda, Australia, Jepang, dan Timur Tengah seperti Kuwait, Uni Emirat Arab, dan Arab Saudi.
“Kalau Jepang, umumnya untuk perawat lansia. Di Arab Saudi, kalau laki-laki biasanya dibutuhkan di departemen ambulan, kamar operasi, dan ICU,” ujarnya.
Standar gaji yang ditawarkan pun sangat menggiurkan. Kalau punya sertifikat, untuk lulusan D3 saja gajinya Rp 15 juta per bulan. Sayangnya, sejauh ini ternyata belum ada satupun perawat dari banua yang mampu menangkap peluang tersebut karena berbagai faktor. Salah satunya, mereka lebih tertarik menjadi PNS.
“Kalau yang keluar negeri masih sektor nonformal seperti PRT, itu karena memang tidak ada pilihan lain di dalam negeri. Sedangkan untuk tenaga kesehatan, cenderung memilih jadi PNS karena kebutuhannya masih tinggi, formasi nomor dua setelah guru,” katanya.
Di samping itu, persyaratan yang ditetapkan oleh negara tujuan juga cukup sulit ditembus.
“Jadi, memang sudah ada aturan main dan ada lembaga khusus yang memberikan sertifikasi sehingga sertifikat yang dihasilkan benar-benar diakui dan menggambarkan keadaan sebenarnya dari performa si perawat yang memiliki sertifikat itu,” terangnya.
Meski demikian, sebetulnya pernah ada beberapa perawat asal Kalsel yang lulus tes untuk bekerja di Arab Saudi. Namun, mereka batal berangkat karena mengalami culture shock atau gegar budaya.
“Dulu pernah ada lima orang yang berhasil lulus tes yang diadakan oleh Kementerian Kesehatan Arab Saudi. Tapi seminggu sebelum berangkat, mereka malah tidak mau pergi karena mengalami culture shock. Perbedaan budaya, mulai dari cuaca, kebiasaan masyarakat, makanan, sampai budaya kerja, itu akan membuat syok secara budaya sehingga akhirnya orang tidak betah. Itu yang harus diantisipasi,” tuturnya.
Makanya, pengelola institusi pendidikan perlu memikirkan solusi dari masalah ini, misalnya dengan menyediakan mata kuliah transfer budaya agar lulusan yang diproyeksikan untuk bekerja di luar negeri mampu mengatasi hambatan tersebut, minimal mengetahui kebiasaan-kebiasaan umum yang berlaku di negara tujuan.
“Kalau dari segi keterampilan justru tidak masalah, karena sebelum ke sana akan ada semacam magang. Kalau lulus tes, mereka akan mendapat sertifikat sebagai bukti bahwa mereka mempunyai kompetensi untuk melakukan sesuatu sesuai standar di negara tersebut,” tambahnya.
Sementara itu, pihaknya menyambut baik tawaran Japan-Indonesia Association for Economy Cooperation (JIAEC) untuk mengirimkan tenaga perawat asal banua ke Jepang. Menurutnya, tawaran tersebut merupakan motivasi sekaligus kesempatan yang bagus bagi para pengelola pendidikan untuk menyiapkan lulusan sesuai dengan harapan user (pengguna) mancanegara, walaupun di dalam negeri perawat juga masih banyak dibutuhkan.
“Yang harus disadari, bahwa bekerja luar negeri sebetulnya adalah proses upgrade kemampuan dan dijamin setelahnya pasti bisa bekerja di rumah sakit besar di dalam negeri karena dia sudah berstandar internasional. Banyak keuntungan yang bisa didapat walau untuk bisa bekerja diperlukan kesungguhan,” tandasnya.
Di sisi lain, semakin banyak masyarakat yang mengisi lapangan kerja di luar negeri, berarti semakin banyak devisa yang masuk ke kas negara dan secara tidak langsung akan ikut meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar