Terkait Ketidakhadiran Muhidin di Paripurna
BANJARMASIN – Ketidakhadiran Walikota Banjarmasin H Muhidin pada dua kali sidang paripurna dengan agenda penting, yakni penyampaian Kebijakan Umum Anggaran (KUA)- Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS) serta Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) Kota Banjarmasin tahun 2011 yang sedianya digelar pada 29-30 November 2010 tidak hanya mengundang kecaman dari sebagian besar anggota legislatif.
Di mata pengamat politik Taufik Arbain, walikota dipandang tidak bisa menjaga etika politik dan etika sebagai pejabat publik. Parahnya lagi, setelah rapat pertama tertunda dan kemudian diundur keesokan harinya, walikota kembali tidak hadir dengan alasan memenuhi undangan acara ulang tahun Kabupaten Tapin. Sedangkan posisi wakil walikota diketahui masih di Batam, dan ketiga asisten yang semestinya menjadi perwakilan juga memilih sibuk dengan agendanya masing-masing, yang akhirnya mengakibatkan pihak eksekutif hanya diwakili oleh seorang staf ahli.
“Staf ahli tidak terlalu kuat posisinya untuk dewan melakukan interaksi. Pertanyaannya kemudian, dimana kewibawaan walikota untuk memerintahkan para asistennya menghadiri acara itu?” cetusnya.
Tapi menurutnya, masalah ini bermula dari walikota sendiri. Peneliti di Intitute for Regional Development and Politic Studies (IRDPoS) Kalsel itu menilai kewibawaan walikota mulai tergerus.
“Kalau betul para asisten itu menjawa wibawa pimpinannya, pasti ada salah satu yang mengalah untuk mewakili. Tapi ini kan tidak, malah kesannya seperti masa bodoh,” cetusnya.
Semestinya, lanjutnya, walikota harus menjaga kewibawaannya. Caranya adalah dengan menghargai para bawahan dan mitra kerjanya, dalam hal ini lembaga legislatif.
“Kalau walikota tidak datang pun pada ulangtahun Tapin, yang kepala daerahnya notabene selevel dengan dirinya, tidak akan mengganggu acara di sana. Untuk menebusnya cukup mewakilkan, dan dia sendiri semestinya yang menghadiri paripurna it,” ujarnya.
Staf pengajar di lingkungan FISIP Unlam yang dikenal pula sebagai pegiat pengkajian kebudayaan Banjar melalui Forum Kajian Budaya Banjar (FKBB) Kalsel itu juga mengatakan bahwa kejadian yang tergolong langka ini merupakan catatan sejarah pemerintah yang buruk karena jika sudah terkait pembahasan anggaran, seyogyanya eksekutif dan legislatif harus duduk bersama.
“Dengan hadirnya walikota, paling tidak yang bersangkutan bisa mendengarkan masukan-masukan bagaimana implementasi yang dikonstruksi lewat paripurna itu. Makanya, saya sangat menyayangkan,” ucapnya.
Sementara itu, pengamat hukum Ahmad Faisal SH MH mengungkapkan bahwa sebetulnya tidak ada aturan yang menyebutkan bahwa sidang paripurna wajib dihadiri oleh kepala daerah. Menurut Ketua Pusat Kajian Produk Hukum Unlam ini, hal itu kaitannya semata-mata dengan etika dan tanggung jawab eksekutif sebagai bagian dari pemerintahan bersama-sama dengan legislatif.
“APBD yang menentukan harus eksekutif dan legislatif, dan seyogyanya kepala daerah langsung yang menghadiri,” tukasnya.
Oleh sebab itu, jika alasan ketidakhadiran si kepala daerah tidak terlalu penting, maka dapat dikatakan bahwa yang bersangkutan telah menyalahgunakan tanggung jawab jabatan.
“Tapi agak susah memang mengomentari walikota sekarang yang sudah keluar jalur,” tambahnya.
Dijelaskannya juga, jika walikota berhalangan hadir, semestinya wakil walikota yang menggantikan. Sedangkan jika keduanya sama-sama berhalangan, tugas para asistenlah untuk mewakili. Jika para asisten juga tidak bisa datang, maka rapat paripurna harus ditunda.
“Jangan dipaksakan, apalagi yang dibahas masalah APBD karena menyangkut kepentingan masyarakat,” katanya.
BANJARMASIN – Ketidakhadiran Walikota Banjarmasin H Muhidin pada dua kali sidang paripurna dengan agenda penting, yakni penyampaian Kebijakan Umum Anggaran (KUA)- Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS) serta Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) Kota Banjarmasin tahun 2011 yang sedianya digelar pada 29-30 November 2010 tidak hanya mengundang kecaman dari sebagian besar anggota legislatif.
Di mata pengamat politik Taufik Arbain, walikota dipandang tidak bisa menjaga etika politik dan etika sebagai pejabat publik. Parahnya lagi, setelah rapat pertama tertunda dan kemudian diundur keesokan harinya, walikota kembali tidak hadir dengan alasan memenuhi undangan acara ulang tahun Kabupaten Tapin. Sedangkan posisi wakil walikota diketahui masih di Batam, dan ketiga asisten yang semestinya menjadi perwakilan juga memilih sibuk dengan agendanya masing-masing, yang akhirnya mengakibatkan pihak eksekutif hanya diwakili oleh seorang staf ahli.
“Staf ahli tidak terlalu kuat posisinya untuk dewan melakukan interaksi. Pertanyaannya kemudian, dimana kewibawaan walikota untuk memerintahkan para asistennya menghadiri acara itu?” cetusnya.
Tapi menurutnya, masalah ini bermula dari walikota sendiri. Peneliti di Intitute for Regional Development and Politic Studies (IRDPoS) Kalsel itu menilai kewibawaan walikota mulai tergerus.
“Kalau betul para asisten itu menjawa wibawa pimpinannya, pasti ada salah satu yang mengalah untuk mewakili. Tapi ini kan tidak, malah kesannya seperti masa bodoh,” cetusnya.
Semestinya, lanjutnya, walikota harus menjaga kewibawaannya. Caranya adalah dengan menghargai para bawahan dan mitra kerjanya, dalam hal ini lembaga legislatif.
“Kalau walikota tidak datang pun pada ulangtahun Tapin, yang kepala daerahnya notabene selevel dengan dirinya, tidak akan mengganggu acara di sana. Untuk menebusnya cukup mewakilkan, dan dia sendiri semestinya yang menghadiri paripurna it,” ujarnya.
Staf pengajar di lingkungan FISIP Unlam yang dikenal pula sebagai pegiat pengkajian kebudayaan Banjar melalui Forum Kajian Budaya Banjar (FKBB) Kalsel itu juga mengatakan bahwa kejadian yang tergolong langka ini merupakan catatan sejarah pemerintah yang buruk karena jika sudah terkait pembahasan anggaran, seyogyanya eksekutif dan legislatif harus duduk bersama.
“Dengan hadirnya walikota, paling tidak yang bersangkutan bisa mendengarkan masukan-masukan bagaimana implementasi yang dikonstruksi lewat paripurna itu. Makanya, saya sangat menyayangkan,” ucapnya.
Sementara itu, pengamat hukum Ahmad Faisal SH MH mengungkapkan bahwa sebetulnya tidak ada aturan yang menyebutkan bahwa sidang paripurna wajib dihadiri oleh kepala daerah. Menurut Ketua Pusat Kajian Produk Hukum Unlam ini, hal itu kaitannya semata-mata dengan etika dan tanggung jawab eksekutif sebagai bagian dari pemerintahan bersama-sama dengan legislatif.
“APBD yang menentukan harus eksekutif dan legislatif, dan seyogyanya kepala daerah langsung yang menghadiri,” tukasnya.
Oleh sebab itu, jika alasan ketidakhadiran si kepala daerah tidak terlalu penting, maka dapat dikatakan bahwa yang bersangkutan telah menyalahgunakan tanggung jawab jabatan.
“Tapi agak susah memang mengomentari walikota sekarang yang sudah keluar jalur,” tambahnya.
Dijelaskannya juga, jika walikota berhalangan hadir, semestinya wakil walikota yang menggantikan. Sedangkan jika keduanya sama-sama berhalangan, tugas para asistenlah untuk mewakili. Jika para asisten juga tidak bisa datang, maka rapat paripurna harus ditunda.
“Jangan dipaksakan, apalagi yang dibahas masalah APBD karena menyangkut kepentingan masyarakat,” katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar