BANJARMASIN – Komisi I DPRD Kota Banjarmasin mengadakan rapat kerja terkait masalah nilai sewa lahan SPBU Zafry Zam-Zam yang dianggap sangat kecil dan tidak berkontribusi terhadap peningkatan pendapatan asli daerah (PAD), kemarin (20/7) siang sekitar pukul 14.30.
Namun, rapat yang diikuti oleh perwakilan Komisi II dan Komisi III, Bagian Hukum dan Asisten II Bidang Ekonomi dan Pembangunan Sekretariat Daerah Kota Banjarmasin, serta pengelola SPBU itu tak membuahkan hasil seperti yang diharapkan.
Revisi yang diusulkan tidak mungkin dilakukan saat ini karena dalam perjanjian yang diteken tahun 2005 semasa pemerintahan Walikota Midpai Yabani tersebut, disebutkan bahwa evaluasi baru bisa dilakukan per sepuluh tahun. Karena sudah terikat itulah, maka tidak ada peluang untuk adendum atau mengubah klausul perjanjian.
“Kita coba meluruskan bahwa penyesuaian nilai sewa setelah berakhir masa sewa 10 tahun pertama, yaitu tahun 2014. Sedangkan pada pasal 8 disebutkan bahwa walikota harus memberikan jaminan kepada pengusaha selama usahanya adalah SPBU. Jadi, kita terikat, kalau tidak SPBU baru bisa melakukan adendum,” ujar Asisten II Bidang Ekonomi dan Pembangunan Sekretariat Daerah Kota Banjarmasin, Bambang Budiyanto dalam konferensi pers yang digelar seusai rapat.
Sedangkan soal nilai sewa sebesar Rp 4,8 juta per tahun, menurutnya merupakan angka yang wajar untuk ukuran tahun 2005, dimana Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) PBB pada saat itu adalah Rp 1.825 per meter persegi, sedangkan lahan pemkot yang difungsikan untuk SPBU adalah 2.650 meter persegi sehingga didapatlah nilai sewa Rp 4,8 juta tersebut.
“Saat itu, kita bicara tahun 2005, patokan sewa menyewa adalah NJOP. Nah, nilai sewa saja sama dengan NJOP, berarti sudah tinggi, padahal tanah kita tidak hilang. Jadi, saya kira untuk tahun 2005 wajar, malah sudah sangat menguntungkan,” cetusnya.
Ia menambahkan, pada saat perjanjian dibuat, Pemerintah Kota Banjarmasin pasti memiliki pertimbangan tertentu. Namun, secara tersirat ia mengakui perjanjian yang dibuat ini merugikan pemerintah.
“Suasana kebatinan 2005 kita tidak tahu. Sekarang kita hanya bicara kepastian hukum kepada pengusaha kita, makanya kita harus menghormati perjanjian ini. Kami bukan orang yang merumuskan perjanjian waktu itu, tapi tahun 2014 nanti saat dievaluasi dewan harus diajak serta. Kita belajar dari pengalaman. Untuk nilai yang sekarang, kita sudah terikat secara hukum. Makanya kami menghormati isi perjanjian, memang kalau kita mendebatkan hal ini susah juga,” katanya.
Ketua Komisi I DPRD Kota Banjarmasin Edy Yusuf pun berharap agar tahun 2014 nanti, nilai sewa harus disesuaikan dengan melihat salah satunya nilai strategis lokasi lahan.
“Isi perjanjian itu kan dinilai dengan ukuran waktu itu. Kalau sekarang dengan perkembangan yang ada tentu terasa murah. Tapi terpaksa harus ditaati, karena itulah sudah yang namanya perjanjian hukum,” ucapnya.
Sementara itu, rapat kerja ini awalnya sempat akan digelar secara tertutup, entah dengan alasan apa. Wartawan yang hendak meliput jalannya rapat pun melancarkan protes, namun tak digubris. Baru setengah jam setelah rapat berjalan, pintu ruang rapat dibuka dan wartawan diizinkan masuk. Pihak-pihak terkait sendiri tidak memberikan keterangan yang jelas mengapa rapat dibuat tertutup.
Namun, rapat yang diikuti oleh perwakilan Komisi II dan Komisi III, Bagian Hukum dan Asisten II Bidang Ekonomi dan Pembangunan Sekretariat Daerah Kota Banjarmasin, serta pengelola SPBU itu tak membuahkan hasil seperti yang diharapkan.
Revisi yang diusulkan tidak mungkin dilakukan saat ini karena dalam perjanjian yang diteken tahun 2005 semasa pemerintahan Walikota Midpai Yabani tersebut, disebutkan bahwa evaluasi baru bisa dilakukan per sepuluh tahun. Karena sudah terikat itulah, maka tidak ada peluang untuk adendum atau mengubah klausul perjanjian.
“Kita coba meluruskan bahwa penyesuaian nilai sewa setelah berakhir masa sewa 10 tahun pertama, yaitu tahun 2014. Sedangkan pada pasal 8 disebutkan bahwa walikota harus memberikan jaminan kepada pengusaha selama usahanya adalah SPBU. Jadi, kita terikat, kalau tidak SPBU baru bisa melakukan adendum,” ujar Asisten II Bidang Ekonomi dan Pembangunan Sekretariat Daerah Kota Banjarmasin, Bambang Budiyanto dalam konferensi pers yang digelar seusai rapat.
Sedangkan soal nilai sewa sebesar Rp 4,8 juta per tahun, menurutnya merupakan angka yang wajar untuk ukuran tahun 2005, dimana Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) PBB pada saat itu adalah Rp 1.825 per meter persegi, sedangkan lahan pemkot yang difungsikan untuk SPBU adalah 2.650 meter persegi sehingga didapatlah nilai sewa Rp 4,8 juta tersebut.
“Saat itu, kita bicara tahun 2005, patokan sewa menyewa adalah NJOP. Nah, nilai sewa saja sama dengan NJOP, berarti sudah tinggi, padahal tanah kita tidak hilang. Jadi, saya kira untuk tahun 2005 wajar, malah sudah sangat menguntungkan,” cetusnya.
Ia menambahkan, pada saat perjanjian dibuat, Pemerintah Kota Banjarmasin pasti memiliki pertimbangan tertentu. Namun, secara tersirat ia mengakui perjanjian yang dibuat ini merugikan pemerintah.
“Suasana kebatinan 2005 kita tidak tahu. Sekarang kita hanya bicara kepastian hukum kepada pengusaha kita, makanya kita harus menghormati perjanjian ini. Kami bukan orang yang merumuskan perjanjian waktu itu, tapi tahun 2014 nanti saat dievaluasi dewan harus diajak serta. Kita belajar dari pengalaman. Untuk nilai yang sekarang, kita sudah terikat secara hukum. Makanya kami menghormati isi perjanjian, memang kalau kita mendebatkan hal ini susah juga,” katanya.
Ketua Komisi I DPRD Kota Banjarmasin Edy Yusuf pun berharap agar tahun 2014 nanti, nilai sewa harus disesuaikan dengan melihat salah satunya nilai strategis lokasi lahan.
“Isi perjanjian itu kan dinilai dengan ukuran waktu itu. Kalau sekarang dengan perkembangan yang ada tentu terasa murah. Tapi terpaksa harus ditaati, karena itulah sudah yang namanya perjanjian hukum,” ucapnya.
Sementara itu, rapat kerja ini awalnya sempat akan digelar secara tertutup, entah dengan alasan apa. Wartawan yang hendak meliput jalannya rapat pun melancarkan protes, namun tak digubris. Baru setengah jam setelah rapat berjalan, pintu ruang rapat dibuka dan wartawan diizinkan masuk. Pihak-pihak terkait sendiri tidak memberikan keterangan yang jelas mengapa rapat dibuat tertutup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar