2011, Sistem Pembayaran Diubah
BANJARMASIN – Hobi ‘pelesiran’ para wakil rakyat barangkali akan sedikit berkurang pada tahun depan. Pasalnya, dengan diberlakukannya sistem pembayaran perjalanan dinas yang lebih ketat, maka perjalanan dinas tidak bisa lagi diandalkan sebagai sumber pendapatan tambahan.
Anggota Badan Anggaran DPRD Provinsi Kalsel, Ibnu Sina mengungkapkan bahwa mulai tahun 2011, sistem lumpsum yang dari segi administrasi lebih longgar akan diganti dengan sistem at cost yang administrasinya lebih ketat.
Hal ini seiring dengan terbitnya Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 37 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan APBD 2011 yang mengamanatkan bahwa sistem pembayaran perjalanan dinas harus menggunakan sistem at cost.
“Kita akan melakukan konsultasi ke Mendagri terkait APBD Kalsel 2011 yang sudah disahkan. Kalau kita belum menggunakan sistem at cost, pasti akan dikembalikan,” ujarnya.
Ditanya lebih setuju sistem yang mana, dengan cepat ia menjawab bahwa pada dasarnya ia setuju dengan sistem yang mana saja. Namun, dari segi efisiensi, pembiayaan perjalanan dinas dengan sistem at cost jelas lebih efisien. Pasalnya, biaya tiket pesawat dan hotel tidak bisa lagi diakal-akali supaya terdapat selisih yang bisa diambil keuntungannya. Dengan sistem at cost, maka tiket pesawat dan hotel akan dibayar sesuai dengan harga yang sebenarnya.
“Kalau seperti itu, kita pun lebih enak kalau berangkat. Berapa hari perginya dan pakai pesawat dengan harga tiket berapa, ya bayarnya segitu,” katanya.
Ditambahkannya, dengan sistem at cost, maka bisa dilakukan penghematan dan meminimalisir pemborosan.
Anggota Badan Anggaran lainnya, Puar Junaidi juga mengatakan bahwa dengan menggunakan sistem at cost, dimana segala kegiatan harus dibuktikan dengan data administrasi, maka anggaran yang ada tidak mesti harus habis.
Seperti diberitakan sebelumnya, biaya perjalanan dinas anggota DPRD Provinsi Kalsel pada tahun 2011 sudah dianggarkan sebesar Rp 15 miliar. Namun, menurut Puar, anggaran tersebut tidak untuk dihabiskan. Anggaran tersebut hanya untuk mengantisipasi ketika ada kegiatan yang mengharuskan berangkat ke luar daerah.
“Rancangan itu mengacu pada hasil laporan pertanggungjawaban tahun lalu. Nah, rencana harus berangkat itu tidak ada, kalau diperlukan baru dijadwalkan. Sehingga anggaran yang dibuat bukan direncanakan untuk berangkat, tapi supaya anggaran itu sudah tersedia saat dibutuhkan. Sistem keuangan kita memang mengaturnya seperti itu,” tandasnya.
Disinggung mengenai pandangan miring masyarakat terhadap kegiatan ‘jalan-jalan’ yang dilakoni anggota dewan, baik dalam rangka kunjungan kerja maupun studi banding, menurutnya tergantung dari sudut mana melihatnya.
“Banyak hal yang kita dapat dari hasil studi banding untuk perbaikan terhadap sistem pemerintahan maupun pengelolaan sumber daya alam. Jadi, masih banyak hal positif yang diambil,” imbuhnya.
Namun, ditanya berapa anggaran perjalanan dinas yang sudah terealisasi di tahun 2010, ia mengaku kurang tahu karena belum ada laporan pertanggungjawaban akhir tahun.
At Cost Rawan Penyimpangan
BANJARMASIN – Kepala Bidang Akuntabilitas Pemerintah Daerah BPKP Kalsel, Dikdik Sadikin menjelaskan, ada dua sistem pembayaran perjalanan dinas, yaitu sistem at cost dan sistem lumpsum.
Sistem at cost artinya biaya perjalanan dibayar sesuai dengan bukti, misalnya kuitansi hotel dan boarding pass (pesawat). Pergi kemanapun dan berapa lama pun kalau memang buktinya asli, pegawai tidak akan mendapat kelebihan dari sisa biaya perjalanan.
“Memang sistem at cost ini paling ketat, sehingga pegawai sulit mengandalkan sistem ini sebagai sumber tambahan pendapatan. Administrasinya pun lebih repot karena harus diverfikasi kembali antara biaya dan bukti-buktinya. Dampaknya, pegawai enggan ke luar kota yang jauh, karena hasilnya sama saja,” ujarnya.
Meski demikian, sistem at cost ternyata rawan akan pemalsuan bukti, baik kuitansi hotel maupun boarding pass. Diungkapkannya, ada jaringan yang menjual tiket pesawat dan boarding pass palsu.
“Dia naik pesawat murah, sementara dia beli tiket palsu yang tercantum harganya lebih mahal. Nah, tiket palsu itu diajukan untuk mencairkan uang,” tuturnya.
Yang kedua adalah sistem lumpsum. Sistem ini memakai standar biaya tertentu. Misalnya, penginapan sehari dipatok Rp250 ribu. Baik pegawai yang bersangkutan menginap di hotel Rp500 ribu atau Rp100 ribu, tetap dibayar Rp 250 ribu dan tidak perlu kuitansi.
“Kecenderungannya, pegawai memilih hotel dan pesawat yang murah karena selisihnya bisa diambil. Kalau perlu, tidur di mesjid. Dampaknya, pegawai berebut ingin pergi ke tempat jauh, misalnya ke Papua. Kemudahannya memang di sisi administrasi, tapi kurang efesien,” pungkasnya.
BANJARMASIN – Hobi ‘pelesiran’ para wakil rakyat barangkali akan sedikit berkurang pada tahun depan. Pasalnya, dengan diberlakukannya sistem pembayaran perjalanan dinas yang lebih ketat, maka perjalanan dinas tidak bisa lagi diandalkan sebagai sumber pendapatan tambahan.
Anggota Badan Anggaran DPRD Provinsi Kalsel, Ibnu Sina mengungkapkan bahwa mulai tahun 2011, sistem lumpsum yang dari segi administrasi lebih longgar akan diganti dengan sistem at cost yang administrasinya lebih ketat.
Hal ini seiring dengan terbitnya Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 37 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan APBD 2011 yang mengamanatkan bahwa sistem pembayaran perjalanan dinas harus menggunakan sistem at cost.
“Kita akan melakukan konsultasi ke Mendagri terkait APBD Kalsel 2011 yang sudah disahkan. Kalau kita belum menggunakan sistem at cost, pasti akan dikembalikan,” ujarnya.
Ditanya lebih setuju sistem yang mana, dengan cepat ia menjawab bahwa pada dasarnya ia setuju dengan sistem yang mana saja. Namun, dari segi efisiensi, pembiayaan perjalanan dinas dengan sistem at cost jelas lebih efisien. Pasalnya, biaya tiket pesawat dan hotel tidak bisa lagi diakal-akali supaya terdapat selisih yang bisa diambil keuntungannya. Dengan sistem at cost, maka tiket pesawat dan hotel akan dibayar sesuai dengan harga yang sebenarnya.
“Kalau seperti itu, kita pun lebih enak kalau berangkat. Berapa hari perginya dan pakai pesawat dengan harga tiket berapa, ya bayarnya segitu,” katanya.
Ditambahkannya, dengan sistem at cost, maka bisa dilakukan penghematan dan meminimalisir pemborosan.
Anggota Badan Anggaran lainnya, Puar Junaidi juga mengatakan bahwa dengan menggunakan sistem at cost, dimana segala kegiatan harus dibuktikan dengan data administrasi, maka anggaran yang ada tidak mesti harus habis.
Seperti diberitakan sebelumnya, biaya perjalanan dinas anggota DPRD Provinsi Kalsel pada tahun 2011 sudah dianggarkan sebesar Rp 15 miliar. Namun, menurut Puar, anggaran tersebut tidak untuk dihabiskan. Anggaran tersebut hanya untuk mengantisipasi ketika ada kegiatan yang mengharuskan berangkat ke luar daerah.
“Rancangan itu mengacu pada hasil laporan pertanggungjawaban tahun lalu. Nah, rencana harus berangkat itu tidak ada, kalau diperlukan baru dijadwalkan. Sehingga anggaran yang dibuat bukan direncanakan untuk berangkat, tapi supaya anggaran itu sudah tersedia saat dibutuhkan. Sistem keuangan kita memang mengaturnya seperti itu,” tandasnya.
Disinggung mengenai pandangan miring masyarakat terhadap kegiatan ‘jalan-jalan’ yang dilakoni anggota dewan, baik dalam rangka kunjungan kerja maupun studi banding, menurutnya tergantung dari sudut mana melihatnya.
“Banyak hal yang kita dapat dari hasil studi banding untuk perbaikan terhadap sistem pemerintahan maupun pengelolaan sumber daya alam. Jadi, masih banyak hal positif yang diambil,” imbuhnya.
Namun, ditanya berapa anggaran perjalanan dinas yang sudah terealisasi di tahun 2010, ia mengaku kurang tahu karena belum ada laporan pertanggungjawaban akhir tahun.
At Cost Rawan Penyimpangan
BANJARMASIN – Kepala Bidang Akuntabilitas Pemerintah Daerah BPKP Kalsel, Dikdik Sadikin menjelaskan, ada dua sistem pembayaran perjalanan dinas, yaitu sistem at cost dan sistem lumpsum.
Sistem at cost artinya biaya perjalanan dibayar sesuai dengan bukti, misalnya kuitansi hotel dan boarding pass (pesawat). Pergi kemanapun dan berapa lama pun kalau memang buktinya asli, pegawai tidak akan mendapat kelebihan dari sisa biaya perjalanan.
“Memang sistem at cost ini paling ketat, sehingga pegawai sulit mengandalkan sistem ini sebagai sumber tambahan pendapatan. Administrasinya pun lebih repot karena harus diverfikasi kembali antara biaya dan bukti-buktinya. Dampaknya, pegawai enggan ke luar kota yang jauh, karena hasilnya sama saja,” ujarnya.
Meski demikian, sistem at cost ternyata rawan akan pemalsuan bukti, baik kuitansi hotel maupun boarding pass. Diungkapkannya, ada jaringan yang menjual tiket pesawat dan boarding pass palsu.
“Dia naik pesawat murah, sementara dia beli tiket palsu yang tercantum harganya lebih mahal. Nah, tiket palsu itu diajukan untuk mencairkan uang,” tuturnya.
Yang kedua adalah sistem lumpsum. Sistem ini memakai standar biaya tertentu. Misalnya, penginapan sehari dipatok Rp250 ribu. Baik pegawai yang bersangkutan menginap di hotel Rp500 ribu atau Rp100 ribu, tetap dibayar Rp 250 ribu dan tidak perlu kuitansi.
“Kecenderungannya, pegawai memilih hotel dan pesawat yang murah karena selisihnya bisa diambil. Kalau perlu, tidur di mesjid. Dampaknya, pegawai berebut ingin pergi ke tempat jauh, misalnya ke Papua. Kemudahannya memang di sisi administrasi, tapi kurang efesien,” pungkasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar