BANJARMASIN – Peraturan tentang kawasan dilarang merokok yang diusulkan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan mandek di biro hukum.
Kepala Dinkes Kalsel, drg Rosihan Adhani MS mengatakan bahwa draft peraturan tersebut sudah diajukan beberapa bulan lalu, namun sampai saat ini belum nampak ada perkembangan yang berarti.
“Kelihatannya masih dibahas,” ujarnya.
Ia menduga, lambannya tindak lanjut usulan tersebut karena terbentur agenda-agenda lain di pemerintahan yang dianggap lebih penting sehingga belum menjadi prioritas.
“Nanti akan kita pertanyakan lagi,” katanya.
Diterangkannya, peraturan tentang kawasan larangan merokok adalah amanat Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009. Pada pasal 115 disebutkan bahwa pemerintah daerah wajib menetapkan kawasan larangan rokok di wilayah masing-masing, antara lain fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja, dan tempat umum serta tempat lain yang ditetapkan.
Peraturan tentang kawasan dilarang merokok dinilai penting karena jumlah perokok pemula terus meningkat setiap tahunnya. Dari hasil riset terbaru, jumlah perokok secara nasional pada tahun 2010 mencapai 65 juta orang, dengan jumlah per batang rokok yg dikonsumsi 260 miliar batang. Sedangkan 28,2 persen perokok di Indonesia merokok setiap hari.
Namun, dengan adanya peraturan mengenai kawasan dilarang merokok ini, bukan berarti peredaran rokok akan ikut dilarang.
“Yang kita ajukan ini peraturan gubernur dulu karena arahnya nanti baru sebatas pada sosialiasi, belum sampai untuk sanksi,” katanya.
Meski demikian, pihaknya tetap akan mengimplementasikan amanah undang-undang. Selain itu, untuk sampai membuat peraturan daerah, masih harus menunggu selesainya pembahasan rancangan peraturan pemerintah (RPP) yang berkaitan dengan penggunaan produk atau hasil tembakau yang merupakan turunan dari UU Kesehatan. RPP tersebut hingga sekarang juga belum terbit.
“Kita kan harus mengacu ke sana, jangan sampai bertentangan. Itu juga salah satu pertimbangannya,” tambahnya.
Sementara itu, tantangan berat nampaknya tidak hanya soal bagaimana meloloskan usulan peraturan secepatnya, namun juga penerapannya di lapangan nanti. Sudah banyak daerah lain di Indonesia yang lebih dulu memiliki peraturan tentang kawasan larangan merokok, namun banyak juga yang gagal.
Tak usah jauh-jauh, di Banjarmasin pun sebetulnya ada peraturan walikota tentang kawasan larangan merokok yang diterbitkan pada tahun 2007. Namun, aplikasinya tak pernah terdengar.
“Karena memang tidak disertai sanksi-sanksi. Kedua, konsistensi dan keteladanan yang penting. Jangan sampai nanti nasibnya seperti itu, cuma jadi macan kertas,” ucapnya.
Di sisi lain, diperlukan suatu sistem yang mendukung untuk menjalankan sebuah peraturan, salah satunya adalah solusi bagi konsekuensi yang mungkin timbul dengan diterapkannya peraturan tersebut. Misalnya, dengan menyediakan tempat khusus merokok.
“Kita tidak melarang orang merokok, tapi jangan sampai mengganggu orang lain karena perokok pasif itu resikonya lebih tinggi,” tandasnya.
Kepala Dinkes Kalsel, drg Rosihan Adhani MS mengatakan bahwa draft peraturan tersebut sudah diajukan beberapa bulan lalu, namun sampai saat ini belum nampak ada perkembangan yang berarti.
“Kelihatannya masih dibahas,” ujarnya.
Ia menduga, lambannya tindak lanjut usulan tersebut karena terbentur agenda-agenda lain di pemerintahan yang dianggap lebih penting sehingga belum menjadi prioritas.
“Nanti akan kita pertanyakan lagi,” katanya.
Diterangkannya, peraturan tentang kawasan larangan merokok adalah amanat Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009. Pada pasal 115 disebutkan bahwa pemerintah daerah wajib menetapkan kawasan larangan rokok di wilayah masing-masing, antara lain fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja, dan tempat umum serta tempat lain yang ditetapkan.
Peraturan tentang kawasan dilarang merokok dinilai penting karena jumlah perokok pemula terus meningkat setiap tahunnya. Dari hasil riset terbaru, jumlah perokok secara nasional pada tahun 2010 mencapai 65 juta orang, dengan jumlah per batang rokok yg dikonsumsi 260 miliar batang. Sedangkan 28,2 persen perokok di Indonesia merokok setiap hari.
Namun, dengan adanya peraturan mengenai kawasan dilarang merokok ini, bukan berarti peredaran rokok akan ikut dilarang.
“Yang kita ajukan ini peraturan gubernur dulu karena arahnya nanti baru sebatas pada sosialiasi, belum sampai untuk sanksi,” katanya.
Meski demikian, pihaknya tetap akan mengimplementasikan amanah undang-undang. Selain itu, untuk sampai membuat peraturan daerah, masih harus menunggu selesainya pembahasan rancangan peraturan pemerintah (RPP) yang berkaitan dengan penggunaan produk atau hasil tembakau yang merupakan turunan dari UU Kesehatan. RPP tersebut hingga sekarang juga belum terbit.
“Kita kan harus mengacu ke sana, jangan sampai bertentangan. Itu juga salah satu pertimbangannya,” tambahnya.
Sementara itu, tantangan berat nampaknya tidak hanya soal bagaimana meloloskan usulan peraturan secepatnya, namun juga penerapannya di lapangan nanti. Sudah banyak daerah lain di Indonesia yang lebih dulu memiliki peraturan tentang kawasan larangan merokok, namun banyak juga yang gagal.
Tak usah jauh-jauh, di Banjarmasin pun sebetulnya ada peraturan walikota tentang kawasan larangan merokok yang diterbitkan pada tahun 2007. Namun, aplikasinya tak pernah terdengar.
“Karena memang tidak disertai sanksi-sanksi. Kedua, konsistensi dan keteladanan yang penting. Jangan sampai nanti nasibnya seperti itu, cuma jadi macan kertas,” ucapnya.
Di sisi lain, diperlukan suatu sistem yang mendukung untuk menjalankan sebuah peraturan, salah satunya adalah solusi bagi konsekuensi yang mungkin timbul dengan diterapkannya peraturan tersebut. Misalnya, dengan menyediakan tempat khusus merokok.
“Kita tidak melarang orang merokok, tapi jangan sampai mengganggu orang lain karena perokok pasif itu resikonya lebih tinggi,” tandasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar