A good journalist is not the one that writes what people say, but the one that writes what he is supposed to write. #TodorZhivkov

Senin, 10 Januari 2011

Dari Diskusi Budaya Kesultanan Banjar (2-Habis)

Kesultanan = Perlawanan Kaum Minoritas?

Kesinambungan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan adalah vitalitas dari sebuah kebudayaan. Inilah pemahaman yang hilang di tengah masyarakat kita. Harus ada rujukan ke masa lalu, tapi bukan masa lalu sebagai tempat tinggal yang nyaman. Kalau kita kembali ke feodalisme, itu sama saja dengan mengambil langkah mundur ke 200 tahun yang lampau.

NAZAT FITRIAH, Banjarmasin

Demikian diungkapkan Dr Mujiburrahman MA, akademisi IAIN Antasari Banjarmasin sekaligus pengamat sosial, dalam pemaparannya saat menjadi narasumber pada diskusi budaya bertajuk “Kesultanan Banjar dan Revitalisasi Kebudayaan Banjar” yang digelar oleh Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) Banjarmasin, Jumat (24/12) di Hotel Batung Batulis Banjarmasin. Narasumber lainnya adalah Prof Dr Djantra Kawi, akademisi Unlam yang juga pegiat budaya.
“Masa lalu tidak semuanya jelek. Tapi memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik, itu sebetulnya prinsip kebudayaan,” ucapnya.
Audience yang terdiri dari para cendekiawan dan seniman juga memiliki beragam pendapat. Ada yang sepakat bahwa kebangkitan Kesultanan Banjar adalah bentuk kerinduan masyarakat akan sosok pemimpin yang ideal di tengah degradasi kepemimpinan politik dewasa ini. Di lain pihak, ada pula yang melihatnya sebagai reaksi kaum minoritas yang dihantam hegemoni global dan ingin melakukan perlawanan sehingga tak menutup kemungkinan, selain Kesultanan Banjar nantinya akan muncul juga gerakan-gerakan sosial lainnya.
Taufik Arbain, akademisi sekaligus pegiat budaya mengatakan bahwa latar belakang menghidupkan Kesultanan Banjar ada dua, yakni untuk meningkatkan bargaining position Kalsel
serta melestarikan budaya. Alasan pertama erat kaitannya dengan harga diri, terutama dalam pembagian keuangan dari pusat ke daerah dimana selama ini Kalsel seakan tidak dianggap. Sedangkan alasan kedua merupakan reaksi atas ketidakmampuan pemerintah mengakomodir pemikiran seniman dan budayawan.
Sementara itu, Gusti Abidinsyah dari LAKKB mengatakan bahwa munculnya Kesultanan Banjar setelah dibubarkan oleh Belanda pada tahun 1860 adalah momen kebangkitan masyarakat Banjar.
“Dengan adanya Kesultanan Banjar, kita akan mecoba membangkitkan budaya leluhur kita. Kita akan mencoba kembali fungsi lama dengan bentuk baru tanpa mengurangi makna dalam kebudayaan itu sendiri. Kita semestinya bukan memperdebatkan wadah ini, tapi mau diisi apa silakan, yang penting kita gali semua kebudayaan Banjar,” katanya.

Tidak ada komentar: