Kejar PAD, Hak Pejalan Kaki Terabaikan
Tidak hanya pengguna kendaraan yang berhak atas jalan raya, tapi juga para pejalan kaki. Nah, untuk menjamin keselamatan dan kenyamanan para pejalan kaki, maka diciptakanlah trotoar. Di Banjarmasin, trotoar juga memiliki fungsi lain, yakni sebagai tempat pedagang kaki lima (PKL)
berjualan.
NAZAT FITRIAH, Banjarmasin
Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan, pihak manapun dilarang merusak atau mengganggu fungsi jalan, termasuk trotoar. Sebelumnya, hak-hak pejalan kaki juga sudah diatur dalam UU Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan.
Namun, faktanya selama ini alih fungsi trotoar marak terjadi dan dibiarkan saja. Para pejalan kaki seringkali terpaksa menggunakan badan jalan karena trotoar yang semestinya untuk mereka malah ditanami pohon, dibuat taman, dipasangi baliho, digunakan sebagai tempat
parkir, dan yang lebih parah menjadi areal berjualan PKL. Memang, sarana mobilitas masyarakat di kota seribu sungai lebih didominasi oleh kendaraan. Sangat jarang kita melihat orang berjalan kaki. Tapi, ini bukan alasan untuk menghilangkan hak para pejalankaki. Bagaimanapun, trotoar menjadi salah satu alat kelengkapan jalan yang harus ada. Dalam Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 19 Tahun 2002 tentang Pengaturan dan Pembinaan PKL, PKL dibolehkan berjualan di trotoar pada kawasan dan waktu tertentu yang ditetapkan oleh Walikota. Namun, poin berikutnya justru menyebutkan bahwa PKL dilarang melaksanakan kegiatan yang dapat menghambat pejalan kaki dan kelancaran lalu lintas umum.
Kenyataannya, keberadaan para PKL di trotoar jelas-jelas menghambat pejalan kaki dan kelancaran lalu lintas karena pengunjung yang mampir otomatis akan memarkir kendaraannya di badan jalan. Kepala Bidang Pembinaan Koperasi UMKM Dinas Koperasi dan UMKM Kota Banjarmasin, H Akhmadi SE ME mengatakan bahwa kebijakan pemerintah daerah yang mengizinkan PKL beraktifitas di trotoar adalah upaya menyiasati kekurangan lahan untuk masyarakat yang ingin berjualan.
“Mereka kan mencari nafkah, kalau dilarang mereka harus kemana? Tapi, mereka juga harus mematuhi jam tayang yang ditetapkan pemko, yaitu mulai pukul 15.00 sampai malam,” katanya.
Potensi pendapatan asli daerah dari retribusi PKL diakui juga sebagai alasan lain. Dalam hal ini, PKL Jl A Yani merupakan penyumbang pemasukan terbesar. Dari sekitar 100 PKL yang ada, pemko dapat meraup sekitar Rp 4-5 juta per bulannya.
Sementara itu, anggota Komisi III DPRD Kota Banjarmasin Ismina Mawarni SSos berpendapat bahwa trotoar semestinya dikembalikan ke fungsi aslinya.
“Kasihan pejalan kaki, trotoar dipakai jualan, sementara jalan juga dipenuhi kendaraan,” katanya.
Menurutnya, dinas terkait juga perlu memikirkan agar para PKL dapat meningkatkan taraf hidupnya sehingga suatu saat bisa memiliki lahan berjualan sendiri dan tidak berjualan di jalan lagi.
“Kalau usaha mereka meningkat, PAD yang didapat pemerintah juga akan lebih besar,” tandasnya.
Tidak hanya pengguna kendaraan yang berhak atas jalan raya, tapi juga para pejalan kaki. Nah, untuk menjamin keselamatan dan kenyamanan para pejalan kaki, maka diciptakanlah trotoar. Di Banjarmasin, trotoar juga memiliki fungsi lain, yakni sebagai tempat pedagang kaki lima (PKL)
berjualan.
NAZAT FITRIAH, Banjarmasin
Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan, pihak manapun dilarang merusak atau mengganggu fungsi jalan, termasuk trotoar. Sebelumnya, hak-hak pejalan kaki juga sudah diatur dalam UU Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan.
Namun, faktanya selama ini alih fungsi trotoar marak terjadi dan dibiarkan saja. Para pejalan kaki seringkali terpaksa menggunakan badan jalan karena trotoar yang semestinya untuk mereka malah ditanami pohon, dibuat taman, dipasangi baliho, digunakan sebagai tempat
parkir, dan yang lebih parah menjadi areal berjualan PKL. Memang, sarana mobilitas masyarakat di kota seribu sungai lebih didominasi oleh kendaraan. Sangat jarang kita melihat orang berjalan kaki. Tapi, ini bukan alasan untuk menghilangkan hak para pejalankaki. Bagaimanapun, trotoar menjadi salah satu alat kelengkapan jalan yang harus ada. Dalam Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 19 Tahun 2002 tentang Pengaturan dan Pembinaan PKL, PKL dibolehkan berjualan di trotoar pada kawasan dan waktu tertentu yang ditetapkan oleh Walikota. Namun, poin berikutnya justru menyebutkan bahwa PKL dilarang melaksanakan kegiatan yang dapat menghambat pejalan kaki dan kelancaran lalu lintas umum.
Kenyataannya, keberadaan para PKL di trotoar jelas-jelas menghambat pejalan kaki dan kelancaran lalu lintas karena pengunjung yang mampir otomatis akan memarkir kendaraannya di badan jalan. Kepala Bidang Pembinaan Koperasi UMKM Dinas Koperasi dan UMKM Kota Banjarmasin, H Akhmadi SE ME mengatakan bahwa kebijakan pemerintah daerah yang mengizinkan PKL beraktifitas di trotoar adalah upaya menyiasati kekurangan lahan untuk masyarakat yang ingin berjualan.
“Mereka kan mencari nafkah, kalau dilarang mereka harus kemana? Tapi, mereka juga harus mematuhi jam tayang yang ditetapkan pemko, yaitu mulai pukul 15.00 sampai malam,” katanya.
Potensi pendapatan asli daerah dari retribusi PKL diakui juga sebagai alasan lain. Dalam hal ini, PKL Jl A Yani merupakan penyumbang pemasukan terbesar. Dari sekitar 100 PKL yang ada, pemko dapat meraup sekitar Rp 4-5 juta per bulannya.
Sementara itu, anggota Komisi III DPRD Kota Banjarmasin Ismina Mawarni SSos berpendapat bahwa trotoar semestinya dikembalikan ke fungsi aslinya.
“Kasihan pejalan kaki, trotoar dipakai jualan, sementara jalan juga dipenuhi kendaraan,” katanya.
Menurutnya, dinas terkait juga perlu memikirkan agar para PKL dapat meningkatkan taraf hidupnya sehingga suatu saat bisa memiliki lahan berjualan sendiri dan tidak berjualan di jalan lagi.
“Kalau usaha mereka meningkat, PAD yang didapat pemerintah juga akan lebih besar,” tandasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar