BANJARMASIN – Dengan sentuhan kreatifitas, limbah yang
sepintas nampak tak berguna bisa disulap menjadi berkah. Seperti tanaman eceng
gondok yang kerap dipandang sebagai pengganggu, ternyata bisa dikreasikan
menjadi barang yang bernilai ekonomis.
Setidaknya hal itu sudah dibuktikan oleh Valis (32). Melihat
tanaman eceng gondok yang melimpah di kotanya Lamongan Jawa Timur, ia
terinspirasi untuk memanfaatkannya sebagai bahan pembuatan aneka aksesoris
perempuan, diantaranya dompet dan tas.
“Mulai tahun 2004 produksi, tapi sejak tahun 2002 saya lebih
dulu melakukan penjajakan pasar karena ini bukan produk massal,” ujarnya saat
dijumpai di Banjarmasin Trade Expo 2011, kemarin.
Hampir 70 persen bahan baku berasal dari kampungnya sendiri.
Di sana, keberadaan eceng gondok meresahkan
masyarakat karena memenuhi sungai dan membuat sungai jadi tidak mengalir.
“Akhirnya, kita coba manfaatkan dan diolah jadi komoditas
yang layak jual,” katanya.
Selain eceng gondok, perempuan berkerudung itu juga
memanfaatkan bahan alami lain, mulai tempurung kelapa, kulit kayu, sampai
rumput mending biasanya digunakan untuk pakan sapi. Soal daya tahan, menurutnya
cukup baik meski terbuat dari bahan-bahan alam dan sudah teruji karena ada pula
yang dijadikan sebagai bahan pembuatan furnitur.
“Untuk pewarna kita juga pakai bahan alami. Prosesnya dengan
cara dimasak dengan air mendidih supaya tidak luntur, jadi bukan sekadar
dicat,” tambahnya.
Harga yang ditawarkan pun
cukup terjangkau, mulai Rp 10 ribu sampai sampai paling mahal Rp 300
ribu untuk tas berbahan paduan kulit.
Sejak tahun 2006,pemasaran produk kreasi Valis berkesempatan
untuk merambah pasar mancanegara, khususnya Timur Tengah. Sedangkan di dalam
negeri, Bali dan Yogyakarta menjadi pasar yang paling potensial, mengingat
kedua daerah tersebut merupakan destinasi wisata di Indonesia. Kini, omzet bisnisnya
telah mencapai Rp 150 juta perbulan.
Sementara itu, selain berhasil mengurangi masalah limbah di
daerahnya, bisnis yang dirintis Valis juga mampu membuka lapangan kerja. Karena
tahap pembuatan produk cukup panjang dan semua dikerjakan dengan tangan, maka
tenaga kerja yang dibutuhkan juga banyak.
“Karena ini sistem plasma, proses banyak dan semua manual
tanpa mesin, jadi perlu tenaga kerja banyak juga. Jumlahnya sekitar 50 orang,
rata-rata kami mempekerjakan buruh tani,” tuturnya.
Diterangkannya, Lamongan merupakan daerah kering. Mayoritas
penduduknya bekerja di sektor agraris. Jika sedang musim kemarau, banyak di
antara mereka yang pergi ke luar daerah untuk mencari pekerjaan lain.
“Sekarang pasar produk kami sudah meningkat, jadi kami
mencoba memberdayakan masyarakat supaya mereka tidak perlu lagi ke luar lagi,”
ucapnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar