Kapal Berkurang,
Dermaga Memprihatinkan
Keberadaan
Jembatan Barito membuat akses jalan Banjarmasin-Palangkaraya menjadi lebih
mudah. Di sisi lain, kondisi tersebut juga menyebabkan armada bus air di
Dermaga Banjar Raya Banjarmasin kehilangan penumpang. Seiring jumlah kapal yang
kini terus menyusut, kondisi fisik dermaga pun tak lagi mendapat perhatian.
NAZAT FITRIAH,
Banjarmasin
Dermaga Banjar
Raya yang terletak di Jl Barito Hulu RT 47 Kelurahan Pelambuan Kecamatan
Banjarmasin Barat ini dibangun pada tahun 1982
untuk melayani penumpang yang ingin pergi ke sejumlah daerah di Kalimantan
Tengah, seperti Palangkaraya, Buntok, Puruk Cahu, dan Muara Teweh. Awalnya,
terdapat lebih dari 30 buah kapal yang beroperasi. Namun, sejak Jembatan Barito
diresmikan tahun 1997, bus air mulai ditinggalkan.
Pasalnya, banyak
penumpang yang hendak ke Kalteng lebih memilih jalur darat karena lebih cepat.
Kalau naik kapal dari Dermaga Banjar Raya, waktu tempuh bisa mencapai dua atau
tiga hari tiga malam. Tapi dengan mobil atau bus, perjalanannya cuma hitungan
jam saja. Sedangkan para penumpang yang masih setia dengan bus air rata-rata
bermukim di tepian sungai, sehingga bagi mereka lebih efisien naik kapal. Saat
ini, jumlah kapal yang masih bertahan di Dermaga Banjar Raya tinggal tiga buah,
yakni KM Delta Barito, KM Bahtera Barito, dan KM Pancar Mas II. Kapal yang
lainnya ada yang dijual, dijadikan feri penyeberangan, atau disulap menjadi
kelotok embal untuk mengangkut kayu sibitan.
"Dulu dalam
sebulan kami biasa berangkat dua kali. Kalau sekarang tidak tentu, kadang bisa
dua kali berangkat saja dalam tiga bulan," ujar Adan (30), anak buah kapal
(ABK) KM Pancar Mas II kepada Radar Banjarmasin, kemarin.
Terlebih jika
musim kemarau, kapal bisa berbulan-bulan tidak bisa jalan karena kedalaman air
tidak memungkinkan untuk dilalui. KM Pancar Mas II melayani berbagai rute ke
Kalteng dengan tarif bervariasi, misalnya ke Buntok Rp 54 ribu perorang, Muara
Teweh Rp 81 ribu perorang, dan Puruk Cahu Rp 105 ribu. Selain penumpang, kapal
juga bisa mengangkut berbagai barang, seperti sepeda motor. Kapal sendiri
memiliki kapasitas penumpang sekitar 44 orang. Karena perjalanan memakan waktu
lebih dari sehari, untuk penumpang disediakan ranjang tidur bertingkat dua,
masing-masing 12 ranjang di lantai bawah dan 10 ranjang di lantai atas.
"Sekarang
kalau berangkat kapal jarang penuh, penumpangnya paling 5-10 orang. Yang banyak
justru barang, terutama bahan bangunan seperti semen," tuturnya.
Menurut Adan,
penurunan volume penumpang mulai terasa sejak tahun 2000. Di samping jumlah
kapal yang makin menyusut, pudarnya pamor bus air di Dermaga Banjar Raya juga
berimbas pada hilangnya pendapatan para buruh angkut. Seperti diakui Arifin
(45), pendapatannya kini sudah jauh berkurang.
"Sebelum
ada Jembatan Barito masih ramai. Tapi sekarang sunyi, kapalnya saja tinggal
tiga buah," ucapnya. Untuk menambah penghasilan, ia pun bekerja sebagai
penjaga sekaligus petugas kebersihan di Kantor Pos Dermaga Banjar Raya.
Selain bus air
tujuan Kalteng, di Dermaga Banjar Raya juga terdapat kapal penyeberangan ke
Tamban yang beroperasi setiap hari. Saat ini, ada lima kapal yang melayani rute
tersebut.
Sementara itu,
seiring aktivitas di Dermaga Banjar Raya yang kian sepi, keberadaan dermaga ini
pun seperti tak diperhatikan lagi. Lantai dermaga yang terbuat dari papan-papan
kayu bolong di sana-sini sehingga orang yang berlalu-lalang harus berhati-hati.
Tak hanya itu, kondisi Kantor Pos Dermaga Banjar Raya juga tak terawat. Atapnya
yang bergaya rumah Banjar dan plafonnya banyak yang jebol sehingga air hujan
merembes masuk dan membuat genangan di beberapa sudut ruangan. Kaca-kacanya
kusam. Sepintas, bangunan yang terbuat dari kayu ulin dengan ukuran cukup luas
ini terlihat bak rumah yang sudah lama tak berpenghuni.
Padahal, kantor
tersebut sampai hari ini masih dipakai, meskipun hanya Kepala Pos Dermaga
Banjar Raya yang kini dijabat Nortain saja yang setiap hari ngantor di sana.
Tak ada pegawai lainnya.
"Karena
kapal makin lama makin berkurang, akhirnya kepalanya saja yang jaga
sendiri," kata Nortain.
Masuk ke bagian
dalam kantor, kondisinya benar-benar seperti rumah kosong. Tak ada perabot, tak
ada tanda-tanda kehidupan. Semua ruangan yang ada pun sudah tidak difungsikan
lagi, kecuali ruangan Kepala Pos. Di samping kiri pintu masuk, terdapat dua
buah ruangan terkunci yang dulunya merupakan ruangan syahbandar dan Polairud.
Kemudian, di sisi kiri bangunan ada ruangan kecil bekas loket penjualan tiket.
Lalu, ada juga toilet dan musala yang kondisinya sangat mengenaskan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar