BANJARMASIN - Sebanyak 53 ribu warga lanjut usia (lansia) di Kalimantan Selatan terlantar. Sekitar 4 ribu orang diantaranya berada di Kota Banjarmasin. Mereka hidup terkatung-katung karena tak ada keluarga yang merawat dan tak punya tempat tinggal untuk berteduh.
"Mereka terlantar karena tidak punya keluarga dan rumah," ujar Sekretaris Badan Koordinasi Kegiatan Kesejahteraan Sosial (BK3S) Kalsel, Yuherli.
Selain terlantar, hak-hak warga lansia juga masih terabaikan. Dicontohkannya, dalam undang-undang lansia diberikan beberapa "hak istimewa", misalnya mendapat potongan tarif angkutan sebesar 30 persen dan diprioritaskan untuk berhaji.
"Prioritas berhaji untuk lansia baru diberikan mulai tahun ini," sambungnya.
Ironisnya, permasalahan kaum lansia belum mendapat perhatian serius, khususnya dari pemerintah daerah. Diungkapkannya, beberapa program penanganan masalah lansia yang dijalankan pihaknya saat ini sepenuhnya dibiayai oleh pemerintah pusat melalui APBN. Salah satu dari program tersebut adalah Sistem Jaminan Lanjut Usia (SJLU), dimana setiap lansia diberikan uang makan sebesar Rp 10 ribu perhari.
"Dari pemerintah daerah tidak ada," katanya.
Di Kalsel, hanya sekitar 70 orang lansia saja yang mendapat jatah uang makan tersebut. Selain SJLU, ada juga program pendampingan keluarga dan kunjungan (home care). Namun, rasio petugas yang tersedia untuk melakukan pendampingan ini pun masih jauh dari ideal.
"Untuk menangani 53 warga lansia terlantar di Kalsel, jumlah petugas yang ada cuma 28 orang," tukasnya.
Jumlah itu disesuaikan dengan kemampuan APBN. Mestinya, lanjutnya, pemerintah daerah ikut menganggarkan dana pendamping agar lebih banyak lagi lansia yang bisa dibantu. Namun, selama lima tahun berdiri, BK3S Kalsel bahkan belum pernah mendapat kucuran dana secuil pun dari APBD.
"Kami hanya dapat bantuan dari pusat sebesar Rp 12 juta pertahun, itu habis untuk biaya operasional saja," keluhnya.
Di samping lansia, BK3S juga menangani masalah-masalah kesejahteraan sosial lainnya yang mencakup 28 kelompok, utamanya anak jalanan, fakir miskin, penyandang cacat, dan wanita rawan sosial.
"Mereka terlantar karena tidak punya keluarga dan rumah," ujar Sekretaris Badan Koordinasi Kegiatan Kesejahteraan Sosial (BK3S) Kalsel, Yuherli.
Selain terlantar, hak-hak warga lansia juga masih terabaikan. Dicontohkannya, dalam undang-undang lansia diberikan beberapa "hak istimewa", misalnya mendapat potongan tarif angkutan sebesar 30 persen dan diprioritaskan untuk berhaji.
"Prioritas berhaji untuk lansia baru diberikan mulai tahun ini," sambungnya.
Ironisnya, permasalahan kaum lansia belum mendapat perhatian serius, khususnya dari pemerintah daerah. Diungkapkannya, beberapa program penanganan masalah lansia yang dijalankan pihaknya saat ini sepenuhnya dibiayai oleh pemerintah pusat melalui APBN. Salah satu dari program tersebut adalah Sistem Jaminan Lanjut Usia (SJLU), dimana setiap lansia diberikan uang makan sebesar Rp 10 ribu perhari.
"Dari pemerintah daerah tidak ada," katanya.
Di Kalsel, hanya sekitar 70 orang lansia saja yang mendapat jatah uang makan tersebut. Selain SJLU, ada juga program pendampingan keluarga dan kunjungan (home care). Namun, rasio petugas yang tersedia untuk melakukan pendampingan ini pun masih jauh dari ideal.
"Untuk menangani 53 warga lansia terlantar di Kalsel, jumlah petugas yang ada cuma 28 orang," tukasnya.
Jumlah itu disesuaikan dengan kemampuan APBN. Mestinya, lanjutnya, pemerintah daerah ikut menganggarkan dana pendamping agar lebih banyak lagi lansia yang bisa dibantu. Namun, selama lima tahun berdiri, BK3S Kalsel bahkan belum pernah mendapat kucuran dana secuil pun dari APBD.
"Kami hanya dapat bantuan dari pusat sebesar Rp 12 juta pertahun, itu habis untuk biaya operasional saja," keluhnya.
Di samping lansia, BK3S juga menangani masalah-masalah kesejahteraan sosial lainnya yang mencakup 28 kelompok, utamanya anak jalanan, fakir miskin, penyandang cacat, dan wanita rawan sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar