Perusahaan Tak Mampu Ikuti Aturan
BANJARMASIN - Ratusan pekerja outsourcing PT Wijaya Triutama
Plywood Industry mogok kerja sejak Jumat (10/8) demi menuntut tunjangan hari
raya (THR). Karena tak kunjung ada solusi, Dinas Sosial dan Tenaga Kerja
(Dinsosnaker) Kota Banjarmasin kemarin (13/8) memediasi pertemuan antara para
pekerja dengan manajemen PT Wijaya Triutama Plywood Industry serta perusahaan penyedia
jasa tenaga outsourcing yang menaungi mereka.
Salah seorang perwakilan pekerja, Hamsani, mengatakan bahwa
pihaknya tidak bermaksud memberontak, tapi hanya meminta kebijaksanaan perusahaan.
"Dalam pengumuman hanya ada parcel. Kami bukan mau memberontak atau demo, tapi kami punya anak buah," ucapnya.
"Dalam pengumuman hanya ada parcel. Kami bukan mau memberontak atau demo, tapi kami punya anak buah," ucapnya.
Ada sekitar 500 orang pekerja outsourcing yang bekerja di PT
Wijaya Triutama Plywood Industry. Mereka
dinaungi dua perusahaan penyedia jasa tenaga outsourcing, yakni PT Flinarta Uli
(FU) dan PT Kurnia Sandi Utama (KSU), sebagian lagi di bawah koperasi karyawan
(kopkar).
Asisten Manajer Personalia dan Umum PT Wijaya Triutama
Plywood Industry Joko Wahyudi mengatakan, dalam perjanjian disebutkan bahwa
pemberian THR merupakan tanggung jawab perusahaan penyedia jasa tenaga outsourcing.
Hal itu diamini Berlin Pandjaitan dari PT FU. Menurutnya, pada tahun ini pihaknya sudah menyiapkan THR plus parcel. Rencananya akan diberikan bersamaan dengan pengambilan gaji pada tanggal 15 Agustus 2012.
Hal itu diamini Berlin Pandjaitan dari PT FU. Menurutnya, pada tahun ini pihaknya sudah menyiapkan THR plus parcel. Rencananya akan diberikan bersamaan dengan pengambilan gaji pada tanggal 15 Agustus 2012.
“Tapi perusahaan tidak bisa memberikan THR sesuai aturan. Kami
hanya mampu memberikan Rp 200 ribu untuk masa kerja setahun ke atas dan Rp 100
ribu untuk masa kerja di bawah setahun. Untuk parcel nilainya Rp 100
ribu," ungkapnya.
Jumlah karyawan dengan masa kerja di atas setahun sekitar
210 orang, sedangkan di bawah setahun sekita 100 orang. Hal senada dikatakan
Syahran dari PT KSU. Dengan alasan ketidakmampuan perusahaan, pemberian THR
tidak bisa mengikuti aturan.
“Untuk masa kerja di atas setahun Rp 150 ribu dan Rp 100
ribu untuk yang di bawah setahun, ditambah parcel senilai Rp 75 ribu,” katanya.
Sedangkan dari Kopkar tidak ada perwakilan. Para pekerja
sendiri menuntut besaran THR sama dengan gaji sebulan. Setelah dilakukan
negosiasi ulang, PT FU hanya bersedia menaikkan THR untuk masa kerja di atas
setahun dari Rp 200 ribu menjadi Rp 250 ribu, sedangkan yang kurang dari
setahun tetap Rp 100 ribu. Demikian juga PT KSU, untuk masa kerja di atas
setahun dinaikkan jadi Rp 200 ribu, sementara yang kurang dari setahun tetap Rp
100 ribu.
“Saya diperas bagaimanapun tidak mampu. Kalau tidak mampu
dari mana saya paksakan? Bagi yang setuju silakan ambil tanggal 15 Agustus,” ucap
Berlin dari PT FU.
Sementara itu, Kepala Dinsosnaker Kota Banjarmasin Agus
Surono mengatakan pihaknya hanya bisa menunggu perkembangan kesepakatan
lanjutan antara pekerja dengan perusahaan. Soal alasan perusahaan yang tak bisa
membayar THR sesuai Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 4 Tahun 1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja di
Perusahaan dengan dalih kemampuan keuangan tidak memungkinkan, ia mengatakan
bahwa pihaknya tidak bisa melakukan audit internal dan masuk ke core business perusahaan
untuk memastikan.
“Tapi perusahaan berjanji tahun depan akan dilakukan
perhitungan ulang, sehingga kejadian tahun ini tidak terulang lagi,” ucapnya.
Tak Sepakat, Bawa ke Pengadilan
Sudah hampir dua tahun Siti Radiah bekerja
dengan status tenaga outsourcing di PT Wijaya Triutama Plywood Industry. Ia
bekerja di bagian penambalan, rata-rata 11-12 jam perhari. Tak ada libur,
kecuali bila ada pergantian shift. Upah pun tak pasti karena dihitung berdasar
hasil produksi.
“Upah Rp 40 perlembar, dalam sehari paling dapat Rp 20
ribu-Rp 30 ribu. Paling banyak Rp 40 ribu,” tuturnya.
Menurutnya, dari perusahaan sebenarnya menetapkan Rp 90
perlembar. Selebihnya dipotong perusahaan penyedia jasa tenaga
outsourcing. Lebaran tahun lalu, ia
hanya menerima parcel. Tak ada THR.
Hal sama dialami Uliansyah.
Selama tiga tahun bekerja, ia tak pernah mendapat THR yang menjadi
haknya. Dibanding karyawan tetap di perusahaan tempatnya bekerja, beban
kerjanya lebih berat, tapi upah lebih minim. Pada hari Minggu, pekerja bagian
rotary atau pengupasan itu tetap masuk dengan tambahan upah lembur Rp 10 ribu. Pada
tanggal merah, upahnya sama seperti hari biasa. Dua hari bolos diberhentikan.
“Kalau tidak seperti ini (mogok, Red), perusahaan mungkin tidak
ada niat bayar. Parcel lagi parcel lagi,” curhatnya.
Terkait besaran THR yang kemarin (13/8) disepakati, sebagian
pekerja ada yang legowo menerima. Tapi ada juga yang masih tak sepakat dan
memutuskan tidak akan mengambil THR yang disediakan perusahaan. Bahkan, jika
tak kunjung ada titik temu mereka berencana membawa masalah ini ke
pengadilan. Tapi langkah ini dinilai
akan lebih banyak merugikan pekerja sendiri.
“Kalau tetap buntu, proses berikutnya ya di Pengadilan
Hubungan Industrial. Tapi prosesnya tidak cukup 1-2 bulan. Kalau nanti ada
banding, harus ke Jakarta. Belum lagi sewa pengacara, biaya lagi,” kata Kepala
Dinsosnaker Kota Banjarmasin Agus Surono.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar