A good journalist is not the one that writes what people say, but the one that writes what he is supposed to write. #TodorZhivkov

Rabu, 15 Agustus 2012

Tuntut THR, Pekerja Outsourcing Mogok


Perusahaan Tak Mampu Ikuti Aturan

BANJARMASIN - Ratusan pekerja outsourcing PT Wijaya Triutama Plywood Industry mogok kerja sejak Jumat (10/8) demi menuntut tunjangan hari raya (THR). Karena tak kunjung ada solusi, Dinas Sosial dan Tenaga Kerja (Dinsosnaker) Kota Banjarmasin kemarin (13/8) memediasi pertemuan antara para pekerja dengan manajemen PT Wijaya Triutama Plywood Industry serta perusahaan penyedia jasa tenaga outsourcing yang menaungi mereka.
Salah seorang perwakilan pekerja, Hamsani, mengatakan bahwa pihaknya tidak bermaksud memberontak, tapi hanya meminta kebijaksanaan perusahaan.
"Dalam pengumuman hanya ada parcel. Kami bukan mau memberontak atau demo, tapi kami punya anak buah," ucapnya.
Ada sekitar 500 orang pekerja outsourcing yang bekerja di PT Wijaya Triutama Plywood Industry.  Mereka dinaungi dua perusahaan penyedia jasa tenaga outsourcing, yakni PT Flinarta Uli (FU) dan PT Kurnia Sandi Utama (KSU), sebagian lagi di bawah koperasi karyawan (kopkar).
Asisten Manajer Personalia dan Umum PT Wijaya Triutama Plywood Industry Joko Wahyudi mengatakan, dalam perjanjian disebutkan bahwa pemberian THR merupakan tanggung jawab perusahaan penyedia jasa tenaga outsourcing.
Hal itu diamini Berlin Pandjaitan dari PT FU. Menurutnya, pada tahun ini pihaknya sudah menyiapkan THR plus parcel. Rencananya akan diberikan bersamaan dengan pengambilan gaji pada  tanggal 15 Agustus 2012.
“Tapi perusahaan tidak bisa memberikan THR sesuai aturan. Kami hanya mampu memberikan Rp 200 ribu untuk masa kerja setahun ke atas dan Rp 100 ribu untuk masa kerja di bawah setahun. Untuk parcel nilainya Rp 100 ribu," ungkapnya.
Jumlah karyawan dengan masa kerja di atas setahun sekitar 210 orang, sedangkan di bawah setahun sekita 100 orang. Hal senada dikatakan Syahran dari PT KSU. Dengan alasan ketidakmampuan perusahaan, pemberian THR tidak bisa mengikuti aturan.
“Untuk masa kerja di atas setahun Rp 150 ribu dan Rp 100 ribu untuk yang di bawah setahun, ditambah parcel senilai Rp 75 ribu,” katanya.
Sedangkan dari Kopkar tidak ada perwakilan. Para pekerja sendiri menuntut besaran THR sama dengan gaji sebulan. Setelah dilakukan negosiasi ulang, PT FU hanya bersedia menaikkan THR untuk masa kerja di atas setahun dari Rp 200 ribu menjadi Rp 250 ribu, sedangkan yang kurang dari setahun tetap Rp 100 ribu. Demikian juga PT KSU, untuk masa kerja di atas setahun dinaikkan jadi Rp 200 ribu, sementara yang kurang dari setahun tetap Rp 100 ribu.
“Saya diperas bagaimanapun tidak mampu. Kalau tidak mampu dari mana saya paksakan? Bagi yang setuju silakan ambil tanggal 15 Agustus,” ucap Berlin dari PT FU.
Sementara itu, Kepala Dinsosnaker Kota Banjarmasin Agus Surono mengatakan pihaknya hanya bisa menunggu perkembangan kesepakatan lanjutan antara pekerja dengan perusahaan. Soal alasan perusahaan yang tak bisa membayar THR sesuai Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 4 Tahun 1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja di Perusahaan dengan dalih kemampuan keuangan tidak memungkinkan, ia mengatakan bahwa pihaknya tidak bisa melakukan audit internal dan masuk ke core business perusahaan untuk memastikan.
“Tapi perusahaan berjanji tahun depan akan dilakukan perhitungan ulang, sehingga kejadian tahun ini tidak terulang lagi,” ucapnya. 

Tak Sepakat, Bawa ke Pengadilan
Sudah hampir dua tahun Siti Radiah bekerja dengan status tenaga outsourcing di PT Wijaya Triutama Plywood Industry. Ia bekerja di bagian penambalan, rata-rata 11-12 jam perhari. Tak ada libur, kecuali bila ada pergantian shift. Upah pun tak pasti karena dihitung berdasar hasil produksi. 
“Upah Rp 40 perlembar, dalam sehari paling dapat Rp 20 ribu-Rp 30 ribu. Paling banyak Rp 40 ribu,” tuturnya.
Menurutnya, dari perusahaan sebenarnya menetapkan Rp 90 perlembar. Selebihnya dipotong perusahaan penyedia jasa tenaga outsourcing.  Lebaran tahun lalu, ia hanya menerima parcel. Tak ada THR.
Hal sama dialami Uliansyah.  Selama tiga tahun bekerja, ia tak pernah mendapat THR yang menjadi haknya. Dibanding karyawan tetap di perusahaan tempatnya bekerja, beban kerjanya lebih berat, tapi upah lebih minim. Pada hari Minggu, pekerja bagian rotary atau pengupasan itu tetap masuk dengan tambahan upah lembur Rp 10 ribu. Pada tanggal merah, upahnya sama seperti hari biasa. Dua hari bolos diberhentikan.
“Kalau tidak seperti ini (mogok, Red), perusahaan mungkin tidak ada niat bayar. Parcel lagi parcel lagi,” curhatnya.
Terkait besaran THR yang kemarin (13/8) disepakati, sebagian pekerja ada yang legowo menerima. Tapi ada juga yang masih tak sepakat dan memutuskan tidak akan mengambil THR yang disediakan perusahaan. Bahkan, jika tak kunjung ada titik temu mereka berencana membawa masalah ini ke pengadilan.  Tapi langkah ini dinilai akan lebih banyak merugikan pekerja sendiri.
“Kalau tetap buntu, proses berikutnya ya di Pengadilan Hubungan Industrial. Tapi prosesnya tidak cukup 1-2 bulan. Kalau nanti ada banding, harus ke Jakarta. Belum lagi sewa pengacara, biaya lagi,” kata Kepala Dinsosnaker Kota Banjarmasin Agus Surono.

Tidak ada komentar: