A good journalist is not the one that writes what people say, but the one that writes what he is supposed to write. #TodorZhivkov

Rabu, 13 Juni 2012

Mitan Bersubsidi Merembes


Mitan Nonsubsidi Menghilang

BANJARMASIN – Pertamina telah menghentikan pasokan mitan bersubsidi di tiga daerah di Kalimantan Selatan yang telah melaksanakan konversi. Di Banjarmasin, mitan bersubsidi resmi ditarik sepenuhnya pada akhir Februari 2012, meskipun konversi belum sepenuhnya tuntas.
Tapi faktanya mitan bersubsidi masih bisa dijumpai di masyarakat. Bahkan, dalam sebulan terakhir boleh dibilang ‘banjir’. Di sisi lain, mitan nonsubsidi yang disalurkan Pertamina sebagai pengganti ‘menghilang’ di pasaran karena tidak diminati pembeli.
Keberadaan pedagang mitan bersubsidi eceran di daerah Kelayan terlihat paling menjamur. Harga jualnya bervariasi, mulai Rp 8.700-Rp 9 ribu perliter. Penjualnya juga mulai skala kecil hingga pangkalan. Maklum saja, di kawasan yang kepadatan penduduknya terkenal se-Asia Tenggara itu banyak warga yang belum memakai elpiji dan mitan masih diburu.
“Saya sempat jual mitan nonsubsidi, tapi banyak masyarakat tidak mau beli. Katanya pakai minyak itu apinya kecil dan memakan sumbu. Banyak yang cari minyak putih (istilah masyarakat untuk minyak bersubsidi karena warnanya bening, Red),” ucap Supiannor, salah seorang pemilik pangkalan elpiji di Jl Kelayan Dalam yang ditemui Selasa (12/6).
Karena banyak yang mencari itulah, ia lantas berhenti menyuplai mitan nonsubsidi dan beralih ke mitan bersubsidi. Tadinya harga jual sempat meroket hingga Rp 10 ribu perliter. Tapi setelah yang berjualan bertambah banyak, harganya pun merosot karena adanya persaingan. Untung berjualan tidak banyak sebenarnya, cuma Rp 200 saja perliter. Bahkan cenderung rugi, karena modal besar tapi keuntungan kecil.
“Kalau seliter Rp 8.800. Kalau bepuluh Rp 8.700. Kalau setengah Rp 9 ribu,”
Hal yang sama diungkapkan Syarifudin, salah satu pedagang mitan bersubidi eceran di Jl Kelayan A. Dalam sebulan ini, ia mengistilahkan pasokan mitan bersubsidi membanjir sehingga harganya ikut terkerek turun.
“Sebenarnya saya lebih pilih jual elpiji, untungnya lebih banyak. Kalau mitan paling Rp 100-Rp 200 perliter. Tapi karena banyak yang cari, saya jual,” tuturnya
Menurutnya, stok satu drum atau sekitar 200 liter rata-rata habis dalam 2-3 hari. Mengingat Pertamina tak lagi memasok mitan bersubsidi di Banjarmasin, bisa dipastikan mitan bersubsidi yang mereka jual didatangkan dari daerah lain yang belum melaksanakan konversi. Mulai dari daerah di Kalsel sendiri, seperti Kabupaten Barito Kuala dan Kabupaten Tanah Laut, hingga ke Kalimantan Tengah, khususnya Kapuas.
“Itu orang yang biasa mengantar minyak,” kata Syarifudin seraya menunjuk sebuah sepeda motor yang tiba-tiba berhenti di depan kiosnya. Beberapa jeriken yang ditumpuk di jok segera diturunkan, lalu isinya disedot dengan selang dan dipindahkan ke wadah lain.
Si pengendara sepeda motor yang mengaku bernama Edo (30) mengungkapkan, mitan bersubsidi tersebut dibelinya dari pangkalan di Pelaihari dan Bati-bati Kabupaten Tanah Laut. Biasanya ia hanya membeli kalau ada pesanan. Sekali beli rata-rata 150-200 liter. Warga Jl Kelayan A ini sendiri baru sebulan melakoni profesi tersebut karena pekerjaan sebelumnya sebagai tukang ojek kurang menghasilkan.
“Untungnya sih tidak banyak, karena harga beli di sana sudah mahal duluan, sekarang Rp 8 ribuan perliter. Terus saya jual lagi karena malas menjajakan,” ujarnya.
Seiring derasnya rembesan mitan bersubsidi ke Banjarmasin, mitan nonsubsidi yang harganya lebih mahal tidak laku lagi. Salah satu agen mitan dan elpiji di Banjarmasin, PT Citra Nusa Prima bahkan sudah tak menyalurkan mitan nonsubsidi sejak tiga bulan silam.
“Awalnya sempat jual, tapi sekarang kami fokus ke elpiji saja,” kata Manajer Pemasaran PT Citra Nusa Prima M Najib yang ditemui di kantornya Jl RE Martadinata.
Penghentian sementara penyaluran ini tak terlepas dari keengganan pangkalan menjual mitan nonsubsidi. Di samping itu, harga mitan nonsubsidi yang fluktuatif karena mengikuti harga minyak dunia rentan menimbulkan kerugian.
“Harga perlimabelas hari berubah. Takutnya nebus di atas 10 ribu liter, nanti belum habis harganya turun,” tambahnya.  
Ketua Pangkalan Elpiji Kota Banjarmasin Riduan Syahrani mengatakan, berjualan mitan nonsubsidi secara hitungan dagang rugi.
“Harga tebus Rp 50 juta pertangki, sebulan tidak habis. Kendala lainnya harga berubah-ubah,” paparnya. 
Selain adanya disparitas harga dengan mitan bersubsidi, mitan nonsubsidi tidak dilirik masyarakat karena kualitasnya diragukan. Tak sedikit masyarakat yang curiga mitan nonsubsidi tidak asli karena warnanya ungu, sedangkan mitan bersubsidi yang selama ini dikenal masyarakat bening.

Penindakan Wewenang Polisi
Sementara itu, Sales Representative Fuel Retail Pertamina Rayon IV Kalsel Hari Prasetyo yang dikonfirmasi mengatakan bahwa ‘penyelundupan’ mitan bersubsidi ke daerah yang telah menerapkan konversi mitan ke elpiji melanggar UU Migas, khususnya pasal 55 tentang tata niaga BBM. Sedangkan paling berwenang melakukan penindakan adalah pihak kepolisian. Kewenangan tersebut diatur dalam UU Migas dan Perpres Nomor 15 Tahun 2012.
“Sweeping, ada yang masuk perbatasan tangkap. Barangnya bisa langsung dikenali karena bening, sedangkan yang nonsubsidi berwarna,” tegasnya.
Ditambahkannya, selama ini Pertamina selalu berkoordinasi dengan kepolisian dalam pengawasan distribusi BBM. Kepolisian pun giat menggelar operasi penertiban, khususnya premium dan solar.
“Itu saja sudah kewalahan,” lanjutnya.
Merembesnya mitan bersubsidi dari daerah yang belum konversi ke daerah yang sudah merupakan konsekuensi logis dari pelaksanaan konversi di Kalsel yang tersedat. Hingga saat ini baru tiga daerah yang melaksanakan konversi, yakni Kota Banjarmasin, Kota Banjarbaru, dan Kabupaten Banjar. Itupun belum seratus persen. Sementara pemerintah pusat belum menjawab kelanjutan konversi di 10 kabupaten lainnya.
“Kami kan sudah sering utarakan di awal, harusnya konversi berkelanjutan,” ucapnya.
Soal kelangkaan mitan bersubsidi di daerah di Kalsel yang belum melaksanakan konversi, seperti Tala, ia menyatakan kalau tidak ada pengurangan pasokan. Sedangkan menanggapi keengganan masyarakat menggunakan mitan nonsubsidi karena kualitasnya diragukan, Hari menepisnya. Ia meyakinkan baik mitan bersubsidi maupun nonsubsidi hanya beda di warna, barangnya sendiri sama.
“Kalau soal banyak agen dan pangkalan tidak mau menjual mitan nonsubsidi, kami pikir itu wajar. Mereka juga melihat pasar, sementara harga mitan nonsubsidi lebih mahal, yang bersubsidi banjir,” tandasnya.

Tidak ada komentar: