Tak Perlu Bolak-balik, Makan Tidur Gratis
Wine (3,5) berbaring di kasur di ruangan tengah. Badannya yang dibalut
kaos Shaun the Sheep warna kuning pudar tampak kurus, tapi perutnya agak
buncit. Matanya menatap ke televisi yang menyala. Selang kecil bening mencuat
dari hidungnya.
Sudah enam hari Wine yang ditemani ibu dan neneknya menginap di Rumah
Singgah Anak Kanker “Rumahku” di Jl Kampung Melayu Darat Gg Kenari Raya
Banjarmasin. Sebelumnya, hampir lima minggu bungsu dari dua bersaudara itu
dirawat di RSUD Ulin. Setelah kondisinya membaik, Wine dibolehkan rawat jalan.
“Syukur di sini mau menerima, kami dari Ampah Tamiang Layang, sekitar
sembilan jam jauhnya. Di Banjarmasin tidak ada keluarga,” cerita Sari.
Kalau harus pulang ke kampung, tentu berat di ongkos. Sedang pekerjaan
suaminya hanya sopir truk. Di samping itu, Sari khawatir kesehatan Wine tiba-tiba drop. Selain tak perlu memikirkan
biaya transport, Sari dan orangtua pasien kanker lainnya yang tinggal di rumah
singgah juga bisa tidur dan makan gratis.
Rumah Singgah Anak Kanker “Rumahku” berdiri hampir setahun lalu.
Tujuannya untuk meringankan beban keluarga anak penderita kanker yang harus
bolak-balik berobat. Sayang, saat Radar Banjarmasin berkunjung kemarin (28/8),
Santi Mulis, inisiator Rumah Singgah Anak Kanker “Rumahku” sedang di luar
daerah.
Mengutip informasi dari website Yayasan Kami Peduli Indonesia (YKPI)
–yayasan sosial yang dibentuk Santi dan beberapa sahabatnya sesama alumni SMA
Katolik Santa Agnes Surabaya, ide mendirikan rumah singgah anak kanker berawal
dari kunjungan mereka ke lokasi anak-anak penderita kanker di Jakarta. Santi
juga terinspirasi dari salah seorang temannya yang memiliki anak penderita
kanker. Selain di Banjarmasin, rumah
singgah sejenis juga ada di Surabaya. Profil Santi Mulis bahkan pernah dimuat
di harian Jawa Pos.
Di Rumah Singgah Anak Kanker “Rumahku” ada tiga orang staf yang
bahu-membahu melayani segala keperluan anak-anak penderita kanker beserta
keluarganya yang tinggal di sana. Salah seorang diantaranya Lemi, tugasnya
berkoordinasi dengan RSUD Ulin kalau ada pasien yang perlu tumpangan sementara
atau mengantar jemput pasien kemoterapi.
“Selama
setahun ini kira-kira ada 20 anak yang masuk, silih berganti. Selain kanker,
ada juga tumor dan gagal ginjal. Kalau
tidak masuk Jamkesmas, rumah singgah yang menanggung biaya pengobatannya,”
tuturnya.
Beberapa dari anak-anak tersebut ada yang masuk dalam kondisi sudah
stadium lanjut, ada juga masih stadium awal. Sebagian berhasil sembuh, tapi
sebagian lagi tak sanggup bertahan meski sudah berjuang melalui serangkaian
pengobatan.
“Kalau Wine
ini belum parah, masih besar harapan sembuh. Waktu datang pertama kali kakinya
tidak bisa diluruskan. Wajahnya sangat pucat, badannya bengkak-bengkak, ngeri
melihatnya. Sekarang agak mendingan, dia juga banyak senyum walau masih sakit,”
sambung Lemi.
Wine yang
waktu di rumah sakit mogok makan, setelah tinggal di rumah singgah justru jadi
banyak makan. Seperti siang itu, dengan lahap Wine menyantap sate yang
dibelikan sang ibu. Padahal, beberapa waktu sebelumnya Wine baru saja makan
nasi. Tapi Wine tak mau minum susu lewat mulut, makanya dipasang selang lewat
hidungnya.
“Ada anak
yang dirawat di rumah sakit sampai minta bawakan nasi dari rumah singgah.
Katanya anak-anak di sana kalau dengar suara troli membawa makanan ke kamar
mereka, masing-masing langsung tutup telinga,” kisah Yana, staf rumah singgah
lainnya yang bertugas mengurus rumah dan menyiapkan makanan.
Di Rumah
Singgah Anak Kanker “Rumahku” terdapat lima buah kamar, dua diantaranya yang
berada di bagian depan berkapasitas besar yang bisa menampung tiga keluarga.
Perabotnya minimalis, hanya ada tumpukan kasur dan lemari plastik kecil. Sedang
di ruangan tengah ada sofa, TV, dan lemari penuh berisi buku-buku bacaan dan
aneka mainan anak.
Untuk
kebutuhan MCK, disediakan enam kamar mandi dan WC. Di bagian belakang ada
tempat terbuka yang cukup lapang untuk menjemur pakaian. Tiga buah sepeda mini
dan kuda-kudaan tampak tergeletak di salah satu sudut. Kalau anak-anak bosan
makan di dalam rumah, kadang mereka disuapi di sini sambil menggelar tikar.
Di halaman rumah singgah, sebuah mobil terparkir dan siap mengantar jemput
pasien selama 24 jam. Baik ke rumah sakit maupun kalau keluarga pasien ingin
pulang tapi tidak memiliki biaya. Apalagi yang berasal dari luar daerah, tak
hanya di seputar Kalimantan Selatan, tapi hingga ke Kalimantan Tengah dan
Kalimantan Timur.
Seperti
Jasmah (30), saat anaknya Bahrudin (4,7) –akrab disapa Udin yang juga sakit
leukemia bisa meninggalkan rumah sakit saat lebaran lalu, staf rumah singgah mengantar
keluarga petani ini pulang ke Kurau. Setelah 13 hari, mereka dijemput lagi
karena Udin harus kembali ke rumah sakit mulai Senin (27/8).
“Belum tahu
berapa lama harus begini. Untung berobat tidak bayar, paling untuk makan saja.
Kalau tidak ada uang, saya ke sini (rumah singgah, Red). Ibu Santi nggak minta
apa-apa, cuma liat anak saya senyum dia sudah senang,” ucap Jasmah.
Selama
mengabdi di rumah singgah, baik Lemi dan Yana mengalami banyak suka duka. Saat
terberat tentu saja saat ada anak penderita kanker yang tak bisa diselamatkan.
“Tidak
selalu anak yang meninggal itu penyakitnya sudah parah. Pernah ada anak yang
masih stadium awal, sebelumnya masih sehat, saya ingat dia minta menggambar.
Tiba-tiba dia sakit kepala, drop, langsung meninggal,” kenang Lemi.
Lain lagi dengan Yana. Setelah banyak bergaul dengan
keluarga anak penderita kanker, setiap hari ia merasa diingatkan untuk
bersyukur karena memiliki anak-anak yang sehat. Sampai-sampai suaminya juga
tergerak untuk ikut membantu di rumah singgah tanpa dibayar.
“Dulu dengan keadaan ekonomi yang sulit, suka mengeluh. Sekarang banyak-banyak
bersyukur karena ada orang lain yang kondisinya jauh lebih sulit,” ucapnya.
Mulai Buku Bacaan Hingga Rayakan Ultah
Selain menyediakan tempat tinggal
sementara, Rumah Singgah Anak Kanker “Rumahku” juga melayani kebutuhan pasien
di rumah sakit. Salah satunya, menghibur agar anak-anak itu tak bosan selama
menjalani perawatan panjang menuju kesembuhan.
Senyum bocah itu tak hilang-hilang sejak
Lemi dan Yana –staf Rumah Singgah Anak Kanker “Rumahku” muncul di unit
hematologi (khusus anak-anak pengidap penyakit kelainan darah) Ruang Anak Sedap
Malam RSUD Ulin Banjarmasin, Rabu (29/8) siang. Hari itu, keinginan Ainu merayakan
ulangtahun tercapai.
“Mulai tadi nanya terus, mana kuenya
nggak datang-datang. Kalau nggak jadi katanya mau nangis,” kata Sus Winasih,
ibu Ainu.
Ainu pun tertawa memperlihatkan
gigi-gigi atasnya yang jarang-jarang. Setelah lilin siap, para perawat lantas
dipanggil untuk berkumpul di dalam ruangan. Bersama-sama lima pasien lain teman
sekamar Ainu, mereka kompak menyanyikan lagu selamat ulang tahun sambil
bertepuk tangan. Dari rumah singgah, Ainu mendapat kado mainan Angry Birds.
“Makasih!” seru Ainu sambil memeluk
hadiahnya.
Kue ulang tahun berlapis krim cokelat
itu kemudian dipotong-potong. Ainu ingin kuenya dibagi untuk semua orang yang
ada di ruangan. Potongan pertama diberikan kepada sahabatnya, Udin (7), sesama
penderita leukemia yang ranjangnya bersebelahan.
“Baru kali ini kita merayakan ulang
tahun di sini. Soalnya baru ini yang pas ulang tahun, dan kebetulan anaknya
sendiri yang minta,” seloroh Lemi.
Kepala Ruangan Ibrahim mengatakan, apa
yang dilakukan Rumah Singgah Anak Kanker “Rumahku” sangat membantu baik bagi
pasien maupun rumah sakit. Selain menyediakan rumah singgah, mereka juga kerap
membawakan mainan dan buku bacaan untuk anak-anak yang sedang dirawat agar tak
bosan.
Pengobatan yang harus dilalui anak-anak
seperti Ainu memakan waktu lama, normalnya 120 minggu atau 2,5 tahun kalau daya
tahan tubuh anak stabil. Sementara ini metode pengobaan yang bisa dilakukan
untuk penderita kanker di dalam negeri memang hanya kemoterapi, untuk
transplantasi sumsum tulang harus ke luar negeri, paling dekat Singapura atau
Taiwan.
Fase pertama yang diistilahkan protocol
berlangsung sekitar empat bulan, tiap seminggu sekali anak dikemoterapi. Kalau
fase ini lewat, sama artinya masa gawat juga lewat.
“Seperti Ainu masih fase ini, tapi
stadium awal sehingga masih besar kemungkinan sembuh. Dia masuk mulai April 2012,
berarti sudah lima bulan. Kadang saat mau masuk obat (kemoterapi, Red) kondisi
anak drop, biasanya karena makanan atau tertular penyakit dari orang lain. Itu
yang membuat pengobatan jadi lama,” tuturnya.
Setelah lewat fase pengobatan pertama,
pasien akan memasuki fase kedua yang disebut maintenance. Pasien akan lebih
banyak di rumah dan mengonsumsi obat tablet, hanya sesekali kemoterapi di rumah
sakit. Dua fase ini lewat, maka pasien dinyatakan sembuh, tapi tetap harus kontrol
rutin.
“Secara statistik memang semakin cepat penyakit
terdeteksi, semakin besar kemungkinan sembuh. Tapi selalu ada pengecualian, ada
juga yang masuk saat sudah parah, tapi bisa menyelesaikan pengobatan,”
tukasnya.
Kondisi pasien penderita kanker seperti
Ainu dan teman-temannya memang sulit diprediksi. Karena itu, para dokter dan
perawat memiliki prinsip agar semua pasien dan keluarganya selalu happy selama
di rumah sakit.
“Prinsipnya jangan sampai betangisan,
bawa happy. Karena kita tidak pernah tahu apa yang terjadi besok,” ucapnya.
Tak berhenti hanya pada menghibur
anak-anak, rumah singgah juga kerap ikut berburu donor jika ada anak yang perlu
tambahan darah. Kalau ada obat-obatan
yang tidak ditanggung jaminan kesehatan seperti Jamkesmas, rumah singgah pula
yang menanggung. Kalau obatnya kosong, mereka membantu mencarikan.
“Dulu kalau orangtua sudah tak sanggup
lagi membeli obat, terpaksa tidak kita berikan. Soalnya harganya mahal, kalau
ditotal sekitar Rp 200 juta untuk pengobatan selama dua tahun. Tapi sekarang sudah
enak,” pungkasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar