Tidak mudah menyandang gelar RSBI. Di tengah banyaknya keterbatasan, sekolah harus memikul beban yang sangat berat, terutama tanggung jawab kepada masyarakat.
NAZAT FITRIAH, Banjarmasin
Salah satu yang menjadi keunggulan RSBI adalah input (masukan) yang di atas rata-rata. Calon siswa yang ingin sekolah di RSBI harus melalui seleksi ketat terlebih dahulu. Idealnya, otuput (keluaran) yang dihasilkan pun memiliki nilai plus dibanding lulusan sekolah regular.
Faktanya, teori itu tidak selalu berlaku. Jika hasil ujian kelulusan dijadikan salah satu patokan, maka RSBI dapat dikatakan masih belum mampu menunjukkan tajinya. Buktinya, pada UASBN 2010, SDN Telaga Biru 1 yang telah tiga tahun menerapkan sistem pembelajaran RSBI hanya sanggup menempati peringkat kelima.
“Selama dua tahun pertama kita dapat dikatakan masih merintis. Dengan segala keterbatasan, tidak mungkin langsung bagus. Kita harus berusaha keras karena tantangannya berat,” demikian alasan Kepala SDN Telaga Biru 1, Asmawi SPd.
Adapun tantangan yang dimaksud adalah menelurkan generasi yang memiliki kompetensi di tingkat lokal dan internasional dengan menerapkan kurikulum sesuai standar nasional pendidikan (SNP) plus standar pendidikan di salah satu negara maju yang tergabung dalam OECD (Organization for Economic Co-operation and Development). Namun, di sisi lain rintangan yang harus ditaklukkan tidak kalah besar : sarana dan prasarana yang belum standar serta sumber daya guru yang masih perlu ditingkatkan.
Di antara perbedaan mendasar antara RSBI dengan sekolah biasa adalah proses pembelajaran di RSBI diselenggarakan dengan berbasis IT (information technology) seperti menggunakan LCD dan akses yang luas terhadap internet, serta dilangsungkan dalam dua bahasa (bilingual), yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Otomatis, guru yang mengajar wajib menguasai kedua keterampilan ini. Selain itu, semua guru di SD RSBI disyaratkan S1 dan kepala sekolah S2.
Namun, Asmawi mengaku saat ini baru sepuluh persen guru di sekolahnya yang memenuhi persyaratan tersebut.
“Kita juga kekurangan guru Bahasa Inggris, yang ada hanya guru honor tiga orang. Itulah kendala yang paling berat bagi sekolah kita,” ujarnya.
Untuk mengatasi semua hambatan ini, berbagai upaya ditempuh seperti menyewa konsultan pendidikan, mengirim guru untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan (diklat), serta melengkapi sarana dan prasarana yang wajib dimiliki RSBI. Nah, inilah yang kemudian membuat biaya operasional RSBI “membengkak”. Ironisnya, bantuan yang diberikan pemerintah jauh dari kata memadai.
“Bantuan dari pusat hanya tiga tahun dan sudah berakhir tahun 2009 lalu. Tahun pertama Rp 500 juta, Rp 300 juta, dan tahun ketiga Rp 100 juta. Sedangkan bantuan provinsi berupa sarana prasarana dan kota untuk kegiatan siswa yang besarnya Rp 100 juta pada tahun 2008 dan Rp 70 juta pada tahun 2009,” bebernya.
Akibatnya, partisipasi orang tua pun menjadi tak terelakkan. Dana yang dihimpun dari orang tua diantaranya digunakan untuk melengkapi fasilitas IT, membayar konsultan, buku-buku, dan diklat guru.
Asmawi mengatakan bahwa jika dibandingkan dengan sekolah reguler, RSBI memang dapat dikatakan lebih mahal. Tapi ia menjamin jika dibandingkan dengan sekolah swasta dengan fasilitas yang sama, ongkos sekolah di RSBI masih lebih ringan.
“Kami tidak memaksa dalam melakukan pungutan, orang tua bisa membantu berapa mampu. Di sekolah ini juga ada siswa yang tidak mampu dan dibebaskan dari pungutan,” tukasnya. (bersambung)
NAZAT FITRIAH, Banjarmasin
Salah satu yang menjadi keunggulan RSBI adalah input (masukan) yang di atas rata-rata. Calon siswa yang ingin sekolah di RSBI harus melalui seleksi ketat terlebih dahulu. Idealnya, otuput (keluaran) yang dihasilkan pun memiliki nilai plus dibanding lulusan sekolah regular.
Faktanya, teori itu tidak selalu berlaku. Jika hasil ujian kelulusan dijadikan salah satu patokan, maka RSBI dapat dikatakan masih belum mampu menunjukkan tajinya. Buktinya, pada UASBN 2010, SDN Telaga Biru 1 yang telah tiga tahun menerapkan sistem pembelajaran RSBI hanya sanggup menempati peringkat kelima.
“Selama dua tahun pertama kita dapat dikatakan masih merintis. Dengan segala keterbatasan, tidak mungkin langsung bagus. Kita harus berusaha keras karena tantangannya berat,” demikian alasan Kepala SDN Telaga Biru 1, Asmawi SPd.
Adapun tantangan yang dimaksud adalah menelurkan generasi yang memiliki kompetensi di tingkat lokal dan internasional dengan menerapkan kurikulum sesuai standar nasional pendidikan (SNP) plus standar pendidikan di salah satu negara maju yang tergabung dalam OECD (Organization for Economic Co-operation and Development). Namun, di sisi lain rintangan yang harus ditaklukkan tidak kalah besar : sarana dan prasarana yang belum standar serta sumber daya guru yang masih perlu ditingkatkan.
Di antara perbedaan mendasar antara RSBI dengan sekolah biasa adalah proses pembelajaran di RSBI diselenggarakan dengan berbasis IT (information technology) seperti menggunakan LCD dan akses yang luas terhadap internet, serta dilangsungkan dalam dua bahasa (bilingual), yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Otomatis, guru yang mengajar wajib menguasai kedua keterampilan ini. Selain itu, semua guru di SD RSBI disyaratkan S1 dan kepala sekolah S2.
Namun, Asmawi mengaku saat ini baru sepuluh persen guru di sekolahnya yang memenuhi persyaratan tersebut.
“Kita juga kekurangan guru Bahasa Inggris, yang ada hanya guru honor tiga orang. Itulah kendala yang paling berat bagi sekolah kita,” ujarnya.
Untuk mengatasi semua hambatan ini, berbagai upaya ditempuh seperti menyewa konsultan pendidikan, mengirim guru untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan (diklat), serta melengkapi sarana dan prasarana yang wajib dimiliki RSBI. Nah, inilah yang kemudian membuat biaya operasional RSBI “membengkak”. Ironisnya, bantuan yang diberikan pemerintah jauh dari kata memadai.
“Bantuan dari pusat hanya tiga tahun dan sudah berakhir tahun 2009 lalu. Tahun pertama Rp 500 juta, Rp 300 juta, dan tahun ketiga Rp 100 juta. Sedangkan bantuan provinsi berupa sarana prasarana dan kota untuk kegiatan siswa yang besarnya Rp 100 juta pada tahun 2008 dan Rp 70 juta pada tahun 2009,” bebernya.
Akibatnya, partisipasi orang tua pun menjadi tak terelakkan. Dana yang dihimpun dari orang tua diantaranya digunakan untuk melengkapi fasilitas IT, membayar konsultan, buku-buku, dan diklat guru.
Asmawi mengatakan bahwa jika dibandingkan dengan sekolah reguler, RSBI memang dapat dikatakan lebih mahal. Tapi ia menjamin jika dibandingkan dengan sekolah swasta dengan fasilitas yang sama, ongkos sekolah di RSBI masih lebih ringan.
“Kami tidak memaksa dalam melakukan pungutan, orang tua bisa membantu berapa mampu. Di sekolah ini juga ada siswa yang tidak mampu dan dibebaskan dari pungutan,” tukasnya. (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar