A good journalist is not the one that writes what people say, but the one that writes what he is supposed to write. #TodorZhivkov

Selasa, 29 Juni 2010

Menyoal Kualitas dan Akuntabilitas RSBI (1)

RSBI, Rintisan Sekolah Bertarif Internasional?

Untuk meningkatkan mutu pendidikan guna menghadapi tantangan seiring perubahan zaman yang mengarah pada era globalisasi, maka Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) mengamanatkan agar setiap daerah memiliki minimal satu sekolah bertaraf internasional pada semua jenjang pendidikan.

NAZAT FITRIAH, Banjarmasin

Memenuhi tuntutan tersebut, sejak tahun 2005 lalu sampai saat ini di Banjarmasin telah berdiri tujuh rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI), yakni SDN Telaga Biru 1, SMPN 2, SMPN 6, SMAN 1, SMAN 7, SMKN 3, dan SMKN 5.

Namun, pada perkembangannya selama lima tahun itu, peningkatan mutu pendidikan yang dicapai ternyata tidak terlalu signifikan. Dilihat dari sisi kualitas lulusan dan daya saing misalnya, RSBI dan SBI nampak tak jauh berbeda dengan sekolah biasa.

Dari pengakuan sejumlah sekolah yang ditunjuk untuk menjalankan proyek RSBI di Banjarmasin, banyak kendala yang dihadapi, mulai dari masalah sarana prasarana sampai sumber daya guru yang ujung-ujungnya bermuara pada urusan duit.

Mengembangkan RSBI menjadi sekolah berstandar internasional (SBI) sepenuhnya, tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Menurut definisi Kemendiknas sendiri, SBI adalah sekolah yang sudah memenuhi delapan standar nasional pendidikan (SNP) plus mengadopsi standar pendidikan di negara-negara maju.

Nah, untuk membiayai proyek RSBI dan SBI ini, pemerintah tentu tidak mampu melakukannya sendiri. Dengan dalih bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, orang tua, dan masyarakat, maka RSBI dan SBI pun dibolehkan melakukan pungutan.Yang menjadi persoalan kemudian adalah sekolah menjadikan orang tua sebagai sasaran utama pungutan.

“Orang tua siswa selama ini dijadikan sebagai sasaran utama dalam mencari tambahan dana untuk operasional sekolah, padahal itu salah. Semestinya, komite sekolah berinisiatif untuk mencari sumber pendapatan lain, misalnya perusahaan,” ujar Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Banjarmasin, Drs Nor Ipansyah MPd beberapa waktu lalu.

Akan tetapi, mengingat kepedulian pihak swasta terhadap dunia pendidikan di negeri ini masih rendah, akhirnya tanggung jawab bersama yang dimaksud justru terkesan lebih besar dibebankan kepada orang tua. Tak hanya itu, sekolah juga kerap tidak transparan dalam menentukan besarnya pungutan.

Ketua Komisi IV DPRD Kota Banjarmasin M Fauzan mengatakan dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 13 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Pendidikan disebutkan bahwa pungutan kepada siswa harus dilakukan berdasarkan kesepakatan Komite Sekolah dan telah melalui rapat pleno dengan orang tua siswa. Tapi yang kerap terjadi adalah orang tua diundang rapat, tapi hasil rapatnya sudah ada sehingga mau tak mau orang tua harus menyetujui.

“Itu tidak diajak ngomong namanya, tapi intimidasi. Nah, pola-pola seperti itu harus dihilangkan, baru itu namanya tanggung jawab bersama,” tandasnya.

Tak heran, komentar miring pun belakangan mulai menghampiri RSBI dan SBI. Dua huruf di belakangnya sering diplesetkan menjadi ‘bertarif internasional’.

Kepala Bina SMP, SMA, dan SMK Disdik Kota Banjarmasin, Drs H Metroyadi SH MPd mengatakan akuntabilitas RSBI dan SBI memang patut dipertanyakan karena dengan dana yang besar sudah seharusnya dihasilkan sesuatu yang lebih baik.

“Saat olimpiade sains nasional tingkat provinsi baru-baru ini, kami berharap siswa RSBI yang mendominasi. Tapi ternyata mereka belum bisa, padahal yang namanya RSBI seharusnya memiliki daya saing hingga ke tingkat internasional,” katanya.

Lantas, bagaimanakah pihak sekolah menjawab tudingan tersebut? (bersambung)

Tidak ada komentar: