Karena Kenaikan Terjadi Pada Harga Beras Lokal
BANJARMASIN – Meski kenaikan harga beras selama hampir lima bulan ini membuat masyarakat menjerit, namun belum ada tanda-tanda pihak berwenang akan melakukan operasi pasar (OP) guna menstabilkan harga.
“Kami masih koordinasi dengan Disperindag kota untuk membuat jadwal dan memantau harga di titik mana yang perlu dilakukan operasi pasar. Atau paling tidak dengan pasar murah, kami siap masuk untuk memberikan efek psikologis bahwa kita punya stok aman,” ujar Kepala Perum Bulog Divre Kalsel, Isang Ansyari, Senin (9/8).
Berdasarkan peraturan Bulog, OP akan dilakukan jika harga beras di tingkat konsumen sudah mengalami kenaikan yang cukup signifikan dengan ketentuan harga penjualan beras af gudang Bulog adalah Rp 5.630 per kilogram di Pulau Jawa dan Rp 5.730 per kilogram di luar Pulau Jawa.
Nah, masalahnya kenaikan harga beras di Kalsel terjadi pada beras lokal atau jenis premium seperti Unus, Siam, dan Karang Dukuh. Sedangkan berdasarkan Inpres nomor 7 tahun 2009 tentang Kebijakan Perberasan, Bulog hanya boleh membeli beras jenis medium seperti beras Ganal dan beras IR.
“Kalau kami turunkan beras medium tidak akan berpengaruh karena ini masalah selera. Ini yang sulit diubah,” imbuhnya.
Terkait hal ini, ia mengungkapkan bahwa pihaknya telah melakukan pembahasan dengan Disperindag, Dinas Pertanian, dan Bank Indonesia karena kenaikan harga beras sudah memicu inflasi. Hasilnya, ada wacana agar Bulog diberi kewenangan untuk mengelola beras multikualitas.
“Mudah-mudahan direspon baik oleh DPR RI dan Menteri Keuangan. Kita melihat beras tidak bisa dikotak-kotakkan karena masyarakat tidak mengerti. Kalau sekarang kami ingin menangani secara teknis, kami mengalami kendala karena pemerintah tidak menguasai stok di beras premium,” tuturnya.
Sementara itu, terkait kenaikan harga beras yang terjadi di tingkat premium, ia menerangkan bahwa penyebabnya bukan terletak pada distribusi, tapi produksi. Pasalnya, dari kajian Badan Ketahanan Pangan, produksi beras lokal sendiri memang tidak mencukupi untuk kebutuhan konsumsi sekitar 3,4 juta penduduk Kalsel karena masa tanam yang lama, yakni enam bulan atau satu kali panen saja dalam setahun sehingga produktifitasnya kurang. Ditambah lagi, beras lokal Banjar bersifat spesifik dan tidak bisa tumbuh di luar Kalsel.
“Sehingga kalaupun kita mendatangkan beras kualitas premium dari daerah lain, tidak akan laku karena erat kaitannya dengan selera masyarakat tadi,” tandasnya.
BANJARMASIN – Meski kenaikan harga beras selama hampir lima bulan ini membuat masyarakat menjerit, namun belum ada tanda-tanda pihak berwenang akan melakukan operasi pasar (OP) guna menstabilkan harga.
“Kami masih koordinasi dengan Disperindag kota untuk membuat jadwal dan memantau harga di titik mana yang perlu dilakukan operasi pasar. Atau paling tidak dengan pasar murah, kami siap masuk untuk memberikan efek psikologis bahwa kita punya stok aman,” ujar Kepala Perum Bulog Divre Kalsel, Isang Ansyari, Senin (9/8).
Berdasarkan peraturan Bulog, OP akan dilakukan jika harga beras di tingkat konsumen sudah mengalami kenaikan yang cukup signifikan dengan ketentuan harga penjualan beras af gudang Bulog adalah Rp 5.630 per kilogram di Pulau Jawa dan Rp 5.730 per kilogram di luar Pulau Jawa.
Nah, masalahnya kenaikan harga beras di Kalsel terjadi pada beras lokal atau jenis premium seperti Unus, Siam, dan Karang Dukuh. Sedangkan berdasarkan Inpres nomor 7 tahun 2009 tentang Kebijakan Perberasan, Bulog hanya boleh membeli beras jenis medium seperti beras Ganal dan beras IR.
“Kalau kami turunkan beras medium tidak akan berpengaruh karena ini masalah selera. Ini yang sulit diubah,” imbuhnya.
Terkait hal ini, ia mengungkapkan bahwa pihaknya telah melakukan pembahasan dengan Disperindag, Dinas Pertanian, dan Bank Indonesia karena kenaikan harga beras sudah memicu inflasi. Hasilnya, ada wacana agar Bulog diberi kewenangan untuk mengelola beras multikualitas.
“Mudah-mudahan direspon baik oleh DPR RI dan Menteri Keuangan. Kita melihat beras tidak bisa dikotak-kotakkan karena masyarakat tidak mengerti. Kalau sekarang kami ingin menangani secara teknis, kami mengalami kendala karena pemerintah tidak menguasai stok di beras premium,” tuturnya.
Sementara itu, terkait kenaikan harga beras yang terjadi di tingkat premium, ia menerangkan bahwa penyebabnya bukan terletak pada distribusi, tapi produksi. Pasalnya, dari kajian Badan Ketahanan Pangan, produksi beras lokal sendiri memang tidak mencukupi untuk kebutuhan konsumsi sekitar 3,4 juta penduduk Kalsel karena masa tanam yang lama, yakni enam bulan atau satu kali panen saja dalam setahun sehingga produktifitasnya kurang. Ditambah lagi, beras lokal Banjar bersifat spesifik dan tidak bisa tumbuh di luar Kalsel.
“Sehingga kalaupun kita mendatangkan beras kualitas premium dari daerah lain, tidak akan laku karena erat kaitannya dengan selera masyarakat tadi,” tandasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar