Jika Pajak Tontonan Film Naik
BANJARMASIN – Rencana kenaikan tarif pajak hiburan untuk tontonan film dari 10 persen menjadi 30 persen seiring revisi Peraturan Daerah (Perda) nomor 5 tahun 1998 tentang Pajak Hiburan yang saat ini tengah digodok membuat kaget pengelola bioskop di Banjarmasin. Pasalnya, di daerah lain yang pemerintahnya juga sudah melakukan penyesuaian tarif pajak hiburan sesuai dengan amanat Undang-Undang nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), tarif yang dipatok untuk tontonan film ini rata-rata hanya 10 persen, malah ada yang lebih rendah dari itu.
Dalam UU PDRD sendiri, tarif pajak hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 35 persen. Khusus untuk hiburan berupa pagelaran busana, kontes kecantikan, diskotik, karaoke, klab malam, permainan ketangkasan, panti pijat, dan mandi uap/spa, tarif pajak dapat ditetapkan paling tinggi sebesar 75 persen. Khusus hiburan kesenian rakyat/tradisional dikenakan tarif pajak paling tinggi sebesar 10 persen.
“Untuk beberapa daerah yang sudah memperbarui perdanya seperti di Jakarta, tarif pajak untuk tontonan film hanya 10 persen. Bahkan, di Palangkaraya hanya 6 persen. Itu sebabnya kenapa film-film baru lebih dulu masuk ke Palangkaraya daripada di Banjarmasin. Nah, kita harus menyesuaikan ini. Kalau kita berbeda dengan daerah lain, kita bisa ketinggalan dan bioskopnya bisa tutup karena rugi seperti yang pernah terjadi di Palembang,” ujar Kepala Dinas Pendapatan (Dispenda) Kota Banjarmasin, H Muhyar dalam rapat kerja dengan Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Pajak Hiburan DPRD Kota Banjarmasin, kemarin (16/9).
Jika hal yang sama juga terjadi di Banjarmasin, tentu sangat disayangkan karena dari hasil survey prospek bioskop di daerah ini sangat bagus. Buktinya, satu-satunya bioskop yang ada di Banjarmasin saat ini, yakni Studio 21, menambah lagi jumlah studionya dari empat menjadi delapan.
Dari data Dispenda, pajak hiburan yang dibayarkan oleh pengelola Studio 21 dengan empat studio saja mencapai Rp 150 juta perbulannya. Dengan adanya tambahan empat studio lagi, otomatis angka itu akan menjadi dua kali lipatnya sehingga pada tahun 2011 pajak hiburan dari sektor tontonan film diperkirakan menembus angka Rp 3 miliar.
“Mereka juga sangat transparan, diaudit pun bersedia, tidak ada yang ditutup-tutupi karena mereka kan terdiri dari dua pengusaha, yaitu pengelola bioskop dan pemilik film. Beda dengan satu orang pengusaha saja yang bisa bermain. Intinya, pembayaran pajaknya selama ini tertib sesuai dengan yang sebenarnya,” tandasnya.
Namun, Ketua Pansus Raperda Pajak Hiburan, M Dafik As’ad SE MM nampak kurang sepakat dalam hal ini karena sesungguhnya yang membayar pajak bukanlah pengusaha, tapi konsumen.
“Kalau kita berbahasa seolah-olah penghasilan mereka yang diambil, kita kalah. Tapi kalau masyarakat yang membayar lebih nyaman kedengarannya,” katanya.
Pembahasan lebih dalam terkait masalah ini dan jenis-jenis pajak hiburan lainnya rencananya akan dilanjutkan dua minggu lagi dengan mengundang para stakeholder dan pengusaha hiburan guna menjaring aspirasi sekaligus sarana sosialisasi.
BANJARMASIN – Rencana kenaikan tarif pajak hiburan untuk tontonan film dari 10 persen menjadi 30 persen seiring revisi Peraturan Daerah (Perda) nomor 5 tahun 1998 tentang Pajak Hiburan yang saat ini tengah digodok membuat kaget pengelola bioskop di Banjarmasin. Pasalnya, di daerah lain yang pemerintahnya juga sudah melakukan penyesuaian tarif pajak hiburan sesuai dengan amanat Undang-Undang nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), tarif yang dipatok untuk tontonan film ini rata-rata hanya 10 persen, malah ada yang lebih rendah dari itu.
Dalam UU PDRD sendiri, tarif pajak hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 35 persen. Khusus untuk hiburan berupa pagelaran busana, kontes kecantikan, diskotik, karaoke, klab malam, permainan ketangkasan, panti pijat, dan mandi uap/spa, tarif pajak dapat ditetapkan paling tinggi sebesar 75 persen. Khusus hiburan kesenian rakyat/tradisional dikenakan tarif pajak paling tinggi sebesar 10 persen.
“Untuk beberapa daerah yang sudah memperbarui perdanya seperti di Jakarta, tarif pajak untuk tontonan film hanya 10 persen. Bahkan, di Palangkaraya hanya 6 persen. Itu sebabnya kenapa film-film baru lebih dulu masuk ke Palangkaraya daripada di Banjarmasin. Nah, kita harus menyesuaikan ini. Kalau kita berbeda dengan daerah lain, kita bisa ketinggalan dan bioskopnya bisa tutup karena rugi seperti yang pernah terjadi di Palembang,” ujar Kepala Dinas Pendapatan (Dispenda) Kota Banjarmasin, H Muhyar dalam rapat kerja dengan Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Pajak Hiburan DPRD Kota Banjarmasin, kemarin (16/9).
Jika hal yang sama juga terjadi di Banjarmasin, tentu sangat disayangkan karena dari hasil survey prospek bioskop di daerah ini sangat bagus. Buktinya, satu-satunya bioskop yang ada di Banjarmasin saat ini, yakni Studio 21, menambah lagi jumlah studionya dari empat menjadi delapan.
Dari data Dispenda, pajak hiburan yang dibayarkan oleh pengelola Studio 21 dengan empat studio saja mencapai Rp 150 juta perbulannya. Dengan adanya tambahan empat studio lagi, otomatis angka itu akan menjadi dua kali lipatnya sehingga pada tahun 2011 pajak hiburan dari sektor tontonan film diperkirakan menembus angka Rp 3 miliar.
“Mereka juga sangat transparan, diaudit pun bersedia, tidak ada yang ditutup-tutupi karena mereka kan terdiri dari dua pengusaha, yaitu pengelola bioskop dan pemilik film. Beda dengan satu orang pengusaha saja yang bisa bermain. Intinya, pembayaran pajaknya selama ini tertib sesuai dengan yang sebenarnya,” tandasnya.
Namun, Ketua Pansus Raperda Pajak Hiburan, M Dafik As’ad SE MM nampak kurang sepakat dalam hal ini karena sesungguhnya yang membayar pajak bukanlah pengusaha, tapi konsumen.
“Kalau kita berbahasa seolah-olah penghasilan mereka yang diambil, kita kalah. Tapi kalau masyarakat yang membayar lebih nyaman kedengarannya,” katanya.
Pembahasan lebih dalam terkait masalah ini dan jenis-jenis pajak hiburan lainnya rencananya akan dilanjutkan dua minggu lagi dengan mengundang para stakeholder dan pengusaha hiburan guna menjaring aspirasi sekaligus sarana sosialisasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar