A good journalist is not the one that writes what people say, but the one that writes what he is supposed to write. #TodorZhivkov

Jumat, 17 September 2010

Pemanfaatan Zakat Belum Maksimal

Hidup segan mati tak mau. Demikianlah kalimat yang sangat pas untuk menggambarkan kondisi Badan Amil Zakat (BAZ) yang ada di Kalsel selama ini.

Meski merupakan satu-satunya lembaga resmi yang dibentuk oleh pemerintah untuk menghimpun dan menyalurkan zakat dari para muzaki (wajib zakat), namun apa daya jika sebagian besar muzaki ini masih lebih senang menyalurkan zakatnya langsung kepada perorangan.

Akibatnya, potensi zakat yang begitu besar di Kalsel dan semestinya bisa dimanfaatkan secara produktif sangat disayangkan tidak bisa dikelola dengan baik.

“Saya yakin dan percaya mereka sudah melaksanakan zakatnya, orang-orang kaya di Banjarmasin sudah paham betul soal zakat ini. Tapi masalahnya mereka lebih senang menyalurkannya sendiri, sedangkan sedikit sekali yang mau menyalurkannya ke BAZ. Padahal, lembaga resmi untuk menyalurkan zakat itu sudah ada dibentuk oleh pemerintah, yaitu BAZ,” ujar Ketua BAZ Kalsel, Drs H Rusdiansyah Asnawi SH.

Berbagai upaya sudah ditempuh oleh pihaknya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat agar mau menyalurkan sebagian zakatnya melalui BAZ, seperti sosialisasi melalui media massa dan khutbah. BAZ Kalsel juga selalu melaporkan seluruh zakat yang dihimpun beserta penggunaannya secara rutin, baik kepada gubernur, BAZ Nasional, maupun kepada publik melalui salah satu media massa. Bahkan, untuk diketahui bahwa amil zakat di BAZ sama sekali tidak mengambil haknya yang sebesar seperdelapan dari seluruh zakat yang dikumpulkan karena semua biaya operasional seperti administrasi, telepon, dan lain-lain ditanggung oleh APBD. Namun, tetap saja hasil dari semua ikhtiar ini tak terlalu menggembirakan.

“Padahal, oleh BAZ zakat itu dimanfaatkan tidak hanya untuk diserahkan secara langsung, tapi juga untuk kegiatan yang bersifat produktif. Misalnya, kita belikan sapi dan kita serahkan kepada kaum mesjid yang hidupnya sederhana. Setelah sapinya beranak pinak, anaknya menjadi hak milik kaum, sedangkan induknya bisa diberikan kepada kaum yang lain lagi,” terangnya.

Pada tahun 2010 ini, sampai dengan sebelum bulan Ramadan lalu, zakat maal (harta) yang berhasil dikumpulkan oleh BAZ Kalsel hanya mencapai Rp 50 juta. Kebanyakan berasal dari pegawai di lingkungan Pemerintah Provinsi Kalsel, sedangkan dari masyarakat umum sangat sedikit. Adapun semua dana zakat itu sudah habis disalurkan baru-baru ini kepada seluruh fakir miskin di lima kecamatan di Banjarmasin dalam bentuk uang tunai.

“Kami inginnya zakat itu untuk kegiatan yang lebih bersifat produktif, tapi ada daya kalau dananya tidak mencukupi. Makanya kami tidak bosan-bosannya mengimbau kepada para muzaki ke depannya supaya menyalurkan sebagian zakatnya ke BAZ baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota,” katanya.

Lembaga Amil Zakat Harus Open Manajemen

Potensi zakat yang ada di Kalsel sebetulnya peluangnya sangat besar. Seandainya dikelola betul-betul tentu akan mampu mengangkat harkat dan martabat kaum fakir miskin. Namun, sayangnya sementara ini nampaknya tingkat kepercayaan masyarakat untuk menyalurkan zakat melalui lembaga amil zakat belum maksimal. Masyarakat masih lebih senang menyalurkan zakatnya secara individu, tidak melalui lembaga sehingga yang didapat adalah zakat yang sifatnya konsumtif.

Hasni Noor SAg MAg, dosen di lingkungan Fakultas Agama Islam (FAI) Uniska Banjarmasin sekaligus Pembantu Rektor (PR) II Uniska Banjarmasin mengatakan bahwa pengelolaan zakat sekarang berkembang ke arah dimana zakat itu dikelola secara produktif atau dengan bahasa lain mustahik diberikan kailnya, bukan ikannya. Dosen sejumlah mata kuliah agama Islam yang juga tengah melanjutkan studinya ke jenjang doktoral di IAIN Sunan Ampel Surabaya dengan konsentrasi Studi Islam tersebut mencontohkan penggunaan zakat untuk bantuan bergulir dan semacamnya sehingga si penerima zakat nantinya mampu mandiri dan akhirnya tidak lagi tergolong sebagai mustahik, dan bantuan pun bisa digulirkan lagi kepada yang lain.

“Kalau misalnya sekarang saya berhak menerima zakat atau mustahik, maka dua atau tiga tahun lagi saya bukan lagi mustahik yang berhak menerima zakat, tapi saya wajib mengeluarkan zakat. Sekarang yang terjadi di tengah masyarakat adalah zakat yang bersifat konsumtif yang dalam waktu tidak lama habis. Sebenarnya kan penggunaan zakat juga sangat luas, misalnya orang yang tidak mampu melanjutkan studi tentu mereka boleh-boleh saja menerima zakat. Ini kan akan lebih bermanfaat,” ujarnya.

Terlebih dewasa ini ada istilah zakat profesi yang jika benar-benar diterapkan akan membuat potensi zakat semakin luar biasa, terlepas dari fakta bahwa di tengah para ulama sendiri persoalan zakat profesi ini masih menjadi kontroversi.

“Ada yang melaksanakan, ada juga yang menganggapnya sebagai sedekah. Sekadar ilustrasi, seorang petani itu kan profesi, kalau sudah dapat 100 blek misalnya, dia wajib mengeluarkan zakat antara 2,5-5 persen. Coba kalau kita kalkulasi secara ekonomi, anggap saja sekarang 1 blek itu Rp 100 ribu kali 100 berarti Rp 10 juta. Nah, petani yang notabene pendapatannya setahun sekali dengan nominal Rp 10 juta mereka wajib zakat. Kenapa mereka yang memiliki profesi lebih dari petani kok tidak wajib?” cetusnya.

Kembali pada persoalan masih rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga amil zakat, Hasni mengatakan bahwa sebenarnya antara menyerahkan langsung zakat kepada mustahik dan menyalurkannya lewat amil zakat sama baiknya.

“Dalam Islam sendiri yang lebih afdol memang kita memberikan zakat kepada keluarga terdekat yang tidak mampu dan masuk golongan orang yang berhak menerima zakat. Adapun yang menyerahkan ke lembaga juga baik karena nanti lembaga itu bisa menyalurkan kepada sasaran yang tepat. Tapi itu tadi, tingkat kepercayaan masyarakat itu ternyata masih belum maksimal untuk menyalurkan zakat melalui lembaga ini. Inilah peer bagi kita semua bagaimana menyalurkan zakat ke lembaga-lembaga tersebut karena hal itu sangat baik dan justru lebih produktif,” ucapnya.

Di lain pihak, ia mengakui bahwa rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat ini tidak semata-mata disebabkan kurangnya sosialisasi dari lembaga amil zakat yang ada. Lembaga amil zakat juga semestinya seperti perusahaan yang open manajemen atau terbuka.

“Mereka seharusnya terbuka. Kita sekian dapatnya, kita gunakan sekian, amilnya dapat sekian, semua itu kan sudah diatur dalam Islam. Kadang-kadang, kita tidak berprasangka jahat, tapi amil mengambil lebih dari hak mereka. Nah, itulah yang menyebabkan tingkat kepercayaan masyarakat itu kurang. Contoh kasus misalnya lembaga amil ini diberi mobil operasional untuk sehari-hari. Ketika itu digunakan di luar jam dinas, maka masyarakat akan tersakiti hatinya dan secara otomatis akan menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat,” tukasnya.

Lebih baik lagi jika laporan keuangan ini disampaikan secara tertulis, misalnya lewat media dan sebagainya sehingga masyarakat yang menyalurkan zakatnya ke lembaga tersebut tahu uangnya digunakan untuk apa. Meski kecil, tapi hal ini dinilai efektif untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat.

“Bukan berarti kita suudzon, akan tetapi justru untuk lebih meningkatkan kepercayaan masyarakat. Saya yakin kalau mereka terbuka dan kalau perlu ada semacam audit independen, sehingga masyarakat tidak ragu-ragu lagi menyalurkan zakatnya. Ini kewajiban para pengelola zakat untuk lebih meningkatkan profesionalitasnya supaya kepercayaan masyarakat lebih baik lagi ke depannya,” tandasnya.

Meski Pro Kontra, Fatwa MUI Wajibkan Zakat Profesi

Wacana soal mewajibkan zakat profesi sebenarnya sudah lama muncul dan sekian lama itu pula menjadi kontroversi. Ada yang menyatakan bahwa zakat profesi itu wajib dengan berdasarkan pada dalil-dalil yang mendukung, ada pula yang menganggapnya hanya sebagai sedekah juga dengan dalil-dalil yang menguatkan pendapat itu.

Zakat profesi sendiri adalah zakat yang dikeluarkan dari penghasilan profesi (hasil profesi) bila telah mencapai nisab, apapun profesinya, misalnya pegawai negeri atau swasta, konsultan, dokter, notaris, akuntan, artis, dokter, atau wiraswasta.

Nah, di tengah perbedaan pendapat ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa yang mewajibkan zakat profesi dengan satu kali haul (setahun) dan nisab 83 gram emas atau sama seperti zakat maal.

Ketua BAZ Kalsel, Drs H Rusdiansyah Asnawi SH yang juga menjabat sebagai Ketua Komisi Fatwa MUI Kalsel mengatakan bahwa pihaknya mengkiyaskan penghasilan dari profesi seseorang dengan zakat biji-bijian (pertanian) yang harus dikeluarkan oleh seorang petani pada saat setelah panen.

“Berapa sih yang didapat petani itu sementara dia harus menunggu selama setahun untuk panen. Coba dokter berapa penghasilannya sehari atau dosen berapa dalam sebulan. Bekerjanya juga di tempat yang enak, sedangkan petani harus bekerja di bawah panas dan hujan saja diwajibkan berzakat. Kiasannya itu,” paparnya.

Untuk menindaklanjuti fatwa ini, pihaknya pun sudah pernah mengirimkan surat kepada sejumlah perkumpulan atau persatuan profesi seperti ikatan notaris, ikatan dokter, dan sebagainya. Namun, kembali lagi bahwa fatwa bukanlah undang-undang yang berlaku secara mengikat dan memaksa.

“Fatwanya memang mewajibkan, tapi kalau tidak melaksanakan pun terserah,” ucapnya.

Sementara itu, Hasni Noor SAg MAg secara pribadi mewajibkan dirinya sebagai seorang PNS untuk melaksanakan zakat profesi ini.

“Apabila memang mencapai haul dan nisabnya, maka secara tidak langsung wajib dikeluarkan zakatnya. Contoh PNS dengan gaji rata-rata Rp2,5 juta kalikan setahun Rp 30 juta. Kalau sudah sampai setahun kemudian sampai nisabnya, nisabnya apa? Ukurannya adalah misalnya ketika kita mengeluarkan zakat emas, emas anggap saja 80 gram. Orang yang punya emas 80 gram disimpan sampai setahun sampai nisabnya, maka zakatnya wajib dikeluarkan. Anggap saja Rp 300 ribu pergram dikali 80 gram Rp 24 juta. Jadi, orang yang punya simpanan harta Rp 24 juta wajib keluar zakat. Nah, itulah alasan orang yang mengatakan bahwa zakat profesi itu wajib. Itu baru PNS, bayangkan kalau dokter sekali operasi berapa juta, dalam seminggu sampai berapa kalikan selama setahun luar biasa ratusan kali lipat dari petani, kok orang-orang seperti ini tidak wajib zakat?” tuturnya.

Semua profesi, lanjutnya, semestinya wajib mengeluarkan zakat profesi jika penghasilannya mencapai nisab dan kaul.

“Dan zakat dihitung dari hasil kotor, bukan setelah dipotong untuk kredit ini kredit itu. Kalau kita berpikir seperti itu, yang terjadi adalah seharusnya kita wajib berzakat malah merasa menjadi tidak wajib. Yang lebih mudah, ketika kita dapat uang misalnya hari ini dapat Rp 1 juta, langsung keluarkan zakatnya 2,5 persen supaya tidak terlalu kaget setelah setahun kok banyak sekali yang harus dikeluarkan zakatnya,” tambahnya.

Tidak ada komentar: